SOLOPOS.COM - Danang Muchtar Syafi’i, Mahasantri Pondok Hj Nuriyah Shabran Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Danang Muchtar Syafi’i, Mahasantri Pondok Hj Nuriyah Shabran Jurusan Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta

Gagasan Mohammad Ali di SOLOPOS edisi Kamis (13/6) yang berjudul Transformasi Pendidikan Islam membawa informasi dan pencerahan tersendiri di dunia pendidikan. Tesis dalam tulisan itu menegaskan sekolah-sekolah yang diselenggarakan dan dikelola kaum santri semakin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dalam menyalurkan peserta didik ke dalam posisi atau peran ideal tertentu.
Sekolah yang berhasil mewujudkan harapan masyarakat akan dipercaya lebih kuat lagi. Selanjutnya menjadi dalil: semakin sekolah itu mampu mengantarkan peserta didik ke posisi kemasyarakatan yang terpandang, kepercayaan masyarakat terhadap sekolah akan semakin besar. Pada gilirannya, masyarakat akan terus berebut untuk menyekolahkan anak-anak mereka di lembaga pendidikan tersebut.
Adalah SD Muhammadiyah Program Khusus (PK) Kottabarat Solo, yang cukup dikenal masyarakat sebagai sekolah humanis religius, telah membuktikan bahwa sekolah santri ini sering kali meraih peringkat teratas di Kota Solo. Data ini menepis asumsi bahwa pendidikan agama tidak perlu lagi dijadikan sebagai mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik lantaran dipandang gagal dalam memainkan peranannya.
SD Muhammadiyah PK Kottabarat sebagai salah satu contoh dari sekolah santri yang tidak kaku (saklek) dalam mengajarkan pendidikan agama kepada peserta didiknya. Sekolah ini mengajarkan nilai-nilai agama (Islam) dan senantiasa mendasarkan diri pada prinsip-prinsip kemanusiaan serta menitikberatkan pada tujuan untuk mengembangkan pada diri siswa rasa empati, sikap toleransi pada yang lain dan pandangan sebagai warga negara, warga bangsa dan bagian dari masyarakat global.
Menarik untuk dikaji lagi ketika telah memiliki tata nilai lingkungan sekolah yang khas: saleh, disiplin, produktif, keteladanan, senyum, ikhlas dan profesional. Nilai-nilai humanis religius yang berhasil dibiasakan oleh para siswa SD Muhammadiyah PK Kottabarat (salah satunya) didorong oleh budaya literer yang menjadi budaya unggulan. Tradisi intelektual (membaca dan menulis) yang tersalurkan telah menghasilkan pijar-pijar positif di sekolah santri unggulan.
Atmosfer literer yang kuat di SD Muhammadiyah PK Kottabarat dimulai dari pendidik yang selalu memberikan kesadaran akan pentingnya membaca buku-buku, buku apa saja. Adanya bank buku di sekolah santri itu, yang dipelopori oleh pemimpin sekolah, telah memengaruhi para pendidik dan karyawan untuk bersama-sama menyulut hasrat literer di lingkungan sekolah maupun tempat tinggal mereka.
Rupanya aktivitas ”ganda” dari profesi keguruan, yakni membeli, membaca, mendaras buku dan menulis turut memengaruhi peserta didik dalam kutur literer di sekolah. Pada jam istirahat siswa senantiasa asyik masyuk dengan buku. Para siswa seolah menemukan kebiasaan rutin pada saat mereka memasuki area perpustakaan. Setelah habis jam istirahat, para santri masuk kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran dengan ceria, tapi tetap fokus dalam menyerap ilmu.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Bara Budaya Membaca

Bandung Mawardi (esais motor Komunitas Pawon Sastra) pernah mengungkapkan seharusnya para siswa yang belajar di sekolah dasar hingga menengah atas dimotivasi dan dididik untuk membaca dan menulis buku. Artinya, bara literer harus dinyalakan di lembaga pendidikan.
Gerak literer dalam kancah pendidikan modern akan memperlihatkan dampaknya terhadap pendidik dan peserta didik, yaitu pembentukan jati diri yang mampu mencegah nafsu-nafsu pragmatis. Terutama sangat membantu sekolah dalam mewujudkan visi, misi dan tujuannya.
SD Muhammadiyah PK Kottabarat adalah salah satu (bukti) sekolah di Solo yang meraup ”untung” dari budaya literer itu. Secara nalar dan logika mungkin tak bisa menjelaskan adanya keterkaitan antara kultur literer dengan kualitas sekolah. Namun, demikianlah, ”amalan berpahala” itu–meminjam istilah Bandung Mawardi–terbukti dapat membawa dampak positif bagi semua warga sekolah.
Masuknya bara literer ke dalam sekolah telah mendekatkan santri/siswa ke wilayah produktif. Dalam aras pendidikan agama (Islam), nuansa literer di sekolah berhasil mambawa implikasi nilai-nilai ajaran agama yang santun, tapi tetap punya prinsip (syariat) serta selaras dengan modus keagamaan orang Indonesia.
Seperti disebut Clifford Geertz,”…adalah sikap akomodatif, menyerap, kompromistis dan ramah”. Islamisme yang dihasilkan dari pendidikan agama Islam di sekolah santri yang punya budaya literer tidak berpretensi untuk radikal, melainkan untuk keluasan (visioner). Hadirnya budaya unggulan (literer) di sekolah santri akan memunculkan ”ancaman” tersendiri bagi sekolah-sekolah negeri yang tak punya bara literer dalam rangka kompetisi meraih prestasi dan meraup minat dan ketertarikan masyarakat.
Ketertarikan masyarakat modern untuk memilih lembaga-lembaga pendidikan sebenarnya juga dengan pertimbangan ihwal penyerapan dari kultul literer-intelektual. Sebagai contoh, pendidik maupun peserta didik yang bisa dan biasa berbagi ilmu lewat media massa, sekolahnya akan segera dilirik oleh masyarakat.
Sekalipun biaya pendidikannya cukup tinggi, namun sekolah yang tinggi kultur literernya akan memancing ketertarikan masyarakat yang tinggi pula. Dalil seperti ini sebenarnya tak baru. Namun, ironisnya budaya literer sekolah itu tidak lekas ditangkap dan ditunjukkan oleh pengelola (penyelenggara) pendidikan itu sendiri kepada masyarakat luas.
Mencermati harian ini misalnya–khususnya di halaman empat– pengelola pendidikan dan pendidik dari tingkat dasar hingga menengah atas yang mampu berkompetisi dalam memberikan gagasan dapat dihitung dengan jari. Sedangkan mereka yang dapat menunjukan partisipasi literer-intelektualnya sering kali mampu menunjukkan data faktual yang setiap tahun ajaran baru selalu diminati masyarakat.
Kenyataan kultur literer ini kian memperkuat teori pertimbangan masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan, yakni nilai (agama), status sosial dan cita-cita. Akhirnya, proses transformasi sekolah santri (Islam) akan semakin konkret apabila pengelola (penyelenggara) sekolah senantiasa menjadikan kultur literer sebagai budaya unggulan di lembaga pendidikan santri. Semoga tesis ini adalah fantasi keadaban dan keunggulan sekolah di masa yang akan datang. Aamiin.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya