SOLOPOS.COM - A. J. Susmana (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (31/10/2015), ditulis A.J. Susmana. Penulis adalah alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.

Solopos.com, SOLO — Ekonomi sebagai panglima yang sering dianggap sebagai slogan Orde Baru semakin nyata pada kehidupan Republik Indonesia saat ini. Menurut Emil Salim, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokow) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), “… Saat ini yang dipikirkan hanya kereta cepat atau modal masuk. Ini yang membuat saya resah.”

Promosi Komeng Tak Perlu Koming, 5,3 Juta Suara sudah di Tangan

Secara sederhana kehidupan Republik Indonesia saat ini hanya menomorsatukan uang atau modal. Bisa dikatakan dari presiden sampai rakyat biasa, persoalan yang dihadapi dan yang ada dalam pikiran hanyalah bagaimana mendapatkan uang alias modal yang dianggap bisa menyelesaikan masalah  yang dihadapi tanpa memikirkan kondisi sosial, politik, dan budaya.

Kebudayaan  dapat menjadi kekuatan untuk turut serta menyelesaikan masalah kompleks yang dihadapi bangsa, termasuk persoalan ekonomi. Cendekiawan Soedjatmoko menganggap pembangunan ekonomi sebagai masalah kebudayaan sebab cara bertindak ekonomis suatu masyarakat tak lain merupakan satu wajah kebudayaannya sendiri.

Kita lihat, di tengah gencarnya paket-paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah, rakyat juga dihadapkan pada persoalan masa lalu yang menggelayuti, yaitu tragedi kemanusiaan pada 1965.

Persoalan ini terus menghantui sebagian rakyat Indonesia, sementara yang lain menganggap sudah jelas bahwa persoalan 1965 harus dibuka dan diselesaikan seadil-adilnya agar tidak menghambat langkah-langkah maju negeri ini.

Ketidakrelaan sebagian rakyat Indonesia terhadap dibukanya kasus 1965 yang sudah berlangsung setengah abad ini tampak mengemuka dalam beberapa kasus akhir-akhir ini.

Kasus termutakhir adalah dikeluarkannya surat deportasi dan tangkal oleh otoritas imigrasi di Padang, Sumatra Barat, terhadap Tom Iljas, seorang exile di Swedia, karena dituduh hendak membuat film dokumenter ihwal Partai Komunis Indonesia (PKI) dan gejolak politik 1965 sebagaimana Joshua  Oppenheimer.

Kemudian  pelarangan peredaran Majalah Lentera edisi ketiga yang mengulas tragedi 1965 di Kota Salatiga dan sekitarnya  yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, dan pelarangan pembahasan G30S dalam Ubud Writers & Readers Festival 2015 oleh pemerintah daerah Bali.

Semua peristiwa pelarangan dan pembungkaman aktivitas terkait tragedi 1965 menunjukkan adanya persoalan yang mendasar dan menyakitkan yang melanda negeri ini sehingga sebagian warga negeri ini emoh untuk membicarakan, kalau pun dibicarakan harus dari satu sisi, cenderung dihindari dan ditenggelamkan.

Dengan caranya sendiri tragedi 1965 selalu menuntut panggung untuk dibicarakan dan diselesaikan sebagai bagian menyeluruh menyelesaikan problem bangsa.

Dengan begitu tragedi 1965 bukan hanya soal menyelesaikan atau tidak tapi juga menjadi bayang-bayang yang bisa menghambat kemajuan bangsa bila memang tidak ada penanganan yang pas. [Baca: Jalan Ekonomi]

 

Jalan Ekonomi
Pembangunan ekonomi yang digencarkan pemerintah dengan seruan ”kerja, kerja, dan kerja” bisa menjadi sia-sia karena pada dasarnya problem yang dihadapi Indonesia saat ini tidak hanya bertumpu pada persoalan ekonomi. Jalan ekonomi seperti  ini pernah dilewati Orde Baru dan tidak selamat dalam setengah abad.

Soedjatmoko, yang menurut Sjahrir dalam Analisis Ekonomi Indonesia tidak ada figur Indonesia yang dapat dinyatakan sebanding dengan Soedjatmoko sebagai pemikir yang dalam, berbudi, dan tidak tenggelam dalam hiruk-pikuk keseharian, sudah memperingatkan (kepada Orde Baru) bahwa pada hakikatnya ciri pokok dari usaha pembangunan bukan proyek-proyek bantuan luar negeri dan bukan investasi modal asing.

Hakikat pembangunan ialah gerak majunya suatu sistem sosial menghadapi tantangan-tantangan baru. Hal itu hanya mungkin jika ada perubahan-perubahan dan perkembangan-perkembangan dalam masyarakat itu sendiri dan di dalam sistem nilai tradisionalnya.

Pembangunan tidak berpecah dengan tradisi atau dengan sejarah, melainkan suatu tali-tali kontinum yang berkesinambungan (Soedjatmoko, Menjelang Suatu Politik Kebudayaan dalam Budaya Jaya, Agustus 1972). Kita lihat saat ini pembangunan ekonomi semakin bergantung pada proyek-proyek bantuan luar negeri dan investasi modal asing.

Masalah sosial, politik, dan budaya  seperti perlakuan diskriminatif terhadap korban-korban 1965 dan kelompok-kelompok minoritas keagamaan, keyakinan, etnis, termasuk lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)  masih terjadi dan sering disertai dengan kekerasan dan intimidasi tanpa perlindungan dan pengayoman secukupnya dari kepamongan pemerintah.

Melihat situasi seperti ini hampir tidak mungkin suatu proyek pembangunan nasional akan berhasil di tengah jiwa bangsa yang tidak bergotong royong dan tidak  bersatu tapi terfragmentasi dalam tempurungnya sendiri-sendiri dengan keangkuhan di satu sisi dan ketakutan di sisi lainnya.

Secara politik bisa dikatakan bahwa proyek pembangunan (ekonomi) nasional seperti ini gagal sejak peletakan batu pertamanya. Memang benar bahwa orang hidup tidak dari roti saja tapi juga dari spiritualitas, ideologi, dan keyakinan. Pendek kata, kebudayaan.

Tampaknya kita perlu kembali ke dasar, yaitu kembali ke filsafat, agar kita juga bias melihat persoalan bangsa ini secara menyeluruh dan menemukan dasar yang  kokoh untuk meletakkan batu-batu pembangunan.

Itu pun kita tidak berangkat dari nol sebab para pendiri bangsa telah menemukan titik temu filsafatnya dalam Pancasila. Tentu bukan filsafat Pancasila yang tertutup dan dimonopoli penafsirannya oleh kekuasaan dan untuk kepentingan sesaat!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya