SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (15/12/2015), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah kritikus sastra.

Solopos.com, SOLO — Hidup si pengisah dan penafsir Indonesia itu telah berakhir, 13 Desember 2015. Ia mengembuskan napas terakhir di pangkuan Indonesia dan memilih bersemayam di Laut Jawa.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Selama puluhan tahun, ia rajin menulis Indonesia dengan kemahiran bahasa dan berdaya pikat sastrawi. Humor dan sinisme tak pernah lupa dituliskan agar orang mau membaca Indonesia sambil tertawa atau merengut.

Indonesia jadi pilihan. Indonesia tak cuma tempat tapi tema tak pernah usai. Di rahim Indonesia, ia tekun menguak sejarah, politik, bahasa, dan sastra agar terang hadir pada kita.

Ia bernama Benedict Richard O’Gorman Anderson, kondang dengan nama Ben Anderson (1936-2015), orang asing tapi ”paling” mengerti Indonesia jika merujuk ke publikasi artikel dan buku bertema Indonesia.

Semula saya digoda membuka sejarah dengan buku berjudul Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (1988). Buku itu mengingatkan pembaca pada peran ”kaoem moeda” sebagai penggerak revolusi.

Pendapat Ben Anderson jadi kritik atas penjelasan George McTurnan Kahin tentang revolusi dan nasionalisme di Indonesia. Revolusi tak melulu bertokoh Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka.

Ben Anderson tampak membujuk pembaca agar meneliti ulang para pelaku sejarah, berharap tak gampang tersihir oleh ”dongeng” bahwa Indonesia ditentukan oleh para ”arsitek” tua, hasil pendidikan Belanda dan memiliki pengalaman ”bertoean” Jepang.

Di mata Ben Anderson, ”kaoem moeda” adalah pengucap dan penentu revolusi. Mereka bernama dan ada di arus sejarah Indonesia. Kita bisa membaca dan terpesona meski isi buku sulit digunakan oleh para penulis buku pelajaran sejarah di sekolah.

Buku paling menghebohkan dari Ben Anderson adalah Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Buku itu diterbitkan dalam edisi bahasa Indonesia pada 2001 untuk bacaan saat orang-orang memperingati hari kemerdekaan Indonesia.

Kita mungkin termasuk terlambat membaca pemikiran-pemikiran ampuh Ben Anderson. Selama puluhan tahun kita telanjur mengerti nasionalisme dari Soetomo, Soekarno, Yamin, A.H. Nasution, Nugroho Notosusanto, Sartono Kartodirdjo, dan Soeharto.

Nasionalisme tak segampang dalam pidato atau halaman-halaman sambutan untuk terbitan buku sejarah. Daniel Dhakidae pernah menulis bahwa kaum akademik Indonesia mendua dalam menanggapi buku Ben Anderson. Mereka terpukau dan kebingungan. Buku itu terus mengalami cetak ulang dan jadi tema diskusi sampai hari ini. [Baca selanjutnya: Indonesia dan Jawa]

Indonesia dan Jawa

Vedi R. Hadiz dalam buku berjudul Politik, Budaya, dan Perubahan Sosial: Ben Anderson dalam Studi Politik Indonesia (1992) menyuguhkan uraian-uraian agak terang memerkarakan posisi dan pengaruh Ben Anderson di Indonesia.

Ia dianggap pemikir campu aduk, memiliki kompetensi menjelaskan pelbagai hal secara memikat tanpa kehilangan pendasaran argumentatif. Tulisan-tulisan Indonesia selalu ramai reaksi alias ”polemikal”.

Reputasi sebagai ahli Indonesia terus dibuktikan dengan publikasi artikel dan buku dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Para pembaca semakin ”ditenggelamkan” oleh penjelasan-penjelasan bergelimang polemik dan penasaran.

Ben Anderson gampang bergerak dari politik serius ke urusan-urusan sepele, tapi yang sepele itu adalah sindiran ke cara mengartikan Indonesia. Ia nakal dan perayu ulung. Di halaman bibliografi untuk buku-buku bertema Indonesia, kita bakal gampang menemukan nama dan judul buku Ben Anderson.

Para peminat studi Jawa juga berhak kagum saat membaca tulisan-tulisan Ben Anderson. Buku berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (2000) jadi bukti kegandrungan Ben Anderson pada alam imajinasi dan pikiran Jawa.

Ben Anderson menafsir wayang untuk masuk ke relung-relung Jawa. Di halaman pengantar, Ben Anderson mengaku wayang jadi gagasan utama dalam usaha mengerti geliat masyarakat Jawa selama ratusan tahun. Studi itu mendapat restu dari Kahin sebagai bacaan bagi para peminat Jawa saat mereka berkuliah di Amerika atau Eropa.

Di mata publik asing, Ben Anderson berperan sebagai pengantar masuk ke Jawa. Ben Anderson pun terserap ke Jawa. Kita bisa membuktikan jika membaca tulisan apik dan kritis berjudul Impian Profesional: Cerminan Pada Dua Karya Klasik Jawa (1984).

Ben Anderson menggoda pembaca dengan tafsir atas Serat Centhini dan Suluk Gatholoco. Dua teks itu memuat sejarah dan perkembangan Jawa dalam urusan kekuasaan, seks, religiositas, dan bahasa. Jawa terlalu memikat bagi Ben Anderson.

Tahun demi tahun berlalu. Kalangan akademik dan pemikir mulai terpengaruh pemikiran-pemikiran Ben Anderson dalam melihat, mengartikan, mengalami, dan menceritakan Indonesia. Kalimat-kalimat di tulisan-tulisan Ben Anderson jadi ”sihir”, ditiru, tapi tak gampang dipahami.

Obrolan di kampus, diskusi kalangan pergerakan, dan esai-esai di pelbagai media mulai menggunakan kutipan-kutipan berasal dari buku-buku Ben Anderson. Sihir paling menggoda adalah memahami Indonesia atau Jawa  melalui bahasa dan sastra.

Ben Anderson memilih referensi-referensi kebahasaan dan sastra ketimbang teks-teks besar politik mengenai Indonesia dan Jawa. Konon, pelacakan dan penemuan dalam fiksi memungkinkan bakal terkuak realitas.



Sastra menuntun pembaca sadar paradoks politik, ekonomi, sosial, dan kultural di Indonesia. Kegandrungan studi bahasa juga merangsang kita membaca Indonesia dan Jawa dalam tatanan kata mengandung sejarah, mentalitas, identitas, dan kekuasaan.

 

Bahasa dan Sastra

Ia memang ”paling” mengerti Indonesia. Kita disuguhi tulisan-tulisan tentang bahasa Indonesia. Ben Anderson sadar sejarah dan peran bahasa Indonesia dalam mengatasi pelbagai krisis politik, sosial, dan kultural. Kesejarahan bahasa Indonesia memungkinkan kita mengerti arsitektur politik Indonesia.

Bahasa itu politik. Kritik-kritik Ben Anderson atas pemahaman resmi bahasa Indonesia oleh pemerintah sering memicu perdebatan sengit. Tata bahasa baku dan ejaan keluaran pemerintah dihajar oleh Ben Anderson melalui contoh dan uraian berlatar sejarah dan kekinian.

Bahasa Indonesia tak boleh diremehkan atau dijadikan milik mutlak pemerintah. Risiko terbesar dari dominasi pembakuan adalah penghancuran hasrat-hasrat berindonesia.

Pesona bahasa itu berlanjut ke pembacaan dan penafsiran teks-teks sastra. Kita perlu berterima kasih atas gairah Ben Anderson memperkenalkan lagi novel Indonesia Dalem Api dan Bara (1947) garapan Tjamboek Berdoeri.

Teks itu lama membisu, ditinggalkan para pembaca atau pengisah Indonesia. Ia mengajukan novel itu demi mengerti Indonesia, tak melulu kita harus menurut ke Sitti Nurbaja, Salah Asoehan, Salah Pilih, Lajar Terkembang, Belenggoe, Atheis, Djalan Tak Ada Udjung, atau Keluarga Gerilja untuk mengetahui sejarah dan geliat revolusi di Indonesia.

Nama Tjamboek Berdoeri atau Kwee Thiam Tjing tak ada dalam leksikon pengarang Indonesia. Novel berlatar gejolak revolusi di Malang itu sepi dari kritik sastra. Ben Anderson membuat ulasan panjang dan mengusahakan novel itu terbit lagi agar mendapat pembaca baru.

Di ujung pengantar, Ben Anderson memuji Tjamboek Berdoeri: … semoga jiwa merdekamu dan warisanmu berbentuk buku ini, dengan kurnia Tuhan Yang Maha Esa, akan bersama kita untuk selama-lamanya.

Kini, kita ganti memberi doa dan pujian kepada almarhum Ben Anderson. Ia berakhir di Malang, latar dalam cerita garapan Tjamboek Berdoeri. Ia itu orang asing tapi ”paling” mengerti Indonesia, sudah berpamitan dari dunia tapi masih terus bercakap dengan kita melalui buku-buku.

Kita berhak menulis: Semoga warisan buku-buku membuat pembaca semakin terang mengartikan dan memiliki Indonesia. Hari-hari menjelang pamit, Ben Anderson telah menggoda pembaca dengan buku terbaru dalam ediri terjemahan bahasa Indonesia berjudul Di Bawah Tiga Bendera: Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial (2015).

Kita diperkenankan membaca buku-buku lama atau baru sebagai ekspresi mendoakan dan menghormati ketekunan si pengisah Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya