SOLOPOS.COM - Indonesia jaya (foto: youtube.com)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (27/3/2018). Esai ini karya Lukmono Suryo Nagoro, editor buku yang tinggal di Solo. Alamat e-mail penulis adalah lukmono.sn@gmail.com.

Solopos.com, SOLO–Baru-baru ini publik terhenyak oleh pernyataan dua tokoh yang mirip substansinya. Amien Rais menyatakan pembagian sertifikat tanah oleh pemerintah itu ngibul karena 74% tanah di Indonesia dikuasai hanya oleh beberapa orang.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Prabowo Subianto menyatakan Indonesia akan bubar pada 2030. Salah satu penyebab bubar itu adalah sikap biasa-biasa saja dari pejabat negara yang membiarkan 80% tanah di Indonesia dikuasai oleh 1% orang Indonesia yang kaya raya.

Dua pernyataan tersebut menunjukkan ketimpangan yang mungkin menurut Prabowo sebagai tidak enak kita bicarakan, tapi sudah tidak ada waktu bagi kita untuk berpura-pura lagi. Pernyataan Prabowo tampaknya lebih fenomenal.

Sebagai individu yang mencintai Indonesia, tentu pernyataan Prabowo perlu ditelaah secara kritis. Sesungguhnya di antara warga negeri ini tidak ada yang ingin Indonesia pada 2030 atau kapan pun bubar. Saya ingin menyampaikan tentang yang saya maksud ”tidak enak kita bicarakan”.

Kepemilikan lahan yang makin terkonsentrasi sebagaimana disampaikan Prabowo dan Amien mungkin ada benarnya. Pada 1993 indeks Gini kepemilikan tanah adalah 0,50, sedangkan pada 2013 indeksi Gini tersebut mencapai 0,72.

Masalah angka-angka tentunya bisa diperdebatkan cara perolehannya, tetapi bisa diasumsikan bahwa di depan mata kita memang ada ketimpangan kepemilikan lahan dan menurut Prabowo kita menanggapi itu biasa-biasa saja.

Persoalan ketimpangan kepemilikan lahan tersebut dibesar-besarkan oleh Prabowo sebagai salah satu penyebab (menuju) keruntuhan Indonesia. Tentu sebelum benar-benar runtuh pada tahun-tahun sekarang mestinya Indonesia sudah masuk dalam kategori dan ukuran-ukuran negara gagal.

Selanjutnya adalah: Berambisi bertarung dalam pemilihan presiden 2019…

Ambisi

Di sini timbul pertanyaan serius: jika pada 2030 Indonesia hilang dari peta dunia, mengapa Prabowo masih berambisi bertarung dalam pemilihan presiden 2019? Mengapa Prabowo tidak melarikan diri saja ke luar negeri sebagaimana terjadi pasca-reformasi 1998?

Salah satu penyebab kemunculan negara gagal, menurut Daren Acemoglu dan Geoffrey Robinson, adalah tumbuhnya institusi ekonomi yang ekstraktif. Disebut demikian karena lembaga ekonomi tersebut dirancang untuk memeras, menyadap, dan mengeruk pendapatan serta kekayaan salah satu lapisan masyarakat demi memperkaya lapisan lainnya.

Situasi yang serupa juga dijelaskan oleh Jeffrey Winters bahwa selalu ada unsur tidak legal di balik kekayaan besar di Indonesia. Salah satu penyebab tidak legalnya kekayaan tersebut adalah aturan hukum yang saling bertentangan di berbagai kepentingan, terutama di bidang kepemilikan dan pemanfaatan lahan.

Situasi ini terjadi di perkotaan bahwa penciptaan kekayaan bukanlah melalui kepintaran dan ketekunan individu berbisnis, melainkan redistribusi kekayaan yang agresif di kalangan orang kuat setelah mengisap berkah sumber daya Indonesia yang terus menyusut.

Di Indonesia, situasi ini bisa digambarkan dalam kondisi bahwa kekayaan yang diperoleh oleh pengusaha Indonesia melalui usaha-usaha yang tidak legal, misalnya, suap-menyuap untuk mendapatkan konsensi izin pertambangan, melobi kementerian terkait dalan usaha mendapatkan lisensi ekspor-impor produk tertentu.

Dalam praksis yang lain bahkan bersama aparat keamanan membabat hutan untuk dijadikan lahan perkebunan sawit. Semuanya sering disebut sebagai sistem ekonomi yang ekstraktif, yang mungkin akan gagal memakmurkan rakyat sehingga Indonesia diprediksi menjadi negara gagal.

 

Sistem ekonomi ekstraktif ini biasanya tumbuh subur di negara yang menganut sistem politik tidak demokratis. Hal ini karena negara sangat kuat dan berhak melakukan monopoli yang sah tanpa memedulikan hal tersebut legal atau tidak.

Selanjutnya adalah: Kesetaraan dalam politik dan ekonomi tak terwujud…

Kesetaraan

Akibat burukya adalah kesetaraan dalam politik dan ekonomi tidak terwujud meskipun kesetaraan tersebut dalam rezim demokratis juga bisa diperdebatkan.

Seorang ekonom terkemuka, Dani Rodrik, menyatakan demokrasi merupakan institusi induk yang dapat menciptakan iklim kondusif bagi tumbuhnya institusi-instiusi lain yang berkualitas, artinya efektif dan punya governance yang baik.

Mengapa demokrasi punya sumbangan penting? Perlu diketahui, negara Indonesia dan negara-negara lain di dunia sudah merasakan terpaan globalisasi yang didukung percepatan pertumbuhan teknologi yang juga menjadi pendorong tumbuhnya perekonomian.

Di negara kita sekarang sedang ramai bisnis berbasiskan teknologi atau lazim disebut start-up, misalnya Gojek, Tokopedia, Mekar. Bisnis-bisnis tersebut bermodalkan teknologi yang sumber utamanya adalah inisiatif dan inovasi para pelaku ekonomi.



Tentu sudah menjadi rahasia umum jika selama ini hanya demokrasilah yang memungkinkan inovasi dan inisiatif tumbuh subur. Hal penting yang dilupakan oleh Prabowo sekaligus Presiden Joko Widodo adalah bangsa Indonesia masih berada dalamnegara dengan pendapatan menengah.

Pada saat bersamaan bangsa kita sedang mengalami bonus demografi yang akan berakhir pada 2035-2040. Perlu diketahui, sejak 1986 Indonesia sudah masuk dalam negara berpendapatan menengah.

Selanjutnya adalah: Sekarang kemajuan negara sudah terlihat…

Kemajuan

Seharusnya pada kondisi sekarang kemajuan negara sudah terlihat, tetapi bangsa ini seakan-akan hanya berputar-putar saja, vicious circles. Sampai saat ini tidak ada teori yang mangkus untuk mengatasi masalah jebakan kelas menengah, terutama berapa lama negara berada di posisi tersebut.

Ada sebuah penelitian yang menyatakan kondisi ini berakhir 50 tahun kemudian sejak bangsa tersebut masuk dalam pendapatan menengah. Jika penelitian tersebut benar, berarti bangsa Indonesia akan lepas dari jebakan pendapatan menengah pada 2036.

Yang terjadi pada 2036-2040 adalah penduduk Indonesia akan tua dahulu sebelum kaya. Sekarang ini, tidak ada lembaga keuangan yang meragukan perekonomian bangsa Indonesia. Banyak perkiraan yang menyebutkan Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan domestik bruto sejajar dengan negara maju pada tahun-tahun mendatang.

Perkiraan itu sepertinya hanya ilusi jika kita masih berputar-berputar dan terantuk lagi pada masalah yang sama, seperti korupsi yang merajalela dan indeks penegakan hukum yang rendah. Situasi ini mengingatkan saya pada ungkapan: ngene wae wes cukup, ngopo apik-apik.

Pernyataan Prabowo ini mengingatkan saya pada pendapat Samuel Huntington yang menyatakan proses modernisasi dan demokratisasi adalah perjalanan yang panjang dan penuh risiko jika kita tidak memiliki ketetapan hati memilih dan meyakini demokrasi sebagai salah bentuk kecerdasan dalam menyelesaikan masalah.

Mungkin pernyataan Prabowo bahwa 2030 negara kita akan hilang ada benarnya, namun selama kita berjalan di rel demokrasi sudah tidak ada waktu untuk saya berpura-pura lagi bahwa sikap saya atas pendapat Prabowo adalah: ora trima!

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya