SOLOPOS.COM - Ariyanto Program Director SOLOPOS FM Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo. (FOTO/Istimewa)

Ariyanto
Program Director SOLOPOS FM
Anggota Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Solo. (FOTO/Istimewa)

Seorang laki-laki berbelangkon mengenakan baju lurik menangis tersedu-sedu sambil meminta maaf kepada Aburizal Bakrie, tokoh yang lekat dengan kelompok media Viva Media Asia, Ketua Umum Partai Golkar, serta sosok yang dinilai paling bertanggung jawab atas tragedi lumpur Lapindo.

Promosi Selamat Datang Kesatria Bengawan Solo, Kembalikan Kedigdayaan Bhineka Solo

Lelaki bernama Hari Suwandi tersebut sambil sesenggukan mengatakan keyakinannya bahwa Aburizal Bakrie mampu menuntaskan tragedi lumpur Lapindo. Sebelum bertemu Aburizal Bakrie, Hari menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki dari Sidoharjo  menuju Jakarta melalui jalur pantai utara Jawa (pantura).

Dalam sebuah wawancara yang dipandu Indiarto Priyadi tersebut Suwandi menyatakan dirinya tidak dipaksa dan hanya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Adegan tersebut  muncul di program Apa Kabar Indonesia yang disiarkan TVOne.

Pernyataan Suwandi saat bertemu Aburizal Bakrie itu berbeda  180 derajat dengan sebelumnya. Saat berangkat berjalan kaki dari Sioharjo menuju Jakarta, Hari mengecam Abruizal Bakrie sebagai biang keladi bencana lumpur Lapindo.

Namun, saat dia bertemu langsung dengan sosok pusat grup usaha Bakrie itu, Hari menyatakan demikian menyesal sehingga meminta maaf kepada keluarga Bakrie. Kisah Suwandi ini menjadi bagian dari film Di Balik Frekuensi yang diputar secara terbatas di Solo, Sabtu (16/3).

Film itu diputar di Solo atas inisiatif tim pembuat film tersebut bekerja sama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Solo. Film itu berupaya menguak sebagian kecil cerita di balik berita di tengah kukuhnya konglomerasi media—terutama media televisi–di Tanah Air.

Film itu tak hanya menceritakan soal Suwandi. Film yang disutradarai Ucu Agustin itu juga menyingkap kisah Luviana, jurnalis Metro TV, yang dibebastugaskan dari kewajiban sebagai jurnalis secara sepihak oleh manajemen Metro TV karena Luviana memperjuangkan kesejahteraan karyawan melalui serikat pekerja.

Nasib Luviana tak jelas dan hingga sekarang terus memperjuangkan agar kembali dipekerjakan di stasiun televisi milik Surya Paloh itu. Ucu juga melengkapi film ini dengan dokumentasi berita mengenai sepak terjang Surya Paloh yang kini menjadi Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Aburizal Bakrie, serta Hary Tanoesoedibjo  saat masih aktif di Partai Nasdem.

Untuk memperkuat kisah dalam film itu disajikan grafis dan teks mengenai iklan partai politik yang didukung pemilik stasiun televisi. Film ini menjadi bagian dari Program Cipta Media Bersama yang didukung Ford Foundation.

 

Tak Sekadar Gambar

Menonton berita di layar kaca sesungguhnya lebih dari sekadar melihat gambar bergerak. Gambar yang tersaji hingga bisa dinikmati melalui berbagai media itu sejatinya adalah konstruksi yang disusun yang dimulai dari pekerjaan-pekerjaan teknis hingga nilai-nilai yang bersifat ideologis.

Dalam studi media dan kebudayaan, inilah yang disebut realitas gambar. Sebagaimana disampaikan pengamat budaya, Yasraf Amir Piliang, di balik gambar itu sesungguhnya ada ”realitas-realitas” yang tak tampak dan bisa jadi tidak dipedulikan pemirsa, seperti komodifikasi, industrialisasi pikiran dan bahkan rating.

Setidaknya, ada dua pokok persoalan yang tersaji dalam film berdurasi 140 menit itu. Pertama, kondisi pekerja media massa terutama televisi sebagaimana diperlihatkan melalui kisah Luviana. Kedua, potret tentang posisi media di tengah konglomerasi beserta jalinan kepentingan politik dan bisnis pemiliknya.

Nasib Luviana adalah sebagian kecil gambaran mengenai hubungan perusahaan pers dan pekerja pers. Bisa dikatakan, sebagian besar pekerja pers masih harus memperjuangkan kesejahteraan. Kondisi kian menyedihkan karena upaya itu tidak disertai sarana untuk meraihnya yang salah satunya lewat serikat pekerja.

Di Metro TV yang bernaung di bawah Media Grup sebagaimana ditulis Anette Keller dalam bukunya Otonomi Redaksi: Tantangan dari Dalam terungkap bahwa Surya Paloh tidak menghendaki serikat pekerja di perusahaannya. Menurut Surya Paloh, para karyawan masih dapat menemuinya dengan mudah, sehingga dapat menyampaikan aspirasi secara langsung.

Kehadiran serikat pekerja media massa di Indonesia boleh dikatakan amat minim. Catatan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI) menyatakan dari persuahaan 3.100-an media massa di Indonesia,  baru  ada 30-an persuahaan media yang telah memiliki serikat pekerja.

Di samping belum tumbuhnya kesadaran berserikat di kalangan pekerja di media massa, kondisi itu juga disebabkan pandangan pengusaha media massa yang belum melihat  serikat pekerja sebagai instrumen untuk meningkatkan produktivitas guna meraih kesejahteraan bersama.

 

Konglomerasi Media

Tahun 2013 menjadi tahun krusial bagi televisi, apalagi menjelang Pemilu 2014. Pakar politik menyebut tahun ini sebagai sebagai tahun politik. Beriringan dengan itu, partai politik akan gencar menebar pesona dan membangun citra untuk memikat calon pemilih.

Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran kian masifnya penggunaan televisi sebagai sarana propaganda partai politik yang didukung para pemilik televisi. Dari situlah kekhawatiran itu bermula. Frekuensi yang sejatinya milik publik akan menjadi arena perebutan kekuasaan para elite politik.

Kondisi dikhawatirkan kian memprihatinkan karena masyarakat tidak mempunyai banyak pilihan. Televisi dengan serangkaian programnya menjadi sarana untuk mempertahankan eksistensi atau menaikkan popularitas guna melempangkan jalan untuk meraih kekuasaan.



Media massa mempunyai kemampuan untuk mencitrakan seseorang. Bahkan, menurut Graeme Burton dalam bukunya Yang Tersembunyi di Balik Media, media mempunyai kemampuan untuk membingkai pandangan masyarakat.  Italia mempunyai catatan khusus atas kuatnya konglomerasi media massa terutama saat Silvio Berlusconi berkuasa.

Sebelum kekuasaannya tumbang, Berlusconi pernah kembali terpilih sebagai perdana menteri di tengah isu korupsi yang demikian pekat.  Hal itu tak terlepas dari peran jaringan media massa yang dikuasainya, MediaSet. Kelompok media ini membawahi tiga stasiun televisi nasional yang ditonton 45% pemirsa televisi di Italia.

Konglomerasi media massa tanpa terkendali tidak hanya melibas keberagaman, tetapi juga berpotensi menyesatkan persepsi publik. Ivan A Hadar, seorang aktivis sosial demokrat, mengingatkan bahwa media massa mampu mengubah seseorang yang sebenarnya buruk bisa jadi layaknya malaikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya