SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Gagasan Solopos, Kamis (5/11/2015), ditulis Algooth Putranto. Penulis pernah mengajar di Fakultas Hukum dan KomunikasiUnika Soegijapranata serta menjadi analis di KPI Pusat.

Solopos.com, SOLO — Kurang bergairahnya pesta demokrasi di daerah alias pemilihan kepala daerah (pilkada) sudah diduga sejak penetapan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 7/2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada 30 April 2015 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Yasonna H. Laoly.

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Peraturan tersebut melarang kampanye pilkada dengan cara melakukan konvoi atau pawai di jalan. PKPU itu juga mengatur setidaknya empat sarana kampanye pasangan calon kepala daerah yang dibiayai oleh negara dan diadakan serta diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi/kabupaten.

Keempat sarana kampanye tersebut adalah pemasangan alat peraga kampanye, penyebaran bahan kampanye, iklan di media cetak dan elektronik, dan debat publik antarpasangan calon kepala daerah. Aturan itu membuat pilkada di Jawa Tengah tahun ini jauh dari meriah dibandingkan pesta demokrasi sebelumnya.

Ketatnya aturan ini juga membuat uang yang biasa berputar kencang tiap pilkada kini  jadi melambat. Bagi banyak konsultan politik, lembaga riset, media massa, dan koordinator pengerahan massa, momentum pilkada kali ini bukanlah pesta panen.

Pilkada tahun ini juga tak ramah bagi roda ekonomi yang biasanya kencang berputar bagi produsen bahan kampanye. Tak banyak lagi pesanan kaus peserta pilkada yang biasanya juga disertai kalender, mug, pin, stiker, dan pernik-pernik lainnya. Bahan kampanye yang biasanya dibuat dan didistribusikan secara bebas oleh pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah atau tim suksesnya itu kini semuanya dikonversi dalam bentuk uang maksimal Rp25.000.

Pendek kata, pilkada kali ini sungguh sepi, mengais rezeki tak mudah lagi! Ancaman bagi pelanggaran terhadap larangan pemasangan iklan kampanye itu memang cukup berat.

Bila pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah tidak melaksanakan ketentuan tersebut dalam waktu satu kali 24 jam, pasangan calon dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah.

Lalu, masihkan ada jalan? Tentu ada. Apakah media sosial bisa menjadi jalan pilihan? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Mengapa? Dengan kemudahannya, sifat kampanye di media sosial yang horizontal dibatasi dua sifat.

Pertama, ”market is conversation” yang artinya market atau pasar isinya adalah orang-orang yang saling berbicara satu sama lain. Di Twitter kita dapat berbincang dengan brand atau person. Kultur social media marketing dicirikan oleh kedekatan antara brand atau person dengan customer.

Customer dalam hal ini adalah calon pemilih atau pemilih setia. Tanpa kedekatan, lupakan saja keunggulan media sosial. Kedua, media sosial bersifat permission marketing. Artinya, meski katanya mudah dan murah, pemasaran di media sosial sangat tergantung pada izin dari pasar.

Misalnya, kalau kita ingin terkoneksi melalui Blackberry Messenger, Whatsaap, Line, Facebook maka wajib hukumnya mendapat approval atau persetujuan terlebih dahulu. Jika di Twitter, harus follow terlebih dahulu sebelum bisa mengirimkan pesan langsung (direct message).

Tentu saja hambatan tersebut masih bisa diakali melalui penggunaan pasukan dunia maya yang menggunakan akun pribadi dan lincah. Anda tentu masih ingat bagaimana kerja pasukan medis sosial pada masa pemilihan umum 2014 lalu yang luar biasa trengginas.

Sayangnya, di pilkada kali ini, kampanye melalui medis sosial tidak akan sebebas pada masa lalu. KPU tak abai. Media sosial yang pada pemilihan umum 2009 dan 2014 menjadi mesin perang kampanye yang cenderung banal tanpa etika, kini hal itu diatur oleh KPU.

Terdapat klausul pembatasan penggunaan jumlah akun media sosial yang bisa digunakan para calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, yaitu maksimal tiga akun untuk satu calon kepala daerah. [Baca: Gagap Media Sosial]

 

Gagap Media Sosial
Harapannya dengan pendaftaran akun media sosial pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah maka bentuk pelanggaran di dunia maya yang pada masa lalu cukup keji karena kerap menjual sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), bahkan fitnah menyangkut urusan pribadi, dapat dengan mudah diawasi.

Apakah KPU maupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Jawa Tengah dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) kabupaten/kota memiliki kemampuan mengawasi dunia maya media sosial?

Kampanye fisik mudah diawasi karena kasat mata. Bagaimana dunia maya yang instan dan bersifat viral tersebut diawasi? Dalam hal ini saya cukup pesimistis melihat gagapnya KPU maupun Bawaslu dan Panwaslu di Jawa Tengah.

Tengok saja laman KPU JaWa Tengah yang dibangun menggunakan mesin gratis wordpress.com. Meski sudah memiliki tautan pada dua platform media sosial, Facebook dan twitter, serta cukup ramah diakses melalui telepon genggam, laman ini masih jauh dari kata ideal sebagai media utama pencarian informasi.

Sejumlah informasi tak diperbarui. Sebagai contoh, peta daerah pemilihan dan riset partisipasi masyarakat yang ketika dibuka ternyata kosong. Bagaimana dengan laman Bawaslu Jawa Tengah? Dari sisi tampilan memang jauh lebih baik meski sangat tidak nyaman bagi pengakses melalui telepon genggam.

Soal kelengkapan informasi tak jauh berbeda dengan laman KPU Jawa Tengah. Sejumlah menu ketika diakses dalam kondisi kosong. Sebut saja menu “Informasi” yang ketika di-klik hasilnya kosong atau menyajikan data tak diperbarui. Bayangkan saja jika informasi terakhir yang diunggah adalah tanggal 28 Oktober 2014.

Lebih repot lagi jika melihat aktivitas media sosial KPU Jawa Tengah  maupun Bawaslu Jawa Tengah yang sama sekali tidak cerewet alias kurang supel (sociable). Sebagai contoh, jika kita lihat penggunaan Twitter, ternyata cuitan KPU Jawa Tengah di Twitter melalui akun @KPUJateng yang paling akhir dilakukan adalah pada masa pemilihan presiden pada 9 Juli 2015!

Bagaimana dengan Bawaslu Jawa Tengah? Lebih payah. Cuitan terakhir akun @JatengBawaslu dilakukan pada 27 Februari 2014! Dengan kinerja seperti itu, saya cukup prihatin membayangkan hasil akhir kinerja pengawasan kampanye di dunia maya oleh kedua lembaga yang dibiayai negara tersebut.



Entah mengapa, rupa-rupanya ini lolos dari pantauan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang sangat cerewet ber-cuit-cuit di Twitter. Bagaimana di tingkat yang lebih kecil, yaitu KPU kabupaten/kota serta Panwaslu kabupaten/kota?

Saya mengambil sampel dua daerah penyelenggara pilkada 2015 di Jawa Tengah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi,  yaitu Kota Semarang dan Kota Solo.

Kita lihat KPU Kota Semarang. Situs resmi KPU Kota Semarang yang digarap kampus swasta terkemuka di Semarang ini ternyata kurang ramah bagi pengakses melalui telepon genggam. Tak terdapat tautan maupun menu media sosial.

Meski demikian, dalam hal bermedia sosial, KPU Kota Semarang masih lebih up-date dibandingkan KPU Jawa Tengah. Akun @kpukotasemarang kali terakhir men-cuit pada 26 Agustus. Jangan tanyakan soal kuantitas following maupun followers, terlalu kecil untuk disebut populer.

Kita bandingkan dengan KPU Kota Solo. Secara penampilan, laman KPU Kota Solo lebih baik dan nyaman bagi pengakses melalui telepon genggam. Tim laman KPU Kota Solo sangat teliti dan update.

Laman ini menyediakan saluran interaktif pada menu “Interaksi”. Sayangnya situs ini sama sekali tak menyediakan tautan media sosial. Tak kepemilikan akun Twitter resmi atas nama KPU Kota Solo. Bagaimana dengan Panwaslu Kota Semarang dan Kota Solo?

Laman Panwaslu Kota Semarang jauh lebih baik karena jika diakses melalui komputer pribadi paling sociable bagi media sosial dengan tautan Twitter, Facebook, google+, bahkan Linkedn.

Sayangnya, selain menu media nsosial tak muncul ketika diakses melalui telepon genggam, laman Panwaslu Kota Semarang tak memiliki akun Twitter. Kekurangan yang sangat mengganggu. Entah mengapa situs Panwaslu Kota Semarang menggunakan platform gratis blogspot.com.

Alhasil, setiap kali diakses melalui komputer pribadi maka akan muncul pop-up iklan foreign exchange (forex), iklan jual beli mata uang. Laman Panwaslu Kota Solo sungguh menyedihkan!

Laman ini dibangun menggunakan platform gratis blogspot.com. Isi laman juga lebih pantas disebut sebagai sejarah. Halaman pertama situs ini bahkan terakhir diperbarui pada 2013. Jangan tanyakan pula soal kepemilikan akun Twitter. Sudah pasti tidak ada.

Dengan kondisi ini, saya prihatin dengan cara dua lembaga penyelenggara dan pengawas pilkada tersebut dalam melakukan sosialisasi kepada calon pemilih maupun pengawasan terhadap para kontestan pilkada, terutama generasi milenial yang lebih akrab dengan telepon genggam dan bersosialisasi di dunia maya. Saya berharap hal ini semoga segera disadari dan diperbaiki.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya