SOLOPOS.COM - Adi Putra Surya Wardhana (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (12/1/2016), ditulis Adi Putra Surya Wardhana. Penulis adalah alumnus Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Awal 2016 dibuka dengan kegaduhan politik. Kali ini, isu reshuffle Kabinet Kerja dan konflik internal Partai Golongan Karya (Golkar) menjadi pembuka kegaduhan politik di awal 2016.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Menyangkut isu reshuffle Kabinet Kerja, Presiden Joko Widodo selalu menegaskan perombakan kabinet adalah hak prerogatifnya sebagai presiden, tidak bisa didesak atau didikte.

Tidak lama setelah pernyataan itu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang mengindikasikan akan ada perombakan kabinet (Solopos, 9 Januari 2016). Kedua pernyataan tersebut justru menguatkan indikasi adanya tekanan politik yang besar, terutama dari partai pendukung pemerintah.

Partai Amanat Nasional (PAN) telah memutuskan bergabung dengan pemerintah. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan & RB), Yuddy Chrisnandi, telah mengeluarkan rapor evaluasi kementerian dan lembaga negara.

Partai Golkar yang masih mengalami konflik internal menunjukkan tanda-tanda hendak mendukung pemerintah. Meskipun masih sebatas wacana, hal ini mengindikasikan adanya manuver politik Partai Golkar kubu Aburizal Bakrie (Ical) untuk mengamankan posisinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang digoyang kubu Agung Laksono.

Kubu Agung Laksono secara terbuka menyatakan mendukung pemerintah. Isu reshuffle Kabinet Kerja dan konflik internal Partai Golkar agaknya masih akan mewarnai pemberitaan berbagai media massa selama beberapa waktu ke depan.

Kegaduhan politik di awal 2016 sebenarnya telah diprediksi oleh para politikus dan pengamat politik. Politikus Partai Golkar, Bambang Soesatyo (www.tempo.co, 30 Desember 2015), mengatakan kegaduhan politik akan tetap terjadi di pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2016. Menurut Bambang, puncak kegaduhan politik terjadi pada tahun ini.

Bambang juga mengatakan kegaduhan politik pada 2016 sejatinya merupakan kelanjutan dari politik gaduh yang kencang berembus pada 2015. Beberapa peristiwa tersebut di antaranya konflik Polri versus KPK, kontroversi pemilihan Kapolri, pertentangan antarmenteri Kabinet Kerja, pembekuan PSSI, konflik internal Partai Golkar dan Partau Persatuan Pembangunan (PPP), kasus Pelindo II, serta kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo.

Kegaduhan politik yang melanda pemerintahan Presiden Joko Widodo membuat rakyat bertanya-tanya: apa manfaat dari kegaduhan politik itu bagi rakyat? [Baca selanjutnya: Kesadaran Sejarah]Kesadaran Sejarah

Kegaduhan politik sejatinya tidak terjadi pada periode pemerintahan ini saja. Sejak Indonesia merdeka kegaduhan politik selalu terjadi di setiap pemerintahan. Penting kiranya bagi para elite politik untuk mengerti dan memahami kesalahan para pendahulu di masa lalu.

Menurut Sartono Kartodirjo (1992), meskipun sejarah tidak pernah berulang, tetapi pengalaman sejarah dapat digunakan untuk menghadapi krisis kekinian karena selalu ada persamaannya.

Daliman dalam bukunya Pengantar Filsafat Sejarah menjelaskan kesadaran sejarah pada hakikatnya merupakan kesadaran akan makna memori pengalaman manusia. Melalui sejarah, pengalaman-pengalaman manusia di masa silam diingat kembali.

Mengingat berarti berusaha k mengalami atau mengetahui lagi pengalaman-pengalaman di masa lampau (2012: 78-79). Berdasarkan pendapat tersebut, penting untuk belajar dari kegaduhan politik yang pernah terjadi, misalnya ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi parlementer (1950-1959), terdapat banyak partai politik yang saling bersaing.

Tujuh kabinet dibentuk silih berganti. Kegaduhan politik kian panas saat kampanye pemilihan umum (pemilu) pertama yang diadakan pada 1955. Setelah pemilu, kegaduhan politik justru semakin menjadi-jadi. [Baca selanjutnya: Berebut Kekuasaan]Berebut Kekuasaan

Partai-partai politik saling berkoalisi, tetapi juga saling bermusuhan pada saat bersamaan karena berebut kekuasaan. Sebagai akibatnya Badan Konstituante gagal merumuskan undang-undang dasar (UUD) baru untuk menggantikan UUDS 1950, korupsi meluas, keamanan nasional terancam, pemberontakan daerah semakin berkobar, perekonomian yang sudah terpuruk sebagai dampak revolusi semakin memburuk.

Presiden Soekarno tak kalah garangnya bermain siasat politik. Dekrit Presiden dikeluarkan pada 5 Juli 1959. Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno dijalankan. Demokrasi Terpimpin yang digagas Presiden Soekarno memunculkan tiga poros politik baru, yakni Soekarno, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD).

Tiga poros politik yang saling memainkan siasat politik itu mengakibatkan kemiskinan meningkat, anarkisme dan pembunuhan terjadi di mana-mana atas nama reformasi agraria, perekonomian memburuk, dan rakyat menjadi korban.

Puncak kegaduhan politik masa Presiden Soekarno terjadi ketika Gerakan 30 September (G 30 S) 1965 meletus. Enam perwira TNI AD dan ratusan ribu rakyat yang dituduh sebagai anggota PKI terbunuh. Sebuah tragedi yang masih menyimpan banyak misteri hingga saat ini.

G 30 S berbuntut dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang mengakibatkan terjadinya peralihan kekuasaan. Dengan beralihnya kekuasaan ke tangan Soeharto maka berakhirlah kegaduhan politik masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Pengalaman kegaduhan politik yang pernah terjadi pada masa Presiden Soekarno seperti yang telah diuraikan di atas cukup memberi kita pelajaran bahwa kegaduhan politik tidak membawa dampak yang positif bagi rakyat dan negara.

Rakyatlah yang selalu menjadi korban. Inilah nilai penting memiliki kesadaran sejarah, terutama bagi para elite politik yang menjadi panutan rakyat. Dengan memiliki kesadaran sejarah, elite politik dapat bersikap arif dan bijaksana dalam berpolitik.

Kegaduhan politik yang terjadi di era kekinian justru membuktikan bahwa kesadaran sejarah para elite politik telah mati. Jika demikian, kesalahan elite politik di masa lalu akan terulang dan terus terulang di masa depan.

Jika kesalahan elite politik terus terulang, lagi-lagi rakyatlah yang harus menjadi korban. Bukan tidak mungkin jika kemudian rakyat memutuskan nasibnya sendiri dan bersikap apatis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya