SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Senin (23/10/2017). Esai ini karya Mulyanto Utomo, jurnalis Solopos. Alamat e-mail penulis adalah mulyanto.utomo@solopos.co.id.

Solopos.com, SOLO–Minggu sore (22/10), Mas Wartonegoro kedatangan tamu, seorang mahasiswi di Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Solo. “Saya mendapat tugas dari dosen saya nih, Pak. Saya disuruh menanyakan soal makna kesakralan jusnalisme,” kata sang mahasiswi.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Hla, terus maksud kamu menanyakan kesakralan jurnalisme kepada saya itu apa?” jawab Mas Wartonegoro.

Hla, kan Bapak seorang wartawan… jadi paham dong makna kesakralan dalam jurnalisme itu? Maksud saya ya hanya menanyakan makna kesakralan jurnalisme itu dan masihkah jurnalisme itu sakral?” kata sang mahasiswi itu panjang lebar.

Mas Wartonegoro yang sudah belasan tahun jadi wartawan itu berpikir keras atas pertanyaan mahasiswi tersebut. Benarkan jurnalisme itu memang berada dalam ranah yang sakral? ”Sakral” jika mengacu pada makna Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang keramat, suci.

Arti dari pertanyaan mahasiswi tadi adalah jurnalisme seharusnya memiliki tugas suci, jurnalisme memunyai peran dan fungsi yang sangat mulia karena mempraktikkan kegiatan yang harus dijaga kemurniannya, tidak dikotori oleh kepentingan-kepentingan lain kecuali hanya sebagai wahana untuk mengungkap kebenaran.

Selanjutnya adalah: Dalam literatur-literatur lama…

Literatur

Dalam literatur-literatur lama, misalnya dalam buku berjudul Wartawan Pembina Masjarakat terbitan Binatjipta, Jakarta (1970), yang ditulis Floyd G. Arpan dan Ruchady, disebutkan bahwa dalam teori pers bertanggung jawab pemberitaan yang dilakukan adalah dengan disertai kesadaran penuh bahwa pengaruh yang bakal ditimbulkan sangatlah besar.

Dengan demikian, dalam teori pers bertanggung jawab ini media menyampaikan berita dengan sangat berhati-hati, pemberitaan disusun sedemikian rupa sehingga tidak akan mengganggu ketertiban umum, tidak menimbulkan kegelisahan masyarakat, dan tidak mempertentangkan publik yang bisa mengakibatkan perpecahan.

Kesakralan jurnalisme ini juga secara lugas pernah disampaikan oleh Andreas Harsono, salah seorang pakar media terkemuka. “Kalau masih ditanya juga soal apa agama saya, saya akan jawab: agama saya adalah jurnalisme,” demikian Andreas Harsono.

Pernyataan Andreas Harsono itu menyiratkan bahwa dunia jurnalisme begitu mulia sehingga ia mengibaratkannya seperti sebuah agama. Dalam konteks keilmuan, jurnalisme memang seolah-olah seperti agama yang juga menempatkan kebenaran sebagai prinsip dasar.

Seperti disampaikan begawan jurnalisme asal Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Bedanya adalah kebenaran yang dicari melalui agama adalah kebenaran mutlak atau kebenaran filosofis yang bersumber dari Tuhan, sedangkan dalam jurnalisme kebenaran yang dicari adalah kebenaran praktis atau fungsional.

Selanjutnya adalah: Seiring dengan perkembangan teknologi…

Teknologi

Seiring dengan perkembangan teknologi, lahir berbagai teknik, metode, dan spesifikasi baru di dunia jurnalisme. Teknologi membentuk perusahaan informasi baru yang memasukkan jurnalisme ke dalam kategori yang lebih luas, new media atau media berbasis Internet berkembang pesat.

Sayangnya, perkembangan tersebut membuat peranan jurnalisme dalam menyajikan kebenaran menjadi bias. Keuntungan perusahaan menjadi perhatian utama melebihi kualitas berita. Privasi dan hak-hak pribadi sering kali dilupakan.

Batasan-batasan dalam mengorek informasi sering kali diabaikan. Dalam menyusun dan menyajikan berita pun sejumlah media melupakan kaidah, persyaratan, dan bahkan kredo jurnalisme. Sensasionalitas dijadikan modal utama untuk menarik minat masyarakat.

Kesakralan jurnalisme pun memudar di mata khalayak. Begitu banyak media baru akibat tuntutan kecepatan dan tingginya kunjungan pembaca menyiarkan berita secara serampangan sehingga menimbulkan kontroversi dan bahkan kegaduhan luar biasa di dunia maya.

Contoh mutakhir adalah kasus kata “pribumi” yang disampaikan oleh Gubernur baru DKI Jakarta Anies Baswedan yang belakangan memunculkan polemik panjang, padahal di sana ada peran kesalahan dalam penyusunan kalimat dalam judul sebuah berita di portal dan kemudian ditelan mentah-mentah oleh warga Internet atau warganet. Pro kontra pun tak terhindarkan.

Selanjutnya adalah: Menyebabkan kredibilitas media dipertanyakan…

Kredibilitas

Hal demikian sesungguhnya menyebabkan kredibilitas media yang bersangkutan kemudian dipertanyakan oleh sebagian audiens karena menyampaikan berita secara tidak benar, bias, dan mengandung unsur salah nalar.

Media baru telah menyebabkan hiruk-pikuk perdebatan, perselisihan, perbedaan pendapat yang menajam di antara anak bangsa. Media sosial sebagai bagian dari media baru juga kian memperkeruh situasi memudarnya kesakralan jurnalisme.



Dalam kaitan ini, seorang bloger bernama Iwan Awaluddin Yusuf menulis bahwa beberapa isu negatif jamak dihadapi pengguna media sosial karena mereka sekadar mengikuti tren, merasa yang penting update, bersikap reaksioner, dan ikut dalam arena perdebatan yang tidak bermanfaat, bahkan sering kali andil menyebarluaskan informasi palsu (hoaks).

Akibatnya, menurut Iwan, informasi simpang siur bertebaran lewat pesan singkat, foto dan gambar meme, thread, situs berita abal-abal, blog, termasuk kolom komentar. Tanpa disadari pula, pengguna media sosial sering terlibat dalam tindakan kontraproduktif bagi kebebasan berpendapat, seperti trolling, provoking, spamming, bullying, dan hate speech. (https://pr2media.or.id/).

Selanjutnya adalah: Pembentuk budaya baru…

Budaya baru

Begitulah. Dalam buku terbaru yang diterbitkan PT Aksara Solopos berjudul Arah Baru Masa Depan Industri Informasi (2017: 43) di antaranya ditulis bahwa pembentuk budaya baru dalam dunia kini yang paling dominan adalah media sosial. Media sosial mengubah budaya ”mengonsumsi” berita.

Dulu audiens—pembaca, pendengar, pemirsa—pasrah 100% kepada institusi pers. Mereka manut kepada institusi pers yang menyajikan berita dengan kredo jurnalisme yang ketat, berpegang kepada nilai-nilai “kesakralan” dalam jurnalisme. Tentu setelah membaca, mendengar, melihat berita, mereka bebas mendiskusikan dan menginterpretasikan.

Media sosial telah mengubah model mengonsumsi berita seperti itu. Kini audiens punya banyak saluran untuk mempertanyakan berita yang disajikan institusi pers. Media sosial menjadi saluran sangat terbuka—layak disebut liberal—yang memberikan banyak pilihan kepada penggunanya untuk memilih, meyakini, memaknai, dan menggunakan informasi, termasuk berita.

Media sosial memungkinkan audiens mengecek benar atau tidaknya berita yang disajikan institusi pers, mencari pembanding, secara mandiri mengecek benar tidaknya data. Kredo jurnalisme yang sangat ketat dipertanyakan.

Berita yang telah melalui tahap-tahap jurnalisme yang sangat ketat dan berdisiplin tinggi pun diragukan, dipertanyakan, dan dicarikan pembandingnya. Platform boleh jadi akan terus berubah, namun sejatinya nilai-nilai sakral jurnalisme tetap menjadi harapan setiap orang yang sadar tentang pentingnya kebenaran dalam praktik dan proses penyajian berita.

Kovach dan Rosenstiel menyebut jurnalisme tidak menjadi usang apalagi hilang. Jurnalisma (bisa jadi) hanya menjadi lebih rumit. Jika tidak bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman keduanya menyatakan,”Siap-siaplah binasa!”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya