SOLOPOS.COM - Taufiq al Makmun, Peneliti dan anggota peer group di Institut Javanologi Universitas Sebelas Maret

Taufiq al Makmun, Peneliti dan anggota peer group di Institut Javanologi Universitas Sebelas Maret

Identitas Jawa dalam konteks logos dan simbol tidak hilang sama sekali. Berbagai bentuk kesenian Jawa masih kentara dan dipertunjukkan meski dalam bingkai pelestarian budaya yang peminatnya dalam hitungan jari. Transkripsi Jawa muncul bak ornamen penghias papan-papan nama organisasi pemerintah, seperti di Kota Solo, namun tak banyak yang mampu membacanya. Keindahan bahasa Jawa sesekali diperdengarkan pada kesempatan-kesempatan istimewa, namun tak banyak yang tahu makna pastinya. Mengapa?

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Konstelasi perang budaya kian garang. Budaya dianggap senjata   politik dan ekonomi ketika perang fisik dianggap tak beradab, Joseph Nye Jr (2004) mengistilahkan soft power. Di tanah Jawa, bahana wacana budaya-budaya impor kian gegap gempita. Ini kentara dari lagu yang didendangkan, fashion yang dikenakan, poster yang dipajang dan—ironisnya–uang dibelanjakan untuk budaya yang diperjualbelikan itu. Budaya orang merebak, populer dan meyedot nilai ekonomi yang kian tak terhitung menjadi jebakan pasung budaya popular. Ini tidak salah, tapi justru menjauhkan nilai identitas lokal ketika ditransfer mentah-mentah. Lalu, apa makna identitas yang telah terbentuk selama berabad-abad?

Meminjam istilah Latin yang sudah lazim dalam dunia akademis kita, Javanologi muncul menjadi nama sebuah lembaga pusat studi di Universitas Sebelas Maret (UNS) sejak 2010. Java dan logos bermakna harfiah ilmu kejawaan. Lembaga ini bukan yang pertama, jauh lebih dahulu lembaga dengan nama yang sama berdiri di Kota Jogja. Pro dan kontra muncul. Apa perlunya? Ada yang menilai terlambat, reaksioner dan latah. Tetapi tebersit harapan, sebuah kesadaran akan makna identitas scara ilmiah, mendistribusikan nilai keilmuan dalam konteks tentang Jawa–kelokalan–dengan bahasa kekinian, dan tentunya memproduksi kebudayaan yang kembali ke akar kejawaannya.

Javanologi adalah sebuah harapan pula untuk memberi akses dan jembatan kepada generasi mendatang yang kian jauh dari produk-produk budaya Jawa baik itu ideofact maupun artefact. Ketidaktahuan adalah pangkal proses lumernya daya dukung, maka pengetahuan menjadi titik awal. Budaya-budaya lokal yang terpinggirkan memang menarik bagi pihak luar sebagai bahan penelitian dalam logika konservasi berdasar belas kasihan  dan kekhawatiran akan hilang dan punah.

Ketiadaan daya dukung masyarakat adalah bentuk enyahnya rasa kepemilikan. Rasa memiliki budaya sendiri pudar ditelan ketidakpercayaan pada identitas lokalnya, digeser budaya-budaya pendatang yang silih berganti, populer dan sementara yang tak pernah berakar apalagi memberikan identitas. Budaya yang melekatkan identitas pada suatu masyarakat tentu bukan suatu yang instan, simbiosis dan adaptasi terhadap lingkungan lokal menjadi bumbu proses produksi budaya suatu masyarakat. Budaya menjadi identitas karena pas dengan kebutuhan lokal, kemurnian kreativitas, muncul sebagai local genius dan wishdom pada proses pembentukan identitas budaya.

Motivasinya bukanlah alasan ekonomi semata, tetapi falsafah hidup dalam berinteraksi antarmanusia dan dengan alamnya, kuat berakar karena telah teruji. Menyitir teori Darwin, apa yang telah tumbuh mekar dan berakar kuat itulah yang sesuai dengan lingkungan tempat tumbuhnya. Budaya adalah multidisplin. Javanologi menjadi sebuah kajian wilayah yang mengembangkan identitas lokal sebagai inti kajiannya dengan melihat Jawa tidak hanya melalui pembedahan dan kajian kitab-kitab saja tetapi lebih melihat Jawa sebagai suatu budaya yang tumbuh melekat dengan perkembangan masyarakatnya yang meliputi ilmu-ilmunya: cara hidup, teknologi hidup, dan produk-produk kehidupan masyarakat termasuk perilaku interaksi.

Kepercayaan pada sifat budaya yang tidak statis, mampu berkomunikasi, bernegosiasi dan berhibridisasi dengan budaya lain akan menginspirasi keberlanjutan produksi-produksi budaya lokal kekininian yang tetap didukung karena berkembang dan tidak ketinggalan zaman. Javanologi tentu bukan alat perang. Javanologi lebih menyoal ihwal peran akademis keilmuan. Javanologi bukan sekadar tameng budaya yang mudah rapuh karena miskin dukungan.

Peran keilmuan membahasakan kekuatan-kekuatan budaya dan identitas untuk tidak menjadi suatu yang dikeramatkan, ekslusif, dan diisolasi, ataupun hanya dikenal pada kalangan terbatas. Javanologi mengembangkan kelokalan dengan bahasa publik yang boleh diperdebatkan, dikembangkan dan diadaptasi menjadi kekinian dengan kekuatan identitas dan keterikatannya pada aspek lokal. Posisi Javanologi ada di antara pemahaman makna identitas dan sifat kebudayaan yang cair, tidak bisa terbendung, dan selalu berinteraksi antarbudaya apalagi ketika keran-keran globalisasi kian terbuka lebar. Fungsinya mengakrabkan identitas lokal dengan menempatkan setiap penggunanya sebagai subjek yang sadar makna identitas itu sendiri.

Melemahnya sebuah identitas adalah bagaikan lukisan seekor bunglon yang selalu bermimikri, mengubah diri untuk bertahan, tak percaya diri dengan warna aslinya. Dalam ekonomi modern yang dipersenjatai soft power, masyarakat lemah identitas budaya adalah sasaran tembak yang mudah tergilas, objek pasar, senyap kreativitas dan pasti termiskinkan.

 

Internasionalisasi Perguruan Tinggi

Kini, persaingan antarperguruan tinggi dihadapkan pada isu internasionalisasi yang diukur dari berbagai aspek yang bermuara pada kemampuan mencari posisi di kancah internasional. Interaksi dengan perguruan tinggi negara-negara lain menjadi keharusan, pengakuan lebih di tingkat international menjadi ujung isu (international journal dan proceedings). Apakah perguruan tinggi harus menjadi menara gading lagi? Tinggi, indah dipandang, namun tak tersentuh bak monumen. Menjadi ”diakui” seharusnya adalah sebuah konsekuensi pencapaian, bukan tujuan.

Institut Javanologi yang menjadi salah satu keunggulan UNS sesungguhnya mampu menjadi sebuah kekuatan yang memendarkan identitas kelokalan sebuah perguruan tinggi yang sadar di mana tempatnya berdiri dan identitas apa yang melekat pada lingkungannya. Sebuah strategi yang elok. Dengan identitas yang kuat membuat suatu lembaga mempunyai kekuatan dan menjadi sebuah pusat bukan peniru, menjadi rujukan bukan pengekor.

Pemaknaan budaya sebagai cara hidup menjadikan ilmu kelokalan bukanlah pengkaji karya budaya literer saja tetapi pembaca teks-teks budaya dalam arti luas. Ilmu yang dapat digali dari suatu identitas lokal dapat ditemukan dalam cara hidup masyarakat pendukungnya: pertanian, sandang, arsitektur, pengobatan, kemasyarakatan, sastra dan sebagainya. Demikian juga pengembangan perguruan tinggi yang berbasis multidispilin ilmu penunjang kehidupan bermasyarakat.

Perlu diakui bahwa keterbatasan penjelasan secara ilmiahlah yang menjadikan banyak hal termasuk ilmu-ilmu Jawa ditinggalkan, dianggap tidak teruji. Mengunokan tradisi adalah strategi dalam perang budaya sebagai senjata ekonomi global, menciptakan label dikotomis budaya modern versus kuno; menghegemoni pilihan. Saintifikasi apa yang sudah tertradisikan menjadi pilihan strategis pengembangan ilmu dan kelokalan.

Setiap ilmu yang tumbuh dan berkembang akan unik karena faktor lingkungan bertumbuh, sosiologi masyarakat, kondisi geografis dan sejarah yang melingkupinya. Transfer teknologi pun tidak bisa sekonyong-konyong tanpa adaptasi dengan faktor lokalnya. Kesadaran akan faktor kelokalan menjadikan nilai khas pengembangan suatu ilmu.

Menjadi suatu pusat pengembangan ilmu akan memunculkan nilai keinternasionalan karena kemampuannya mewarnai dengan segala aspek kekhasan bukan sebuah echo yang tak beridentitas. Hidupnya identitas-identitas lokal akan menjadi warna global. Pada akhirnya apa yang ditempuh Institut Javanologi merupakan model penguatan suku (=kaki dalam bahasa Jawa) yang menjadi pilar penyangga identitas nasional bahkan global. (taufiq.solo@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya