SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

A Windarto,  Peneliti di Lembaga Studi Realino Yogyakarta

Artikel Heri Priyatmoko berjudul Dekonstruksi Siklus Konflik Solo (SOLOPOS, 13/5) menarik untuk diperbincangkan lebih dalam. Hal dan masalah yang dikaji ulang dalam tulisan itu tidak cukup dibahas hanya dengan mempertanyakan tesis yang selama ini telah diyakini bahwa Solo adalah ”kota konflik”. Tesis itu menjadi titik pijak yang tepat untuk mendalami kajian tentang kekerasan di Solo terutama pada Mei 1998 sebagai langkah awal dalam mendekonstruksi keyakinan yang bukan tanpa dasar itu.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Langkah dekonstruktif yang tak mudah untuk dijalankan adalah justru merekonstruksi kekerasan yang dipanggungkan pada saat dan tempat yang berkait dengan akhir kekuasaan Orde Baru. Sebagaimana dipaparkan James T Siegel dalam Pikiran-pikiran Awal tentang Kekerasan 13 dan 14 Mei 1998 di Jakarta [Budi Susanto (editor), 2008, Membaca Poskolonialitas di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Lembaga Studi Realino), 157-24], bahwa kekerasan Mei 1998 bukanlah konflik antargolongan, yakni antara golongan ”China” dengan ”pribumi”.

Peristiwa itu terbentuk justru sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang tak diinginkan dalam tubuh bangsa Indonesia selama ini. Artinya, ”China” yang menjadi korban kekerasan Mei 1998 dan ”pribumi” yang dianggap sebagai para pelakunya hanyalah kategori rasial dengan ciri-ciri fisik dan sifat-sifat moral yang diciptakan. Dengan kata lain, kategori itu dibuat begitu dari sananya, sehingga seolah-olah dipandang sebagai sebuah ”kodrat”.

Lantas, dari manakah datangnya kategori seperti itu? Dalam kekerasan Mei 1998, kategori itu datang dari pandangan atau pemikiran tentang perbedaan kelas yang tidak mudah untuk diakui di Indonesia. Paling tidak, selama era Orde Baru, pandangan itu selalu dikait-kaitkan dengan bahasa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang bernada ejekan atau cemoohan diskriminatif terhadap segolongan warga masyarakat tertentu. Bukan kebetulan jika golongan ”China” yang dipandang tampak kaya dibandingkan orang-orang ”pribumi” atau ”asli” pada umumnya selalu menjadi target atau sasaran yang menarik perhatian ”massa” dan menggerakkan mereka untuk melakukan kekerasan, termasuk menimbulkan kerusuhan. Itulah mengapa kekerasan Mei 1998 dengan mudah dan tiba-tiba meletus serta berakhir dengan tiba-tiba pula.

Bila dibandingkan dengan kerusuhan lain di Solo, misalnya pada 1980, dalam kerusuhan Mei 1998 identifikasi ”China” sebagai pemicu dan ”massa” sebagai sumber bencana tampak terang-benderang. Dengan demikian, asumsi-asumsi yang mendasari kekerasan dan/atau kerusuhan itu biasanya berkait dengan soal ”kesenjangan” yang selama era Orde Baru dikelola sebagai sebuah gagasan untuk mendidik yang disebut ”rakyat” atau golongan bawah. Merekalah yang kerap dipandang sebagai massa dalam setiap bencana sosial, termasuk dalam kerusuhan dan/atau revolusi.

Pandangan seperti itu mencerminkan jika ada kerusuhan ”anti-China” misalnya, maka yang disebut sebagai penyebabnya pertama-tama adalah rakyat yang tergoda atau tidak mampu mengekang diri terhadap kekayaan orang-orang ”China”. Sementara kekayaan golongan menengah yang ”bukan China” seperti disamarkan, bahkan terkesan diingkari. Penyamaran yang cenderung mengingkari perbedaan antargolongan atau kelas inilah yang dipelihara sebagai konstruksi sosial selama era Orde Baru, baik dalam kebijakan-kebijakan resmi seperti pembangunan maupun dengan membiarkan konsumerisme berkembang biak tanpa batas.

Dengan konstruksi seperti ini, masuk akal jika perasaan takut terhadap ”massa” atau golongan bawah yang sesungguhnya sudah tertanam sejak masa revolusi menjadi jalan yang paling aman untuk mengalihtempatkan ancaman bahwa kekayaan yang potensial menciptakan kesenjangan dan menimbulkan kekacauan hanyalah dari orang-orang ”China”. Mengapa demikian? Mereka dipandang enggan berbaur atau terlalu sibuk mengumpulkan uang, sehingga seolah-olah hanya memikirkan keamanan (safe) diri sendiri dan menciptakan jarak (distinct) yang memisahkan mereka dengan golongan lainnya.

Jika mereka selalu menjadi korban dalam setiap kerusuhan, hal itu merupakan akibat dari massa yang bertindak secara ”spontan”. Artinya, tindakan merusak, menjarah, membakar, bahkan memerkosa dalam kerusuhan Mei 1998 adalah bentuk pemuasan diri lantaran selama ini selalu mengalami kesenjangan baik dalam bidang ekonomi, politik maupun budaya. Meski tampak brutal dan tak terkendali, namun segala sesuatunya masih dalam kendali penguasa atau pemerintah dan militer yang selalu diharapkan dapat menjaga keamanan serta ketertiban. Kendati kerusuhan tampak seperti dibiarkan terjadi, tetap ada keyakinan yang kuat bahwa orang-orang yang berkuasa mampu menenangkan atau meredakan kekacauan ini.

 

Keyakinan

Keyakinan yang menjadi penyangga dari konstruksi bencana sosial ini sengaja dimainkan atau dimanipulasi untuk mengendalikan perbedaan-perbedaan antargolongan yang dipandang dapat mengancam atau membahayakan posisi dan cara kerja kekuasaan, terutama di era Orde Baru. Jadi, sesungguhnya perbedaan kelas sosial inilah yang selalu dijadikan tameng atau perisai bagi orang-orang yang berkuasa untuk melindungi berbagai kepentingan mereka selama ini.

Sebagai salah satu alat perlindungan, kerusuhan dan/atau pemberontakan menjadi sebuah ”permainan kaleidoskopik” yang menurut sejarawan Rudolf Mrázek dalam bukunya Engineers of Happyland, Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), memungkinkan seorang pengamat menjadi asyik, dan mengamati…semua di dataran yang sama, jelas dan aman, di balik kaca…

Itulah yang dialami Alya Rohali sebagai selebritas televisi dan mahasiswi yang selamat dari kebrutalan massa dalam kerusuhan Mei 1998 di Jakarta karena terlindungi oleh softlens atau lensa kontaknya. Benda optik itulah yang membuatnya masih dapat mengendarai sedan Cakra kesukaannya yang pada saat terjadinya kerusuhan diberitakan ada lebih dari seribuan mobil dibakar.

Kerusuhan Mei 1998 di Solo agaknya perlu dibaca dan dikaji-ulang dalam konstruksi seperti ini. Melalui konstruksi ini paradigma kekuasaan yang dibangun sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda telah disebarluaskan secara mekanis dan membantu melonggarkan ikatan-ikatan antara derau (noise) dengan suara (voice), antara kata (word) dengan perbuatan (deeds).

Singkatnya, masa depan Hindia Belanda yang kini sudah beralih rupa menjadi Indonesia telah mengalami beragam pembelokan, termasuk melalui kerusuhan Mei 1998, yang memosisikan ”rakyat” sebagai ”massa” yang layak untuk ditakuti agar tidak menimbulkan kekacauan yang dapat mengancam atau membahayakan posisi orang-orang yang berkuasa, terutama kelas menengahnya. Dari sinilah tesis yang memitoskan massa sebagai penyulut kerusuhan menjadi enak dan perlu untuk didekonstruksi. (winddarto@yahoo.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya