SOLOPOS.COM - Inda-Marlina Alumnus Jurusan Antropologi Universitas Gadjah Mada. (FOTO/Istimewa)

Inda Marlina
Alumnus Jurusan Antropologi
Universitas Gadjah Mada. (FOTO/Istimewa)

Kematian Aaron Swartz mengundang pro dan kontra diberbagai kalangan. Sehari sebelum ia menjalani vonis yang diberikan padanya, laki-laki 26 tahun itu ditemukan menggantung tak bernyawa di apartemennya pada hari Jumat 11 Januari 2013. Swartz dijatuhi hukuman 35 tahun penjara dan denda 1 miliar dollar. Salah satu “otak” Wikipedia ini dinyatakan bersalah atas pengunduhan artikel di JSTOR (jstor.org), sebuah situs yang digunakan untuk mengakses jurnal ilmiah.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Swartz mengunduh artikel ilmiah sebanyak 4,8 juta dengan menyabotase sistem jaringan di Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 11 Juli 2011 silam. Unduhan tersebut kemudian ia bagikan secara gratis (lihat: www.nytimes.com  kata kunci Aaron Swartz). Akibat perbuatannya, JSTOR tak dapat diakses beberapa saat dan mengalami kerugian besar. Pihak jurnal dalam jaringan non-profit tersebut lantas menuntut Swartz untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Kendati ia adalah “pencuri”, kepergian aktivis internet itu justru mengundang simpati di penjuru dunia. Saya tidak mencoba menginvestigasi kematian Swartz. Tulisan ini merupakan bentuk penghormatan untuknya yang masih mencoba idealis ditengah arus politik kepentingan internet sekarang.

Penggunaan JSTOR dan sebagian besar jurnal-jurnal ilmiah di internet lainnya memang tidak gratis. Jurnal dalam jaringan ini berbayar, sehingga tidak bisa diakses oleh sembarang orang. Para pelanggannya berasal dari lingkungan pendidikan, terutama pendidikan tinggi seperti universitas. Itu berarti, jika ingin mengakses dan mengunduh konten yang ada di dalam JSTOR, posisi kita harus berada di dalam universitas yang berlangganan tersebut. Untuk melewati portal JSTOR memang harus membayar, meski demikian di dalamnya ada pula artikel yang bisa diunduh cuma-cuma. Sebenarnya ada polis tertulis menyatakan karya mana saja yang bisa diunduh keseluruhan tanpa membayar atau karya yang hanya boleh diunduh intisarinya saja sedangkan untuk isinya harus membayar lagi (sesuai dengan harga yang diminta), maupun karya yang bisa diakses jika kita membayar penuh.

Pembayaran ini terkait dengan adanya royalti yang diberikan untuk para kontributor JSTOR. Kontributor merupakan akademisi yang berasal dari penjuru dunia. Tidak adanya iklan di jurnal dalam jaringan ini memungkinkan mereka tidak membiarkan masyarakat umum mengaksesnya secara gratis. Terkadang hal ini (seperti juga dialami oleh saya) sedikit menggemaskan, karena artikel atau makalah yang ternyata bisa menjadi referensi justru tidak bisa diunduh karena harus membayar lebih untuk itu. Kita hanya diijinkan membaca abstraknya saja. Selain itu kecuali di lingkungan universitas yang berlangganan, kita tidak bisa mengakses jurnal ini. Pihak JSTOR mengakui bahwa uang yang didapat dari para pelanggan digunakan untuk mengumpulkan dan mendistribusikan artikel ilmiah tersebut (sumber: www.nytimes.com kata kunci Aaron Swartz).

 

Bentuk Perlawanan

Aaron Swartz telah kecanduan komputer dan internet semasa berusia belasan. Ia berada di garda depan menolak keras adanya penyensoran internet seperti adanya program pemerintah Amerika, SOPA (Stop Online Piracy Act) dan PIPA (Protect IP Act). Gerakan yang diusung Swartz adalah akses internet gratis untuk seluruh masyarakat. Kebebasan atas perolehan informasi menjadi tujuan utama laki-laki yang sempat mengalami depresi sebelum kematiannya itu. Sabotase jurnal-jurnal ilmiah di JSTOR merupakan puncak kekecewaannya pada pemerintah (Amerika) terhadap pembatasan internet. Swartz yang drop out dari Stanford University ini menyatakan bahwa seharusnya jurnal yang dihasilkan oleh ilmuwan dapat diakses secara cuma-cuma oleh publik. Para ilmuwan tersebut memperoleh uang dari masyarakat. Dalam pandangannya, masyarakat berhak mengakses hasil-hasil buah pemikiran para ilmuwan tersebut. Swartz bisa dikatakan tidak setuju dengan penggunaan uang terhadap perolehan informasi dan pendidikan.

Argumen dan tindakan Swartz memang terkesan heroik serta mengundang simpati. Namun, tak sedikit pula yang menganggap hal tersebut utopis. Ibaratnya, tak ada yang gratis di dunia ini. Mendapatkan informasi pun harus disertai imbalan. Meski demikian, Alex Stamos dalam blognya Unhandled Exception menyatakan bahwa kematian Swartz adalah kesalahan dari putusan hakim. Terlalu berlebihan jika Swartz dihukum selama dan semahal hukuman yang dijatuhkan padanya. Stamos menyatakan “If I had taken the stand as planned and had been asked by the prosecutor whether Aaron’s actions were “wrong”, I would probably have replied that what Aaron did would better be described as “inconsiderate” “. Dalam uraian blog tersebut, Swartz bukanlah superhacker. Ia hanya mengunduh jurnal dengan sangat cepat sehingga menyebabkan jaringan JSTOR terganggu. Stamos menilai Swartz tidak hati-hati saat proses pengunduhan itu berlangsung sehingga pihak MIT dengan cepat bisa menemukan pelaku. Kesengajaan ini menurut saya merupakan pancingan agar ia “ditangkap”. Perlawanan nyata tersebut berujung tradegi bunuh diri. Seolah berhasil, kematian Swartz memancing debat argumen tentang kebebasan perolehan informasi di internet serta memancing orang lain untuk memikirkan kembali keberadaan SOPA dan PIPA.

 

Robin Hood

Kematian Swartz memicu kicauan di Twitter dengan adanya tanda pagar (tagar) #pdftribute yang berisikan artikel dalam bentuk pdf untuk menghormati kepergian Swartz. Swartz adalah pejuang nyata penolak SOPA dan PIPA. Apakah mengunduh jurnal ilmiah itu dilarang? Tentu saja tidak. Mungkin di antara kita membenarkan putusan hakim yang memvonis Swartz karena ia “mencuri”.

Keberadaan pembatasan internet seperti adanya SOPA dan PIPA merupakan “bencana” kecil dalam dunia maya. Karena regulasi tersebut, kebebasan untuk memperoleh informasi telah terbatasi. Contoh nyatanya adalah kita tidak bisa mengakses gratis lagi e-book yang diunduh. “Bencana” ini mungkin dirasakan oleh orang-orang yang berkepentingan seperti mahasiswa, dalam memperoleh akses informasi gratis. Keadaan ini merupakan perlindungan dari plagiasi, namun ada satu etos yang dilupakan oleh pembuat kebijakan, yaitu etos berbagi. Kekhawatiran akan plagiasi menjadi tombak utama untuk menghilangkan situs-situs yang menyebarkan informasi tak berbayar. Nyatanya, akan selalu ada seseorang yang mencari alternatif bagaimana cara untuk masuk dalam satu jaringan informasi tersebut. Jika demikian, manakah yang harus dibenahi, mental si pencari informasi agar selalu mencantumkan sumber perolehan informasi (credit), atau aturan-aturan untuk internet?

Aaron Swartz ingin menyuarakan bahwa memperoleh informasi, terutama untuk pendidikan, tidaklah harus dengan uang. Swartz tidak sekedar mencuri. Layaknya Robin Hood, ia mencuri untuk kepentingan “rakyat”, dalam hal ini adalah mereka yang ingin tidak mempunyai atau kesulitan dalam memperoleh informasi di internet. #pdftribute merupakan jaringan yang membantu cita-cita Swartz dalam penyebaran informasi ilmiah oleh para akademisi yang menghormati perjuangan Swartz. Ini mengingatkan bahwa seharusnya para akademisi tidak harus selamanya berada di menara gading dan dielu-elukan sebagai dewa pengetahuan. Swartz berpendapat semakin orang berpendidikan, seharusnya dapat berbagi ilmu dengan orang lain. Karena itulah mengapa banyak pujian dan doa yang dilayangkan untuk Aaron Swartz. Bukan hanya ia adalah orang yang humoris, bersahabat, dan menyenangkan tetapi karena kontribusi Swartz sewaktu hidup terhadap dunia internet serta pengaruhnya di dunia nyata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya