SOLOPOS.COM - Kukuh Tejomurti (Istimewa)

Gagasan Solopos, Selasa (5/1/2016), ditulis Kukuh Tejomurti. Penulis adalah dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Pada Januari 2016 pemerintah merencanakan realisasi kebijakan baru di sektor energi nasional. Hal ini dijelaskan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said  terkait penghimpunan dana ketahanan energi.

Promosi Sejarah KA: Dibangun Belanda, Dibongkar Jepang, Nyaman di Era Ignasius Jonan

Dana ini akan digunakan untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, membiayai riset penelitian dan pengembangan energi terbarukan, termasuk menyubsidi tarif listrik dari energi terbarukan yang saat ini harganya belum kompetitif.

Sudirman menyatakan kebijakan ini berpayung hukum pada UU No. 30/2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014  tentang Kebijakan Energi Nasional. Hal ini sudah dibahas pemerintah dan DPR.

Dana ketahanan energi yang akan direalisasikan ini dipungut dari rakyat yang membeli bahan bakar minyak (BBM). Pungutan dari pembelian bensin (premium) senilai Rp200 per liter dan pungutan dari pembelian solar senilai Rp300 per liter.

Kebijakan yang digagas Kementerian ESDM ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, apakah UU No. 30/ 2007 dan PP No. 79 /2014 mengamanahkan pemerintah untuk memungut uang dari masyarakat guna membiayai riset dan pengembangan energi terbarukan?

Kedua, apakah  Indonesia dalam kerja sama production sharing contract (PSC) dengan kontraktor minyak dan gas (migas) sebegitu ”bodohnya” sehingga biaya eksplorasi migas yang berisiko tinggi dibebankan juga kepada negara melalui pungutan uang dari rakyat?

Merujuk Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional Indonesia, terkait cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak (seperti migas, air, dan kemiliteran) adalah dikuasai negara.

Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3) menyatakan bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pernyataan tegas konstitusi kita bahwa sumber daya alam Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia memunculkan kesimpulan rakyat seharusnya tidak dibebani harga pembelian BBM yang mahal karena kenaikan harga minyak dunia.

Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

Oleh karena itu, perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Adapun istilah demokrasi ekonomi bisa ditemukan di literatur terkini. Menggunakan hasil pemikiran Sri Edi Swasono (2008), istilah ”demokrasi ekonomi” bisa ditemukan antara lain dalam karya Robert A. Dahl (A Preface to Economic Democracy) dan J.W. Smith (Economic Democracy; 2000).

Penjelasannya adalah demokrasi ekonomi berhubungan dengan hak turut bersuaranya buruh/karyawan di lingkungan perusahaan (medezeggenschap). Yudi Latif menyatakan dalam suasana perekonomian Indonesia pascakolonial, yang ditandai oleh dualisme ekonomi serta eksploitasi hubungan ekonomi dalam relasi ”tuan-hamba”, aktualisasi demokrasi ekonomi dalam semangat kekeluargaan diharapkan mampu memulihkan keadilan dan kesejateraan sosial.

Harapan realisasi demokrasi ekonomi dengan semangat kekeluargaan ini adalah keadilan dan kesejahteraan rakyat,  bukan malah menambah beban rakyat dengan harus menanggung dana riset ketahanan energi yang pada hakikatnya dana riset tersebut adalah untuk kepentingan bisnis pemerintah yang penuh risiko.

Pemerintah seharusnya menggerakan badan usaha milik negara (BUMN), sektor perbankan, dan sektor swasta untuk membantu riset dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan.

Misalnya, Pertamina harus memfokuskan bisnis hanya pada sektor migas dan bisa mengalokasikan keuntungan dari bisnis migas itu untuk riset energi baru dan energi terbarukan selain migas. [Baca selanjutnya: Naif]Naif

Dua ketentuan (UU No. 30/ 2007 dan PP No. 79/2014) itu digunakan Menteri ESDM Sudirman Said (pemerintah) dan Dewan Energi Nasional sebagai payung hukum untuk menerapkan kebijakan penghimpunan dana ketahanan energi dalam rangka riset penelitian dan pengembangan energi. Dua peraturan tersebut masih ”lemah” sebagai payung hukum.

Berdasarkan Pasal 30 ayat (1), (2), dan (3) UU No. 30/2007, pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan pengetahuan dan teknologi energi  difasilitasi oleh pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Pendanaan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang energi antara lain bersumber dari APBN, APBD, dan dana dari swasta. Dari bunyi pasal tersebut biaya penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sektor energi adalah tanggung jawab APBN, APBD, dan swasta, bukan dengan cara memungut dari rakyat secara langsung dari setiap liter BBM yang dibeli rakyat.

Pasal 27 PP No. 79/ 2014 mengamanahkan pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan alokasi dana pengembangan dan penguatan infrastruktur energi dengan cara menggerakkan peran BUMN dan perbankan.

Selanjutnya Pasal 27 angka 5 butir (b) menyebutkan ada penguatan pendanaan dengan menerapkan premi pengurasan energi fosil untuk pengembangan energi. Penerapan premi pengurasan energi fosil ini hanya pilihan dan bukan keharusan, serta tidak mengatur secara eksplisit rakyat yang bertanggung jawab membayar premi tersebut.

Roh dari dua payung hukum (UU No. 30/2007 tentang Energi dan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional) itu adalah pemberian tanggung jawab kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk memfasilitasi pendanaan riset ketahanan energi melalui penggerakan peran BUMN, sektor perbankan, dan swasta.

Sebagian besar eksplorasi migas di Indonesia menerapkan model production sharing contract (PSC) atau kontrak kerja sama (KKS). Perusahaan seperti Pertamina (BUMN), Shell, Golden Code Commercial, Bukit Energi, Total, Percie Mahakam Petroleum, Chevron, dan Petronas telah bekerja sama dengan skema PSC sektor migas di Indonesia.

Model PSC ini dianggap lebih banyak memberi keuntungan kepada negara sebagai pemilik sumber daya alam (SDA). Pada mekanisme ini, perusahaan migas yang ditunjuk menjadi kontraktor KKS menanggung semua biaya awal kegiatan usaha hulu migas.



Biaya-biaya tersebut akan diganti negara jika wilayah kerja yang mereka garap telah berproduksi. Apabila kegiatan usaha tersebut tidak berhasil maka semua biaya yang telah dikeluarkan tidak akan diganti atau akan menjadi beban kontraktor KKS sepenuhnya.

Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas adalah kegiatan yang amat berisiko bagi negara oleh karena itu Indonesia menerapkan model PSC. Dalam skema PSC, negara tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN yang cukup besar dan berisiko tinggi untuk eksploitasi dan eksplorasi migas.

Pemerintah sebenarnya mengerti eksplorasi migas berisiko tinggi dan tidak ingin rugi sehingga memilih menerapkan PSC. Menjadi naif apabila rakyat “ditugasi” pemerintah untuk menanggung risiko besar dalam eksplorasi migas dengan sebutan kebijakan dana ketahanan energi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya