SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (11/1/2016), ditulis Aris Setiawan. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI)Solo.

Solopos.com, SOLO — Akhir 2015 lalu secara resmi toko compact disk (CD) dan kaset musik terbesar di Indonesia, Disc Tarra, gulung tikar. Di masa keemasannya Disc Tarra menjadi satu-satunya toko CD dan kaset musik yang memiliki lebih dari 100 gerai, tersebar di berbagai kota di negeri ini.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Akhir 2015 menjadi detik-detik menuju kematiannya. Sekitar 40 gerai ditutup karena terus merugi. Kini hanya menyisakan delapan gerai, semua berlokasi di Jakarta. Artinya, saat ini mencari CD atau kaset resmi–bukan bajakan–semakin sulit.

Hasrat untuk membeli CD atau kaset musik asli semakin tak menemukan pembelaan. Dapat dipastikan pembajakan rekaman musik akan berlangsung besar-besaran di Indonesia.

Sebelumnya, pada 2013 silam, Aquarius Mahakam, toko musik yang fenomenal, secara resmi juga menutup diri alias pamit mati.  Beberapa tahun belakangan adalah detik-detik kematian industri musik negeri kita.

Di televisi, acara-acara musik beralih menjadi sajian komedi. Chart (tangga lagu) berisi peringkat terbawah sampai teratas tak memiliki dampak apa pun bagi musisi. Album dan single mereka tak laku di pasaran.

Harga pembuatan klip video jauh lebih mahal dibanding jumlah kepingan album yang terjual. Dengan demikian, banyak industri rekaman yang gulung tikar alias merugi dan bangkrut. Distro-distro CD atau kaset musik tak lagi dapat dijumpai.

Musik tak lagi mampu menghidupi pelakunya dengan layak. Pembajakan konon adalah penyebab utamanya. Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri) menaksir kerugian yang diderita pelaku industri musik nasional dewasa ini mencapai Rp5 triliun per tahun, bahkan diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah setiap tahun.

Katakanlah satu website atau blog menyediakan fasilitas mengunduh musik gratis dalam bentuk mp3 atu mp4, setiap hari diunduh sekitar 200 orang, anggaplah satu lagu normalnya dijual dengan harga Rp5.000, maka kerugian material mencapai Rp1 juta rupiah per hari.

Itu baru satu website penyedia musik yang bisa diunduh secara ilegal. Bayangkan jika terdapat ratusan bahkan ribuan website serupa. Kerugian setiap hari bisa mencapai ratusan juta rupiah hingga miliaran rupiah.

Hari ini satu lagu direkam, keesokan harinya dapat diunduh dengan mudah dan gratis via Internet. Akibatnya, para artis atau penyanyi tidak lagi mampu mengandalkan royalti dari penjualan album dalam bentuk kaset, CD, atau DVD.

Mereka kini mengandalkan pemasukan dari panggung-panggung pementasan atau konser, bintang tamu di acara musik televisi, syukur-syukur dapat menjadi pemain sinetron, film, komedian atau pengusaha karaoke.

Industri musik memang sedang lesu. Uniknya, gejala ini justru telah disikapi dengan cerdik oleh Apple yang memunculkan iTunes serta Google lewat Google Play.

Mereka menyediakan sarana pembelian musik secara digital. Hasilnya, aplikasi itu telah menjual empat miliar unduhan lagu dan 50 juta film per tahun. Di Indonesia, ide yang hampir sama muncul dengan format i-ring (nada tunggu panggilan) handphone, namun sayang tak berjalan sesuai harapan.

Musik dalam konteks itu tak lagi bisa dinikmati secara utuh, hanya beberapa detik sebelum panggilan telepon diangkat. Keberadaannyapun lebih mirip proyek ambil untung daripada menjual lagu secara profesional.

Kini di layar televisi kita jangan harap dapat melihat kelompok musik atau penyanyi dengan karya-karya yang bermutu. Menjadi musisi di Indonesia saat ini tak hanya cukup bermodal suara bagus atau karya yang memukau.

Dibutuhkan faktor “x” dari pelakunya, semisal sensasi atau skandal agar mampu menarik simpati masyarakat luas. Dengan demikian, tawaran main dan pentas semakin sering, walau disertai hujatan, cibiran, dan gosip. [Baca selanjutnya: Estetika]Estetika

Jangan abaikan juga jika karya-karya besutan industri musik di negeri ini kini memang semakin menurun kualitasnya. Dulu di era 1990-an hingga 2000-an, kita bisa menikmati Sheila On 7 dengan lagu-lagu pop yang mendayu romantis.

Jika bosan kita bisa beralih ke aliran yang agak garang (rock) seperti Jamrut, Boomerang, dan Rif. Jangan lupakan pula begitu puitisnya lagu karya Padi dan Dewa 19.

Jika jenuh dengan musik pop dan rock, dangdut menawarkan banyak pilihan untuk dinikmati, dari lagunya Mansur S, Megi Z., Ashraf, Elfi Sukaesih, Rhoma Irama, hingga Ike Nurjanah dan Evie Tamala.

Semua memiliki perbedaan yang mencolok tentang segmentasi karya hingga estetika musikal. Pilihan dan keragaman karya musik begitu melimpah ruah. Semua memiliki pangsa pasar sendiri dan eksis di zamannya.

Kala itu industri rekaman banjir keuntungan. Impian anak muda di pelosok desa untuk menjadi musisi di ibu kota negara menyala terang. Ribuan karya menumpuk di meja produser, menunggu untuk didengar dan diseleksi.

Raka Ibrahim lewat tulisannya  (Ken)apa Pop Indonesia Dianggap Murahan (2015) menyebutkan saat itu industri musik di negeri ini memiliki produser-produser yang visioner seperti Suwandi Wijaya dan Johanes Surjoko di Aquarius.

Merekalah yang menentukan kualitas estetika musik dan pangsa pasarnya. Sayang, generasi penerusnya hanya dibekali ilmu ekonomi tanpa diimbangi ilmu musik. Akibatnya orientasi musik semata hanya hitung-hitungan untung rugi, namun miskin kedalaman estetika.

Tak ada lagi keragaman kreativitas musik seperti dulu kala. Semua karya musik tampak sama. Satu band sukses dengan tema dendang warna Melayu yang mendayu-ndayu, dengan segera akan ditiru kelompok band atau penyanyi lain. Begitu seterusnya.

Terdapat gejala yang senantiasa menganggap karya musik dari luar lebih baik dibanding karya dalam negeri. Banyak musisi dan penyanyi yang karyanya dianggap menjiplak. Lahirlah boy band dan girl band ala Korea Selatan dan Jepang di Indonesia.

Lagu-lagu d’Masiv mirip karya Muse, Repvblik seperti karya Keane, J-Rocks mirip lagu-lagu L’Arc~en~Ciel, dangdutnya keluarga Bahar meniru Meghan Trainor. Semua terjadi karena kebekuan kreativitas seniman musik di negeri ini.

Sementara kita senantiasa menyalahkan pembajakan sebagai penyebab lesunya industri musik tanpa pernah mengoreksi kualitas musik kita sendiri. Televisi yang awalnya menjadi sarana penting publikasi karya musik menjadi tak tampak lagi.

Dulu kita masih bisa melihat MTV, Delta, Pesta, Asia Bagus, Kustik Plus, VMI dengan karakter dan sajian musik yang  layak ditunggu. Kini semua acara musik tak lebih dari panggung komedi dan parodi konyol. [Baca selanjutnya: Kompetisi]Kompetisi

Kompetisi mencari bakat menyanyi juga sering digelar di banyak stasiun televisi. Forum tersebut terlihat hanya sebagai luapan dalam meraih pamrih berupa iklan dan SMS berbayar.

Alih-alih memunculkan variasi dan kreativitas baru dalam musik Indonesia, kompetisi musik justru terlihat banal dengan bukti tak lebih dari 1% hasil kontes yang laris di pasaran. Lebih ironis lagi, tak ada karya musik monumental yang dihasilkan.

Satu karya muncul kemudian hilang dan berlalu dari pendengaran. Tak berlebihan kiranya jika dentum kematian industri musik di negeri semakin berbunyi kencang.

Seperti sepak bola Indonesia yang kini beku dan bubar, kita hanya dapat menikmati sajian karya-karya musik dari luar yang lebih menggoda dan kreatif.

Kebuntuan industri musik di negeri kita berakibat munculnya media-media baru sebagai ajang promosi dan menarik simpati publik.

Internet terutama, bagi band indie, tak hanya menjadi ruang distribusi namun juga ajang promosi secara masif, murah, dan dapat menjangkau segala lapisan.

Selain itu, memproduksi album secara indie menjadi alternatif yang kini mulai bangkit. Kelompok band reggae Samalona di Solo, misalnya, memiliki penggemar berat (fans) yang berjumlah sekitar 2.000 orang lebih dan senantiasa hadir saat band itu manggung serta royal membeli album yang diproduksi.

Bagi kelompok band yang demikian, lebih baik memiliki fans tetap dengan jumlah yang stabil daripada memiliki nama besar namun tak berdampak secara materi.

Pilihan untuk menjadi indie dengan memiliki fans yang loyal adalah kesempatan baru dalam kancah industri musik di negeri kita di hari ini.

Tentu saja musisi yang demikian tak memiliki kesempatan tampil di layar kaca karena aliran musik mereka yang dianggap menyimpang dari mainstream. Justru karena itulah kadar idealisme serta karakter dapat dijaga dan dipertahankan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya