SOLOPOS.COM - Suharno suharno_mm_akt@yahoo.co.id Dosen Program Studi Akuntansi dan Magister Manajemen Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo

Suharno suharno_mm_akt@yahoo.co.id Dosen Program Studi Akuntansi  dan Magister Manajemen  Universitas Slamet Riyadi  (Unisri) Solo

Suharno
suharno_mm_akt@yahoo.co.id
Dosen Program Studi Akuntansi
dan Magister Manajemen
Universitas Slamet Riyadi
(Unisri) Solo

Mudik atau pulang ke kampung halaman untuk merayakan Lebaran dan berhalalbihalal seolah telah menjadi budaya dan ritual bangsa Indonesia yang mendarah daging. Semua orang merayakan dengan penuh suka cita. Itu tidak  hanya dirayakan umat Islam. Semua merayakan tanpa terkecuali. Saling bersilaturahmi dan saling bermaaf-maafan adalah tradisi warisan nenek moyang yang sungguh sangat luar biasa.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Momentum ini dimanfaatkan oleh banyak pihak dengan berbagai kepentingan yang berbeda. Salah satunya adalah para calon anggota legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Mereka pasti berpikir inilah saat yang tepat untuk mengenalkan dan menyapa masyarakat sebagai modal awal mendulang suara di pesta demokrasi 2014 yang akan datang.

Aji mumpung pun digunakan. Mumpung banyak orang berkumpul bersilaturahmi. Saatnya unjuk diri dengan beragam cara. Baik menggunakan media indoor maupun outdoor. Media iklan maupun media sosial.  Mulai dari pasang spanduk, banner, dan baliho yang  ditebar di sepanjang jalan protokol hingga desa-desa. Sampai merambah ke media sosial seperti Facebook, Twitter, dan sejenisnya.

Terkadang kita geli dan senyum sendiri bila melihatnya. Entah siapa mereka, kita pun tidak mengenalnya, tiba-tiba menyapa dengan senyum merekah dan ramah, mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1434 H, disertai tampilan visual foto diri mereka yang tampak narsisme, dengan  beragam gaya.

Ada yang santun dan alim mengenakan kerudung atau peci sambil menelangkupkan kedua telapak tangan di dada, ada  juga yang heroik penuh semangat mengepalkan tangan ke atas. Semuanya ingin membangun citra diri yang positif di mata masyarakat. Namun, benarkah langkah tersebut akan menimbulkan citra positif? Ataukah justru malah sebaliknya?

Suasana lebaran  juga dimanfaatkan parpol yang berlomba mendirikan pos mudik dan balik Lebaran di tempat yang dipandang strategis. Pendirian pos itu tanpa melihat apakah itu melanggar aturan atau tidak. Yang penting bisa mejeng foto diri dan gambar parpol. Tujuan yang mulia ini ternyata sarat dengan kepentingan.

Hal seperti itu di Soloraya bisa kita temui dibeberapa jalan protokol, seperti Jl. Slamet Riyadi, Jl. Ahmad Yani, Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Urip Sumoharjo, dan Jl. Adisucipto di Kota solo. Padahal tempat-tempat tersebut jelas termasuk white area yang tidak diperbolehkan untuk dipasangi alat peraga kampanye (Solopos, 6 Agustus 2013).

Akibatnya bisa kita tebak. Keindahan dan pemandangan kota pun menjadi terganggu. Apalagi bila pemasangan alat peraga kampanyee dan  penempatan pos mudik dan balik Lebaran tidak mengindahkan aspek etika dan estetika.  Itu menjadikan  suasana kota tambah semrawut dan kumuh, dipenuhi sampah visual.

Pemerintah daerah seharusnya bertindak tegas menertibkan. Tidak boleh pandang bulu. Layaknya media iklan yang lain bila tidak ditempatkan pada tempat semestinya dan tidak membayar  retribusi semestinya dicopot. Dan penempatan pos Lebaran yang menempati white area seyogianya dibongkar. Bukankah begitu? Walaupun mereka berdalih membantu pemudik sekali pun.

 

Kontraproduktif

Cara-cara yang ditempuh para caleg dan parpol bisa jadi justru menjadi bumerang. Mari kita kaji. Efektifkah stategi menebar pesona tersebut untuk  meraih simpati masyarakat? Ataukah sebaliknya, justru menimbulkan antipati  dan cibiran?

Hal ini yang tampaknya tidak diperhitungkan. Menilik pola yang mereka lakukan–para caleg dan pengurus parpol, terlihat jelas mereka tidak  mempersiapkan dan merencanakan strategi branding atau pencitraan dengan jelas dan terukur.

Pendekatan yang digunakan, masih menggunakan pendekatan marketing konvensional. Tidak efektif dan tidak efisien. Sekadar menghambur-hamburkan uang. Mempromosikan diri membabibuta. Tanpa melalui riset lebih dahulu secara matang. Akibatnya bisa ditebak. Hasilnya  kontraproduktif. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk alat peraga kampanye model konvensional ini bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Ingat, masyarakat saat ini sudah cerdas dalam menentukan pilihan. Mestinya para caleg dan pengurus parpol juga cerdas dalam menyusun strategi branding dan pencitraan. Tidak diragukan lagi citra positif seorang caleg sangat menentukan dalam memenangi pemilihan di tengah banyaknya kompetitor.

Dalam pengamatan saya, strategi yang paling tepat saat ini untuk meraih simpati masyrakat yang efektif mestinya menggunakan pendekatan personal branding (PB) yang bertumpu pada reputasi, bukan pada promosi. Reputasi yang dipublikasikan secara gethok tular merupakan cara paling efektif, sekaligus efisien.

Keberhasilan Joko Widodo atau Jokowi ”menaklukkan” Kota Solo dan DKI Jakarta bisa dijadikan salah satu model dalam pendekatan personal branding. Tampak alami, sederhana, apa adanya. Namun, perlu diingat itu semua tidak terjadi begitu saja. Pasti di belakangnya ada tim yang solid dan kreatif.

Membangun personal branding yang efektif di tengah pemilu yang mengadopsi sistem suara terbanyak bukanlah hal mudah. Apalagi kompetitor seorang caleg bukan lagi melulu caleg dari partai lain, melainkan juga dari internal partainya. Tidak menutup kemungkinan  terjadi kanibalisme, saling memakan teman sendiri.

Menurut Herman Heizer (2009), terdapat lima aspek yang penting  dan perlu diperhatikan para caleg dan pengurus parpol dalam  membangun branding yang efektif, yakni relevansi, kreativitas, pesan, memahami perilaku pemilih, dan konsistensi. Penampilan caleg, visi, program, pesan, slogan, dan berbagai hal terkait brand (citra) yang ingin ditanamkan ke benak publik hendaknya sesuai dengan kondisi sosial, kultural, ekonomi, geografis, serta tren yang berkembang di masyarakat di daerah pemilihan mereka.

Selain Jokowi, Presiden Amerika Serikat Barack Obama sering dijadikan inspirasi bagaimana membangun branding yang relevan. Penampilan yang kasual, tulus, dan energik, suka blusukan, terjun langsung dengan masyakat adalah bagian ”alami” dari branding. Tidak terjadi sekat-sekat yang membatasi, mau berbaur di tengah masyarakat. Betul-betul mewujudkan slogan melayani masyarakat yang sesungguhnya.

Pesan yang disampaikan harus yang jelas dan komunikatif. Pesan perubahan ”Jakarta Baru” yang diusung Jokowi sangat tepat,  dan pesan Obama ”We Change“ ketika publik cemas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak popular juga efektif. Caleg dan pengurus parpol perlu getol memanfaatkan media Internet, ketika masyarakat terutama kaum mudanya keranjingan dengan teknologi. Caleg dan pengurus parpol juga perlu fokus dan konsisten pada visi dan program saat kompetitor lebih sibuk menyerang.

Dalam membangun brand harus dipikirkan nama panggilan yang menarik dan mudah diingat, logo yang sesuai, slogan (tagline) yang tepat, dan komunikatif, serta performa yang menjadi ciri khas dari brand caleg  dan parpol tersebut.

Slogan ini juga sebagai positioning dari brand caleg. Sedangkan performa mencakup visual, yaitu penampilan yang akan menjadi ciri khas dan nilai lebih bagi brand. Baju motif godhong kates saat Jokowi ikut dalam pemilihan wali kota kali kedua di Solo dan baju kotak-kotak saat maju di pemilihan gubernur DKI Jakarta pasti dikenal semua orang bukan?



Di samping itu, voice (gaya bicara), vokal (pesan/kata-kata yang disampaikan) juga harus tampil beda. Tidak harus heroik dan menggebu-gebu. Jokowi justru tampak kalem dan tertawa dengan ciri khas yang berbeda dengan kandidat lain, tampil alami, menjadi diri sendiri. Yang tidak kalah penting, slogan yang dibuat pun harus mempunyai daya getar, friendly dan mudah diingat sehingga cepat popular. Masih ingat slogan Jokowi di Solo: Berseri Tanpa Korupsi.

Bila disimpulkan ketulusan dan integritas yang tampaknya saat ini menjadi senjata ampuh menarik simpati warga masyarakat, bukan janji-janji yang muluk-muluk dan penampilan yang  dibuat-buat lewat spanduk dan baliho.

Masyarakat sudah kenyang dengan janji-janji, kita butuh bukti. Wahai para caleg, berpikir ulanglah sebelum telanjur menghambur-hamburkan uang untuk pencitraan yang semu. Jangan sampai menyesal nanti. Habis nyaleg justru dheleg-dheleg. Bukankah demikian? Bagaimana pendapat Anda?

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya