SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

09-foto-ahmad fitri

 

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

 

 

 

 

 

 

 

Achmad Fitri

aceha_v3@yahoo.co.id

Mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat

Institut Agama Islam Negeri

Surakarta

 

Di abad XXI ini televisi mempunyai kuasa dan menyimpan kekuatan untuk mengubah pola pikir, tindakan, dan realitas manusia. Televisi selalu hadir dalam setiap ruang kehidupan. Keberadaannya bisa ditemui di berbagai tempat seperti WC umum, pos kamling, terminal, stasiun, bandara, rumah sakit, masjid, kampus dan ruang-ruang publik lainnya.

Televisi merupakan sarana hiburan paling murah tanpa pajak kecuali televisi kabel semacam Aurora, Indovision, Top TV dan yang sejenis. Televisi—selain televisi kabel tentu–bisa ditonton kapan saja dan di mana saja. Orang yang tidak punya rumah pun bisa menonton televisi, apalagi yang punya rumah.

Candu televisi telah menggeser intensitas orang membaca koran, buku, majalah, Alquran, Injil, kitab suci lainnya dan realitas. Penonton dilenakan televisi dengan sajian-sajian yang jauh dari biografi historis yang telah lama melekat dalam kehidupan mereka. Biografi historis itu berupa biografi kultural, spiritual, ekonomi maupun politik, dan hal itu—kuasa televisi itu–mengubah kesadaran kita dalam berpikir dan bertindak.

Realitas kuasa televisi itu dimanfaatkan oleh para elite politik untuk mengelabui kesadaran masyarakat. Berbagai kepalsuan dan kepura-puraan dimanipulasi demi kepentingan kuasa. Caranya antara lain dengan berziarah ke kampung-kampung nelayan dan petani, mengadakan bakti sosial, mengadakan pengobatan gratis, menggalang pendonoran darah yang tentu saja disiarkan televisi. Wajar jika Ibnu Muhmmad dalam bukunya Kontruksi Realitas Politik dalam Media Massa menyatakan media (televisi) sekarang cenderung menjadi agen politik ketimbang sebagai saluran komunikasi politik.

Ketika sudah menjadi agen politik, persoalan objektivitas dalam pemberitaan menjadi hal yang krusial. Para elite politik sengaja memanfaatkan televisi untuk mengumbar janji, mendobrak integritas demi menjalin kekuasaan diri. Makna politik menjadi kabur. Dalam politik, kritik telah melenceng dari wacana ilmiah. Kritik yang mestinya berisi apresiasi dan eksposisi berubah menjadi saling menghasut dan menghina guna mejatuhkan martabat orang lain.

Dalam tafsir pemikiran Jean Baudrillard tentang hiper-realitas sebagaimana dikutip Ustadi Hamzah dalam makalahnya berjudul Konstruk Agama & Budaya dalam Media Televisi (2004) dikemukakan bahwa televisi dijadikan komsumsi massa melalui penggambaran peniruan dengan berbagai bentuk simulasi yang mencitrakan realitas yang pada hakikatnya tidak senyata realitas sesungguhnya, membentuk citra realitas yang dikontruksi dan pada gilirannya manusia dituntut dengan kesadaran memperoleh pencerahan dari televisi.

Masyarakat diberikan kesadaran dalam dusta melalui media televisi. Hampir semua partai politik (parpol) ingin menguasai ”tatanan” dalam televisi karena kuasa televisi sangat efektif memikat masyarakat. Televisi juga cukup ampuh dijadikan pembangun citra positif parpol-parpol  dan politikus-politikus bermasalah, sebagai sarana menggalang dukungan publik, juga sekaligus sarana merusak citra parpol dan politikus yang lain.

Fenomena banyak artis menjadi calon anggota legislatif tidak luput dari permainan politik yang ingin mendandani integritas partai politik dengan memanfaatkan kuasa televisi.

Sejatinya fenomena banyak selebritas menjadi caleg adalah penggunaan kuasa ketenaran di tengah masyarakat. Ketenaran itu diperoleh karena kuasa televisi. Pengajuan selebritas dalam daftar caleg dilandasi logika bahwa ketenaran akan menarik perhatian pemilih. Jurus lain yang digunakan para elite politik atau parpol adalah memanfaatkan selebritas  yang tenar karena kuasa televisi sebagai sosok yang diyakini akan menarik perhatian masyarakat pemilih dalam kampanye atau sosialisasi program-program (semu) mereka.



Politik memanfaatkan kuasa televisi dan daya tarik selebritas hakikatnya adalah membutakan mata masyarakat. Masyarakat dibutakan dari realitas politik dengan keindahan tubuh para selebritas. Kuasa televisi ”menghilangkan” kejelekan diri dan partai politik yang didukung. Kuasa televisi berupaya ”membebaskan” partai politik dan kader-kader dari masalah yang membelenggu mereka seperti korupsi, gratifikasi (termasuk gratifikasi seks), suap-menyuap, kolusi, nepotisme dan masalah-masalah lainnya.

Sejatinya televisi dulu punya andil andil besar dalam penumbangan rezim Orde Baru dengan tujuan membangun peradaban dan demokrasi yang lebih baik. Sekarang kuasa televisi ditunggangi kepentingan parpol dan elite politik, dijadikan alat fitnah-memfitnah antarelite politik. Pemilihan umum anggota legislatif dan pemilihan presiden masih setahun lagi, mari kita seleksi menurut hati nurani kita mana televisi yang jujur dan berpihak kepada kepentingan publik, mana politisi dan parpol yang punya komitmen membela rakyat, mana televisi yang punya komitmen mewujudkan demokrasi yang sebaik-baiknya sebagaimana kita membedakan antara uang palsu dan uang asli dengan cara diraba, dilihat dan dirasa.

Prinsipnya jangan mudah percaya terhadap janji-janji palsu politisi dan parpol yang ditebarkan melalui televisi. Terkait dengan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden pada 2014 mendatang, harus kita sadari bahwa pilihan kita akan menentukan kualitas kepeminpinan negeri ini selama lima tahun ke depan. Jangan biarkan diri kita menderita akibat kesalahan memilih pemimpin, yaitu pemimpin yang hanya menggunakan media terutama televisi untuk menyampaikan jargon dan program-program semu yang sok membela kepentingan rakyat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya