SOLOPOS.COM - Isharyanto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (1/10/2015), ditulis Isharyanto. Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara dan Dosen di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Pada 22 September 2015 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penegak hukum yang ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin presiden. Dengan begitu tak berlaku lagi aturan pemberian izin untuk memeriksa anggota DPR berasal dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Putusan ini bertentangan dengan yang dimohonkan para pemohon uji materi UU tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD. MK memutuskan lebih dari itu, yakni izin harus dari presiden.

Banyak pihak menyayangkan putusan tersebut karena dianggap langkah mundur dalam penegakan hukum dan kekhawatiran terhalang-halanginya penegakan hukum akibat birokrasi dan prosedur yang lebih panjang.

Pemberian kewenangan kepada presiden, yang sama-sama pejabat negara terpilih karena faktor politik, dicemaskan akan melahirkan perbuatan menghalang-halangi sistem peradilan. Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung menjamin pemberian izin itu tidak akan digunakan untuk menghalangi proses penegakan hukum.

Latar belakang diberlakukannya ”prosedur izin” sebelum memeriksa pejabat negara ialah dalam rangka melindungi harkat, martabat, dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan secara hati-hati, cermat, tidak sembrono, dan tidak sewenang-wenang.

Pejabat negara dan lembaga negara merupakan personifikasi dari sebuah negara. Ketentuan tentang ”prosedur izin” ini menggantikan forum privilegiatum yang diatur dalam Pasal 106 UUDS (Pasal 148 Konstitusi RIS) karena sejak 1 Juli 1959 konstitusi Indonesia tidak lagi berdasarkan UUDS tetapi kembali ke UUD 1945

Dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan mengenai forum privilegiatum. Hal ini bisa dilihat pada penjelasan umum UU No. 13/1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap Anggota/Pimpinan MPRS dan DPRGR.

Pada 26 September 2012, MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU No. 12/2008 tentang Perubahan Atas UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). [Baca: Lamban]

 

Lamban
Pasal itu memuat ketentuan pemeriksaan dan penyidikan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak kejahatan harus menggunakan izin tertulis dari presiden. Kejaksaan Agung sempat mengeluhkan lambannya izin pemeriksaan kepala daerah dari kepresidenan sebagaimana diatur dalam UU No 32/2004.

MK kemudian memutuskan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah yang melakukan tindak pidana atau kejahatan dapat dijalankan tanpa harus mendapat izin secara tertulis dari presiden. Sedangkan untuk Pasal 36 ayat (3), MK menyatakan konstitusional bersyarat.

Artinya, jika penyidikan berlanjut pada penahanan harus mendapatkan izin tertulis dari presiden. MK menyatakan izin itu tidak berlaku jika terdapat beberapa pengecualian, seperti kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan atau disangka melakukan kejahatan yang diancam hukuman mati dan kejahatan yang mengancam keamanan negara.

Hal itu merupakan putusan terkait Pasal 36 ayat (4). Bagaimana dengan pemeriksaan legislator? Dalam putusan tersebut, khususnya pada halaman 75 poin 3.26, MK memerintahkan supaya pembentuk UU menerapkan putusan tersebut, yaitu pemeriksaan anggota DPRD tidak memerlukan izin presiden.

Selengkapnya pertimbangan MK tersebut berbunyi: menimbang, bahwa terdapat pasal-pasal dan undang-undang yang terkait dengan persetujuan tertulis atas penyelidikan, penyidikan, dan penahanan terhadap anggota DPRD provinsi yang memerlukan persetujuan menteri dalam negeri atas nama presiden dan anggota DPRD kabupaten/kota yang memerlukan persetujuan gubernur atas nama menteri dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 53a quo dan Pasal 340 UU No. 27/2009 tentang MD maka menurut Mahkama, pembentuk undang-undang perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian.

Faktanya, dengan pemberlakuan UU No. 17/2014 yang menggantikan UU No. 27/2009 tersebut, dalam Pasal 224 ayat (5) ad aaturan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), dan (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD).

Dalam putusan yang diucapkan pada 22 September 2015 lalu, MK menegaskan penegak hukum jika ingin memeriksa anggota DPR harus mendapat izin presiden. Dengan begitu, tak berlaku lagi aturan yang menyebut izin dapat memeriksa berasal dari MKD.

Putusan ini bertentangan dengan yang dimohonkan para pemohon yang menginginkan aturan dalam pemeriksaan anggota DPR tidak perlu mendapatkan izin MKD. MK memutuskan lebih dari itu, yakni izin harus diterbitkan presiden.

Menurut MK, izin tertulis dari presiden juga harus berlaku untuk anggota MPR dan DPD sedangkan untuk anggota DPRD di provinsi dan kabupaten/kota pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan harus mendapat persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri. [Baca: Implikasi]

 

Implikasi
Dengan putusan yang berbeda pada 2012 dan 2015 tersebut, menjadi masuk akal bahwa haluan konstitusionalitas MK dalam memandang izin pemeriksaan kepada anggota parlemen telah berubah.

Pada 2012 MK menyatakan pemeriksaan kepala daerah tidak perlu izin presiden. Pada 2015 MK malah memerintahkan penyidik meminta izin presiden saat memeriksa anggota DPR. Apa bedanya kepala daerah dan anggota DPR?

Penghapusan norma perizinan dari MKD tentu disambut baik, tetapi tindakan MK yang kemudian menjadi positive legislator dengan mempersyaratkan izin diambil alih oleh presiden menjadi bermasalah.

Presiden maupun anggota parlemen merupakan pejabat yang dipilih. UUD 1945 sama sekali tidak membedakan posisi presiden sebagai kepala negara dengan kepala pemerintahan karena hal ini adalah praktik dalam demokrasi parlementer.



Putusan terakhir MK menyatakan satu bentuk perlindungan hukum yang memadai dan bersifat khusus untuk anggota DPR, yaitu dengan adanya persetujuan tertulis dari presiden dalam hal dipanggil dan dimintai keterangan karena diduga melakukan tindak pidana.

Ini argumentasi yang contradiction in terminis karena pemeriksaan tindak pidana adalah ranah kekuasaan yudisial yang harus nihil dari intervensi pihak mana pun.

Ketiadaan izin bukan berarti proteksi kepada anggota DPR lemah karena pemeriksaan tindak pidana harus didukung oleh sejumlah alat bukti yang memiliki relevansi hukum dan profesionalisme aparat penegak hukum.

Presiden harus memastikan, melalui instruksi di lingkungan eksekutif, cara penegakan hukum demikian yang harus dijalankan.

Menambah prosedur baru dalam tahapan penegakan hukum bukan saja memunculkan neobirokratisasi, tetapi lebih jauh lagi ada laku penyangkalan dari mekanisme peradilan yang transparan.

Tidak ada hubungan bahwa adanya prosedur perizinan merupakan bentuk check and balance antara presiden dan DPR. Check anad balance adalah perimbangan dalam mengambil keputusan atas pelaksanaan wewenang atribusi UUD 1945, bukan menguji tindakan aparat penegak hukum.

Putusan MK tersebut membuktikan penegakan hukum bukan proses yang sebening kaca. Penegakan hukum yang berhadapan dengan cabang kekuasaan lain berpotensi menyeret proses itu ke dalam pusaran politik yang kontraproduktif. Kita semua tentu tidak menginginkan hal itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya