SOLOPOS.COM - Tundjung W Sutirto tunjung_ws@yahoo.co.id Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Tundjung W Sutirto tunjung_ws@yahoo.co.id  Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Tundjung W Sutirto
tunjung_ws@yahoo.co.id
Pemerhati budaya Dosen Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret

Mataram sudah tidak utuh lagi ketika dipecah melalui Perjanjian Giyanti. Perjanjian itu antara Sunan Kabanaran dengan Sunan Paku Buwono III, 13 Pebruari 1755. Sejak itu Mataram sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah dua kerajaan, Surakarta dan Yogyakarta, di bawah kuasa dan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda atau Kompeni Belanda.

Promosi Mudik: Traveling Massal sejak Era Majapahit, Ekonomi & Polusi Meningkat Tajam

Secara politis dapat dikatakan bahwa sejarah Praja Kejawen Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan perpanjangan sejarah Pemerintah Hindia Belanda. Secara de facto dan de jure sejak 11 November 1749 raja Mataram sudah tidak berdaulat lagi.

Kedaulatan dan kekuasaan raja sejak tanggal itu sudah diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda atau Pemerintah Hindia Belanda. Sangat terang dan vulgar dalam perjanjian tersebut Paku Buwono II menyerahkan Mataram baik wewengkon (wilayah) maupun parentah (kekuasaan) telah katuraken (diserahkan) kepada Kumpeni Kang Ageng.

Bahkan dalam nota perjanjian tersebut Paku Buwono II menyampaikan semacam kata-kata penegasan mboten pisan yen gadhaha karsa, anggadhahana malih yang maksudnya hanya berkehendak yaitu kehendak untuk berkuasa saja sudah tidak.

Demikian seterusnya, pada masa Paku Buwono III perjanjian dengan Pemerintah Kolonial Belanda diperbarui bahwa semuanya (kekuasaan dan kedaulatan atas kerajaan) yang andarbeni sedaya (yang memiliki semua) hanya Kangjeng Kumpeni Kang Agung.

Demikian kata-kata yang tertulis dalam surat-surat perjanjian antara Paku Buwon III dengan Pemerintah Kolonial Belanda atau disebut Kompeni (lihat BPH Buminata, 1952). Dari pernyataan dalam perjanjian tersebut dapat disimpulkan bahwa raja beserta struktur perangkat tradisionalnya memperoleh kekuasaan karena belas kasihan dan pinjaman dari Kompeni.

Setiap gerak-gerik Sunan dan atau perangkat kerajaan yang bernada menentang kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda dapat berakibat fatal karena Sunan dan pegawai kerajaan tersebut dapat diancam diturunkan dari takhta atau dipecat dan dibuang (diasingkan). Paku Buwono III dapat menduduki takhta selama 39 tahun (1749-1788), tetapi itu karena disetujui Kompeni.

Penobatan oleh Kompeni tersebut bahkan telah dimulai sejak Pangeran Puger yang diangkat menjadi Paku Buwono I. Upaya Pemerintah Kolonial Belanda menguasai Jawa dan Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta semakin menjadi-jadi. Pada masa Paku Buwono IV, sistem administrasi Eropa mulai diterapkan di dalam memperbaiki sistem pemerintahan di Jawa.

Hadirnya si tangan besi, Herman Willem Daendels, semakin mengukuhkan hegemoni Pemerintah Kolonial Belanda terhadap kerajaan dan seisinya. Terhadap Kasunanan Surakarta, Daendels menempatkan J.A.  van Bram sebagai Residen Surakarta (Februari 1808). Residen itu bertindak atas nama Pemerintah Hindia Belanda dan kedudukannya sederajat dengan Sunan atau raja Kasunanan Surakarta.

Hegemoni asing (Pemerintah Hindia Belanda) terhadap Kasunanan Surakarta terjadi sambung-bersambung dari rezim ke rezim. Bahkan, yang paling mencolok, pada masa Paku Buwono VII hampir semua daerah-daerah mancanegara diambil alih kekuasaannya oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Peter Mercus yang menjadi anggota Raad van Indie saat itu mewakili Pemerintah Hinda Belanda sukses merampas kekuasaan Sunan atas daerah-daerah mancanegara tersebut. Alasannya adalah Sunan sudah tidak mampu lagi mengatasi kemiskinan, kerusuhan, perampokan yang terjadi di daerah-daerah mancanegara tersebut.

Dengan perjanjian yang ditandantangani pada 22 Juni 1830, daerah Sunan tinggal Pajang, Sukawati, dan Gunung Kidul. Raja dan perangkat tradisionalnya memang masih punya posisi, tetap dihormati, dan digunakan walaupun kedudukannya sebenarnya tidak lebih dari pembantu pelaksana kebijakan pemerintah kolonial (Radjiman, 2002).

Seorang raja yang naik takhta harus membuat pernyataan untuk miturut ingkang sayekti (mengkuti yang sejatinya) kepada Kangjeng Gupermen. Seperti pidato penobatan Paku Buwono IX yang terang-terangan menyatakan takhtanya diperoleh karena saking peparingipun pangawasa (dari pemberian kekuasaan) Kangjeng Gupermen (baca Serat Perjanjian Dalem Nata, 1940).

Keadaan itu terus berlanjut sampai pada masa Paku Buwono X dan XI yang harus berjanji setia kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Bahkan pada masa Paku Buwono XI dalam surat perjanjian tertulis pernyataan bahwa Paku Buwono XI mengakui bahwa Kasunanan  tersebut masuk bagian wilayah Hindia Belanda.

Sampai menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia, proses suksesi dan eksistensi raja yang bertakhta masih mengkuti genealoginya yaitu tidak lepas dari kekuasaan pemerintah. Pada masa Paku Buwono XII juga harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pendudukan Jepang.

Dependen

Jadi secara politis, Keraton Kasunanan Surakarta sejak lahirnya bukanlah entitas yang otonom atau independen. Campur tangan pihak luar yang sedang berkuasa selalu mewarnai perjalanan sejarah Praja Kejawen itu. Kalau kemudian saat ini Pemerintah Republik Indonesia baik pusat maupun Pemerintah Kota Solo selalu mengatakan persoalan krisis kepemimpinan yang sedang berkecamuk di Keraton Kasunanan Surakarta adalah urusan internal maka pernyataan semacam itu adalah sebuah ironi.

Berdasar fakta kesejarahan diketahui bahwa campur tangan pemerintah terhadap keraton sudah sedemikan berakarnya. Pemerintah Republik Indonesia sekarang pun punya wewenang penuh terhadap Keraton Kasunanan Surakarta.

Melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 23/1988 terang benderang  bagaimana status dan pengelolaan Keraton Kasunanan Surakarta. Pada Pasal 2 Keppres tersebut dinyatakan Sri Susuhunan selaku pemimpin Kasunanan Surakarta dapat menggunakan keraton dan segala kelengkapannya untuk keperluan upacara, peringatan, dan perayaan-perayaan lainnya dalam rangka adat Keraton Kasunanan Surakarta.

Kata-kata ”dapat menggunakan” dalam Keppres tersebut  berarti tersirat dan tersurat bahwa aktivasi keraton ditentukan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Yang perlu digarisbawahi adalah dalam Pasal 2 dari Keppres tersebut Pemerintah Republik Indonesia menyatakan dengan tegas Sri Susuhunan adalah pemimpin Kasunanan Surakarta.

Artinya, pemimpin Keraton Kasunanan itu yang sah dan tidak ada lain kecuali Sri Susuhunan. Tidak ada keraguan bagi pemerintah pusat maupun Pemerintah Kota Solo mendasarkan pada Keppres No. 23/1988 itu untuk campur tangan menyelesaikan krisis kepemimpinan di Keraton Surakarta yang sudah berlangsung sejak 2004 tersebut.

Walikota Solo punya wewenang ekstra ikut campur dalam urusan keraton termasuk menyelesaikan konflik di dalamnya agar tidak terus-menerus dalam keadaan antitesis. Keraton Surakarta bukanlah tempat yang tak bisa disentuh oleh kekuasaan yang sedang berjalan saat ini.

Tidak ada kata salah jika Wali Kota Solo ikut campur dalam soal krisis di Keraton Surakarta. Jika diperlukan pihak kepolisian pun bisa sewaktu-waktu memasang police line di Keraton Surakarta. Tidak ada otonomi dan imunitas politik di keraton karena sejak lahirnya dahulu keraton selalu hadir dalam posisi dependen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya