SOLOPOS.COM - Muhammad Milkhan milkopolo@rocketmail.com Alumnus Program Studi Muamalah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeru Surakarta

Muhammad Milkhan milkopolo@rocketmail.com Alumnus Program Studi Muamalah  Fakultas Syariah  Institut Agama Islam Negeru Surakarta

Muhammad Milkhan
milkopolo@rocketmail.com
Alumnus Program Studi Muamalah
Fakultas Syariah
Institut Agama Islam Negeru
Surakarta

Saya menduga kelak di suatu waktu akan ada tulisan alternatif pekerjaan pendakwah dalam kartu tanda penduduk (KTP). Dugaan ini patut kita waspadai, mengingat berdakwah bukanlah pekerjaan yang menghadirkan bayaran, honor, atau gaji. Dakwah adalah kewajiban seorang hamba, baik dakwah itu dalam lingkup yang kecil, seperti misalnya keluarga, teman atau tetangga, atau dakwah dalam skala besar seperti yang dilakukan seorang dai-dai ternama.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Dugaan saya ini bermula mengingat semakin banyaknya pendakwah yang memasang tarif untuk setiap ceramah yang akan ia hadiri. Beberapa waktu yang lalu, salah satu stasiun penyiaran televisi mengulas tabiat negatif penceramah yang meminta bayaran dari setiap ceramah yang ia lakukan.

Di salah satu bagian tayangan televisi tersebut disebutkan seorang penceramah bahkan enggan datang ke lokasi pengajian manakala tarif tidak sesuai dengan harga yang dia inginkan. Kita patut prihatin dengan fenomena pendakwah memasang tarif untuk menyeru ke jalan Tuhan. Yang lebih menyedihkan, tarif itu dipatok sesuai dengan kemauan si penceramah.

Bayaran sebagai kompensasi jerih payah pendakwah dalam bersyiar tentu menjadi hal yang wajar dewasa ini, mengingat mereka (pendakwah) juga harus menghidupi keluarga, mengganti ongkos perjalanan ke lokasi pengajian, atau sebagai kompensasi kreativitas jerih payah seorang dai yang telah mengolah materi ceramah yang ia sampaikan di hadapan jemaah hingga jemaah merasa nyaman dengan model penyampaian materi ceramah yang ia sampaikan.

Namun, ketika kita mencoba menilik awal sejarah penyebaran Islam di Nusantara, pemakluman pemberian bayaran atau bahkan ketentuan tarif seorang dai akan tampak rancu. Banyak buku sejarah mencatat awal masuknya Islam di Indonesia adalah lewat jalur perdagangan, selain dengan perkawinan dengan penduduk lokal. Pada abad XI para pendakwah dari Gujarat (India) menempuh jarak ribuan kilometer untuk menyampaikan ajaran Islam tanpa pamrih materi.

Perlahan namun pasti lewat jalur perdagangan mereka mencoba menyelipkan ajaran dan keyakinan agama Islam tanpa pemaksaan. Pendakwah dari Gujarat itu tentu paham betul bahwa keyakinan tidak dapat dipaksakan. Mereka mungkin berpikir berdagang bukan hanya persoalan meraup untung untuk kelangsungan hidup, namun lewat dialog ketika melakukan transaksi mereka akan memahami tabiat, watak, dan kultur lokal penduduk setempat.

Dengan pemahaman yang mereka peroleh melalui dialog dalam ranah perdagangan tersebut, mereka akhirnya mampu meraih simpati penduduk lokal yang kemudian ikut memeluk ajaran agama yang mereka bawa. Selang lima abad kemudian, tepatnya ketika abad XVI, Islam menjadi agama yang paling dominan di Nusantara. Para pedagang dari Gujarat itu mendapati untung materi lewat jalan berdagang. Dengan keuntungan tersebut mereka menghidupi keluarga dan mencukupi kebutuhan hidup lainnya. Di sini jelas tak ada motif materi sedikit pun dalam dakwah yang mereka syiarkan. Sebagai Tuhan hamba mereka hanya menjalankan perintah Tuhan dengan tulus ikhlas: menyampaikan ajaran Tuhan yang sebenar-benarnya.

Para pendakwah awal di Nusantara mungkin sangat menyadari untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka perlu bekerja. Berdagang menjadi pilihan pekerjaan mereka demi meluluskan misi utama yaitu mensyiarkan agama Islam. Mereka juga mungkin sadar betul menjadikan agama sebagai dalih untuk mata pencaharian adalah sesuatu yang sangat tidak pantas.

Mengambil keuntungan materi dari jalur dakwah mungkin dapat disamakan dengan menjual ayat-ayat Tuhan. Ayat tuhan disebarkan, namun di balik itu ternyata ada motif keuntungan finansial yang dituju. Secara tidak langsung, Tuhan bagi pendakwah yang demikian mirip dengan barang dagangan di pasar. Seringkali kita menjumpai seorang dai kondang membintangi iklan di televisi, dan ini semakin memperkuat asumsi kita bahwa motif utama dari para dai tersebut adalah uang, bukan murni dakwah.

Iklan dibikin dan ditayangkan karena kepentingan komersial suatu produk tertentu. Iklan membuat lidah si dai kelu saat melafalkan ayat-ayat Tuhan, tapi lancar ketika ikut mempromosikan produk yang diiklankan. Fenomena ganjil ini kadang luput untuk kita kritik: benarkah mereka pendakwah? Jangan-jangan mereka hanya orang yang mujur diberi kepandaian bicara soal agama, dan memanfaatkan agama untuk meraup untung sebanyak-banyaknya.

 

Menzalimi Diri Sendiri

Kita malas untuk menyelidiki apa sebenarnya pekerjaan dai tersebut? Bagaimana cara mereka menghidupi diri dan keluarga mereka? Mungkinkah mereka hanya sebagai seorang pendakwah tanpa memiliki pekerjaan sampingan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk kita cermati sebagai titik awal kita untuk menilai sejauh mana kualitas keikhlasan seorang dai dalam berdakwah.

Ketika dai menumpukan segala keperluan hidupnya dari uang ”sumbangan” umat ketika berdakwah, ia telah menzalimi diri sendiri. Kerja atau ikhtiar adalah pola umat manusia untuk mempertahankan hidup, entah pekerjaan itu dalam wujud apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan syariat. Dakwah sebagai pilihan ibadah ekstra seharusnya murni sebagai ibadah tambahan tanpa menyertakan target keuntungan materi di dalamnya.

Alasan apa pun untuk meloloskan alasan, dalil, dan argumentasi ”tukang dakwah” yang berpamrih materi kemudian dapat kita sangkal jika kita benar-benar menyadari bahwa dakwah adalah murni ibadah, ibadah yang wajib kita jalankan, tanpa serupiah pun menerima kompensasi atau balasan berupa materi lainnya.

Kadang mata kita juga merekam dengan jelas bagaimana sosok seorang pendakwah yang bergelimang materi itu, baik di televisi maupun di kehidupan sekeliling kita. Dengan mobil mewah ia datang ke arena pengajian, umroh berkali-kali ditayangkan siaran infotaintment, rumah yang besar dengan perabot lengkap, dan masih banyak lagi keistimewaan dunia yang ditampilkan para pendakwah masa kini.

Lalu, kita juga patut mengandaikan, jika suatu waktu anak-anak kita akan mengucapkan cita-cita mereka bukan lagi ingin menjadi seorang dokter, tentara, guru, atau pilot. Bisa jadi mereka akan mengungkapkan cita-cita mereka ingin menjadi pendakwah. Bisa jadi dalam imajinasi mereka kelak seorang pendakwah akan mendapat materi berlimpah yang menjamin kelayakan hidup.

Mereka akan berpikiran jadi pendakwah pasti akan kaya, gampang membeli mobil, membangun rumah, dan memberangkatkan haji orang tua mereka dengan bayaran sebagai berdakwah. Wallahu a’lam. Jika ini benar terjadi, kita wajib menyalahkan diri kita: mengapa kita masih saja mengamini kata-kata pendakwah yang masih memanfaatkan agama untuk menumpuk pundi-pundi uang dewasa ini?

Kita selayaknya juga bertanya mengapa kita tidak lantas mengingatkan mereka bahwa pendakwah bukanlah jenis pekerjaan yang mendatangkan keuntungan materi? Tentu kita—setidaknya sebagian besar kita—sepakat bahwa dai yang komersial itu tidak menghidup-hidupi agama tapi justru menggantungkan hidup mereka dengan aktivitas mengatasnamakan agama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya