SOLOPOS.COM - Kastoyo Ramelan (Istimewa)

Gagasan Solopos, Rabu (12/8/2015), ditulis Kastoyo Ramelan. Penulis adalah mantan Koordinator Dewan Kebijakan Dewan Kesenian Solo.

Solopos.com, SOLO — Apakah calon wali kota/bupati dan wakilnya di  semua daerah di Soloraya semestinya budayawan? Seharusnya seniman?  Wilayah Soloraya historis, eksistensi, citra, dan posisinya adalah kawasan seni budaya.

Promosi Enjoy the Game, Garuda! Australia Bisa Dilewati

UU No. 1/2015  yang mengatur pemilihan kepala daerah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi calon kepala daerah.

Intisari syaratnya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik  Indoensia (NKRI); berusoa minimal 25 tahun: mengundurkan diri dari status sebagai pegawai negeri sipil, dan beberapa syarat lainnua.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menambahkan syarat antara  lain mengundurkan dari dari dari anggota DPR/DPRD. Artinya memang tidak ada syarat calon kepala daerah harus harus seniman atau budayawan.

Pada pemilihan kepala daerah (pilkada) 9 Desember 2015 mendatang, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten/kota di Soloraya telah menetapkan  pasangan  wali kota/bupati dan wakilnya tentu para pemilih bebas untuk memilih mana yang menurut mereka paling baik.

Sejauh ini calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah mengemuka, yaitu di Solo F.X. Hadi Rudyatmo-Achmad Purnomo,  Anung Indro Susanto-M. Fajri; di Wonogiri Joko Sutopo-Edy Santoso, Hamid Noor Yasin-Wawan Setya Nugraha; di Boyolali Seno Samodro-Said Hidayat, Agus Purmanto-Sugiyarto, Cahyo Sumarso-Yakni Anwar.

Di Sragen Agus Fatchur Rahman-Djoko Suprapto, Jaka Sumanta-Surojogo, Sugiyanto–Joko Saptono, Kusdinar Untung Yuni Sukowati-Dedy Endriyatno; di Klaten Sri Hartini-Sri Mulyani, Suhardjanto-Sunardi, One Krisnata-Sunarto), Mustafid Fauzan-Sri Harmanto. Sedangkan di Sukoharjo Wardoyo Wijaya–Purwadi, Nurdin–Anis Mudhakir. Seluruh warga yang punya hak pilih di kota/kabupaten tersebut bebas memilih pasangan-pasangan yang disebut di atas dalam pilkada Desember mendatang bila tidak ada perubahan dari KPU kota/abupaten.

Tlatah Soloraya didirikan dan dideklarasikan Sinuhun Paku Buwono (PB) II (1726 – 1747) pada 1745. Bersambung dengan zaman K.G.P.A.A. Mangkunagoro (MN) I (1757– 795). Pada masa ini secara masif peradaban, kebudayaan dan kesenian berkembang di Soloraya.

Kondisi demikian terus dimatangkan  tatkala  pemerintahan PB IX (1861–1893). K.R.A. Sosrodiningrat, patih pada masa PB IX, mendirikan Museum Radya Pustaka pada  28 Oktober 1890. Inilah museum pertama bikinan bangsa sendiri.

Museum ini menjadi lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sekarang di museum ini St. Wiyono, Suprapto Suryodarmo, Teguh, Haryono, dan beberapa seniman/budayawan menyelenggarakn secara ajek sarasehan membahas karya para pujangga, juga  mengupas  tari, pedalangan, karawitan, dan lain-lain.

K.G.P.A.A. Mangkunagoro I memiliki bakat dan kekuatan untuk berperang melawan Belanda sekaligus menyalurkan bakat sebagai pemain gamelan serta  mencipta berbagai tarian, misalnya Bedaya Anglir Mendung.

MN I  juga bertutur tentang segala aspek kehidupan, seni, budaya dan agama. Ia bertutur kepada  para prajurit estri yang kemudian menjadi Babad Tutur. Inilah babad yang bukan ditulis oleh pujangga melainkan karya murni MN I.

Pada masa pemerintahan Sinuhun PB X (1893–1939), sang raja ini memberi subsidi kepada Museum Radya Pustaka yang telah dipindah ke kompleks Taman Sriwedari. Masa ini adalah puncak kejayaan kebudayaan dan keseneian Jawa. Banyak empu bergairah berkarya. Banyak dipergelarkan seni tari, karawitan, pedalangan, dan lain-lainnya.

Setelah Indonesia merdeka dan dipimpin Presiden Bung Karno dan Wakil Presiden Bung Hatta, ketika umur Republik Indonesia baru tiga tahun diselenggarakan kongres kebudayaan pertama di Kota Magelang, 7-10 Agustus 1948. Ketua umum kongres adalah Mr. Wongsonegro dan salah satu anggota panitianya adalah K.G.P.H. Suryohamidjojo (putra PB X).

Kongres kebudayaan pertama diselenggrakan dalam kondisi perang gerilya. Ini artinya pemerintah Indonesia menganggap sangat penting ihwal arti dan peran kebudayaan. Boleh jadi Bung Karno menggali nilai Pancasila dari kebuadayaan.

Kongres kebudayaan pertama ini punya peran menentukan berdirinya Konservatori Surakarta (sekarang SMKN 8 Solo). Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Ki Mangunsarkoro  menerbitkan surat keputusan pendirian Konservatori Karawitan Indonesia di Solo itu.

Pada 1950 berdirilah Konservatori Karawitan Indonesia dan K.G.P.H. Suryohamidjojo menjadi rektor pertama (1950–1961). Gairah mendirikan sekolah kesenian terus berlanjut. Pada 1964, pemerintah mendirikan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). Ketua ASKI pertama adalah K.G.P.H. Djojokusumo (putra PB X) yang menjabat pada 1964–1967.

Memasukki zaman Orde Baru, Presiden Soeharto pada 1970 membuat proyek kebudayaan di Solo yang disebut Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT)) yang dipimpin Gendon Humardani. Pada 1975, Gendon dipercaya merangkap menjadi pemimpin ASKI.

Setelah ASKI, berdiri Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Solo yang kini berkembang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo. ISI Solo melahirkan guru besar dan doktor bidang seni dan kebudayaan, seperti Sri Hastanto, Rahayu Supanggah, Sutarno, Waridi, Suparno, Sri Rochana Widyastutieningrum. Mereka ini secara bergantian menjadi rektor ISI Solo. [Baca: Realitas Arus Budaya]

 

Realitas Arus Budaya
Apa itu kebudayaan? Banyak definisi kebuadayaan. Aneh memang karena setelah Indonesia merdeka selama 70 tahun, belum mempunyai undang–undang tentang kebudayaan.

Tentu bukan berarti kita kehilangan pegangan  dan payung hukum tentang budaya Indonesia. Dalam UUD 45 (yang belum diamendemen maupun yang sudah diamendemen) ada pasal tentang kebudayaan, yakni Pasal 32.

Inti pasal itu  menyatakan negara memajukan kebudayan nasional Indonesia, menjamin kebebasan masyarakat memelihara dan mengembangkan nilai–nilai. Kebudayaan bangsa adalah buah usaha budi daya rakyat. Negara tidak menolak bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkaya kebudayaan bangsa sendiri.

Pencantuman frasa ”kebudayaan asing” di pasal UUD 45 itu menarik untuk ditelaah.  Senang atau  tak senang, itu adalah realitas arus budaya. Perlu kita simak paparan di buku Sejarah Kebudayaan Indonesia dengan editor tema Edi Sedyawati terbitan Rajawali Press, 2009.

Dalam buku itu dijelaskan masa kolonial di Indonesia, yakni kedatangan bangsa Eropa, khususnya Portugis dan Belanda, meninggalkan jejak di ranah pertunjukan, pengaruh dalam seni musik, di sekolah pun  pelajaran menyanyi masuk dalam kurikulum dan isinya sistem nada diatonik (awalnya dibakukan di Eropa).

Anak sekolah punya orentasi musik ke dunia Barat. Bersama dengan sistem diatonik, diperkenalkan pula instrumen musik populer dari Barat seperti biola, piano, gitar, dan lain-lain. Musik klasik dan musik populer Barat sama–sama mendapat sambutan luas dari penduduk asli di Indonesia.

Penguasaan terhadap media ekspresi musikal Barat ini digunakan secara kreatif untuk menciptakan gaya–gaya musik populer yang khas Indonesia, yaitu keroncong dan dangdut.

Bagaimana sikap seniman dan budayawan menghadapi pengaruh kolonial atau pengaruh kebudayan asing? Setelah masuk ke era Orde Baru, ada perubahan sikap, ada pemaknaan ulang. Aspek pengaruh barat ditimbang.

Kita simak artikel Sardono W. Kusumo tentang pertemuan teater pada 1982. Sardono mengatakan perjalanan teater Indonesia  yang tersirat di  pertemuan teater pada 1982, diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, menunjukkan kecenderungan upaya mencari identitas teater.

Taman Ismail Marzuki (TIM) adalah cagar kebebasan emosional telah diam–diam menjadi konvensi yang disepakati seniman, penguasa, dan polisi. Seniman dalam cagar kesenian ini juga sedikit menguasai nuansa dan konvensi–konvensi daerah konsensinya.

Usaha mengoyak keterbatasan telah diam–diam atau juga beramai–ramai dilakukan, kreativitas tak bisa dipasung. W.S. Rendra merupakan saksi dan menyatakan estetika seni modern dengan relaitas kehidupan lingkungan.

Mencari identitas teater ternyata tak terbatas pada teater, tetapi juga pada cabang seni yang lain. Laku ini bagai mazhab seni, mencari jati diri, berdialog dengan roh tradisi leluhur, menghayati napas lingkungan sendiri sebagai bahan tema penciptaan, menyebar ke berbagai kota besar Indonesia.



Masihkah Soloraya sebagai kawasan  budaya? Masihkah ada perawatan kultural? Kita ambil contoh tentang kawasan Sangiran di Kabupaten Sragen. United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menetapkan Sangiran sebagai kawasan world heritage”.

Wong Soloraya bisa berbicara kepada masyarakat dunia, ”Mau melihat kehidupan nenek moyang kita dua juta tahun lalu? Datanglah ke Sangiran. Di Sangiran Anda bisa melihat fakta peninggalan (fosil–fosil) berbicara dalam era purba secara ilmiah.”

Sekarang kawasan ini terus dirawat Pemerintah Kabupaten Sragen. Sangiran menjadi objek penelitian sekaligus wisata sejarah.      UNESCO juga menetapkan wayang Indonesia sebagai salah satu adikarya budaya lisan nonbendawi warisan peradaban manusia (masterpiece of the oral intangible heritage of humanity).

Sekarang masih banyak dalang. Ada Ki Manteb Sudharsono yang tinggal di Karanganyar. ISI Solo sedang  mempertimbangkan gelar “Empu” untuk  Ki Manteb. UNESCO juga  menerbitkan sertifikt untuk batik Indonesia.

Motif batik punya tataran artistik tinggi. Dicipta dengan kesetiaan, punya keunikan yang menakjubkan, penuh makna, penuh piwulang. Begitu banyak pengusaha batik di Solo. [Baca: Bergerak Bersama]

 

Bergerak Bersama
Batik punya sejarah panjang, punya kawasan batik di Kauman dan Laweyan. Pada 2012, ISI telah memberi gelar “Empu Batik” kepada  H. Santoso Dullah, pembatik, pengusaha batik, pemilik Museum Batik Danar Hadi Solo.

Apakah para seniman di Soloraya masih punya semangat berkarya? Masih. Suprapto Suryodarmo di Padepokannya Lemah Putih tetap berkarya, mengolah total tubuhnya, mengekspresikan dengan hatinya, darahnya, ototnya, ekspresi wajahnya, menjadi suguhan karya tari yang hening dan magis.

Mbah Prapto tak hanya tampil di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Di Taman Budaya Surakarta (TBS) para seniman  berkarya, mengadakan pameran lukisan, pementasan drama,  pementasan wayang, pemetasan keroncong, dan lain-lainnya.



ISI Solo punya gedung teater untuk pementasan karya tari, karawitan, pedalangan. Karya Rahayu Supanggah dan Dedek Wahyudi serta seniman luar negeri sering tampil di ISI Solo.

Balai Soedjatmoko sering menggelar berbagai kegiatan kesenian dan kebudayaan dengan motor Hary Budiono dan Ardus M. Sawega.  Di Sriwedari, wayang orang tetap main tiap malam. Di Taman Bale Kambang ketoprak rutin dipentaskan.

Solo punya generasi muda sastrawan dan penulis esai, penulis novel, penulis buku,  yang  tergabung dalam grup Komunitas Pawon Sastra dan Bilik Literasi. Mereka antara lain Bandung Mawardi, M. Fauzi Sukri, Setyaningsih, Ngadiyo Diharjo, Yudhi Herwibowo, Endah Darmastuti, Puitri Hatingisih, Yunanto Sutyastomo, Sani B. Kuncoro, Han Gagas, dan lain-lain.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo yang kini dipimpin  Eny  Tyasni Suzana tiap tahun secara mengadakan pentas seni. Secara adil ditampilkan pertunjukan seni tradisi dan seni  modern. Di Keraton Kasunanan Surakarta, G.K.R. Wandasari  setia mementaskna tari Bedaya Ketawang, tari yang dianggap sakral dan sekaligus pusaka.

Penggarapannya tidak tergoda  menggunakan  musik Barat atau dengan inovasi koreografi. Tarian ini ritual, bukan komersial, hanya dipentaskan di dalam keraton saat jumenengan raja. Begitu juga tarian Bedaya Anglir Mendung di Pura Mangkunegaran.

Seniman yang menghasilkan karya yang baru, otentik, dan berkualitas juga banyak Soloraya punya punya Sardono W. Kusumo. Dia  telah mementaskan  karya di banyak kota Indonesia maupun di Amerika dan Eropa.

Bagiamana calon wali kota/bupati  dan wakilnya di Soloraya menyikapi daerah mereka sebagai kawasan budaya? Para pemimpin daerah di kawasan Soloraya ini  tak bisa lepas tangan dari kondisi Soloraya sebagai kawasan seni budaya.

Saya mengusulkan, dengan mengutip pendapat  Acep Iwan Saidi, dosen kebudayaan di Sekolah Pascasarjana Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (2015), menyebut pemimpin daerah yang mestinya—setelah mengetahui kesejatian Soloraya sebagai pusat seni dan kebudayaan—sekaligus pemimpin kebudayaan sebagai seorang dirigen.

Tugasnya bukan merumuskan, apalagi membuat standardisasi. Tugasnya cukup menuntun sekaligus bergerak bersama ke arah terciptanya aransemen kebudayaan yang renik dan kompleks itu. Dirigen adalah konduktor yang mengantarkan arus keberagaman.





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya