SOLOPOS.COM - Flo. Kus Sapto W. (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (8/3/2016), ditulis Flo. Kus Sapto W. Penulis adalah praktisi pemasaran dan penikmat karya sastra dan budaya.

Solopos.com, SOLO — Gerhana matahari total (GMT) pada Rabu (9/3/2016) akan menjadi peristiwa yang penuh berkah bagi Indonesia. Peristiwa ini langka–karena hanya akan terulang di jalur yang sama 350 tahun lagi–dan hanya bisa dipandangi penuh secara langsung di 12 provinsi di Nusantara.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

GMT kali ini juga disambut dengan nuansa agak berbeda dibandingkan GMT pada 1983. Saat itu sejumlah instansi memulangkan karyawan lebih awal. Salah satu tujuannya supaya bisa mengawasi anak-anak mereka agar tidak melihat GMT secara langsung dengan mata telanjang.

Saat itu ada pemahaman menyaksikan gerhana matahari secara langsung berdampak menimbulkan kebutaan. Saat itu disarankan melihat GMT melalui bayangan di air dalam ember atau kolam.  Fenomena gerhana dalam khazanah budaya lokal berbagai suku bangsa memang erat terkait dengan mitologi.

Jane J. Lee (2013) setidaknya mencatat lebih dari tujuh mitos. Di Vietnam peristiwa gerhana matahari dipercaya sebagai akibat seekor katak raksasa melahap matahari. Dalam kebudayaan Viking, penyebabnya adalah matahari ditelan sepasang serigala.

Rakyat semenanjung Korea mempercayai ”hilangnya” matahari karena ditelan anjing api. Masyarakat Batammaliba yang tinggal di Benin dan Togo, Afrika, percaya gerhana matahri adalah kesempatan untuk mewawas diri.

Supaya matahari dan bulan tidak saling menyakiti, penduduk yang sedang berkonflik harus segera berdamai. Sedangkan di Tiongkok, seekor naga sakti yang sedang makan matahari diyakini sebagai penyebab peristiwa gerhana (news.nationalgeographic.com).

Mitos lain di kebudayaan Yunani kuno memercayai gerhana matahari adalah pertanda akan adanya kerusakan alam atau kehancuran dunia. Sebagian masyarakat di New Meksiko yakin matahari sedang marah dan pulang ke rumahnya di dunia bawah.

Di masyarakat Innuit ada cerita Anningan, dewi bulan, berhasil menangkap Malina, dewi matahari, yang sedang lari menghindari pertengkaran dengannya. Penduduk asli yang tinggal di barat laut Amerika Serikat yakin seekor beruang sedang memangsa matahari dan bulan (www.timeanddate.com).

Di Jawa,  ada kisah Batara Kala, sebagai anak haram dari Dewa Siwa dan Dewi Uma, tidak diperkenankan mendapat berkah keabadian dari air Amerta. Ketika air abadi yang diminumnya baru sampai di kerongkongan, lehernya dipanah Dewa Wisnu hingga putus.

Hanya bagian kepala Batara Kala saja yang abadi, tidak bisa mati. Syahdan, Dewa Wisnu melakukan tindakan itu atas laporan Dewa Candra (bulan) dan Dewa Surya (matahari). Sebagai pelampiasan dendamnya, kepala Batara Kala selalu berupaya memangsa bulan dan matahari.

Setiap kali berhasil menelannya, tidak berapa lama kemudian bulan dan matahari akan segera keluar lagi dari lehernya yang putus. Pada kisah Baratayuda, fenomena seperti ”gerhana” matahari juga diceritakan. Saat itu, setelah kematian Abimanyu, Arjuna bersumpah akan membunuh Jayadrata sebelum matahari tenggelam keesokan hari.

Pada hari ke-14, saat menjelang sore, dan Arjuna belum berhasil membunuh Jayadrata, Kresna menggunakan panah cakranya untuk menutupi matahari sesaat. Akhirnya, karena terpedaya oleh ”kegelapan” semu itu, Jayadrata menjadi terlena dan berhasil dipanah oleh Arjuna.

Berbagai mitos sebagai bagian dari folklor di atas tentu menarik untuk dikaji, terutama ketika dikaitkan dengan berbagai pemaknaan imperatif. Misalnya, pada saat gerhana, anak-anak disuruh bersembunyi di kolong tempat tidur supaya tidak dimakan Batara Kala.

Orang-orang dewasa diperintahkan membunyikan lesung dan kentungan untuk mengusir raksasa pemakan bulan dan matahari itu. Sepintas, dalam logika berpikir kekinian, mitologi yang menyertai gerhana itu terlihat absurd, namun jika dimaknai dengan saksama justru sangat masuk akal. [Baca selanjutnya: Masuk Akal]Masuk Akal

Hal itu setidaknya sesuai dengan fungsi dari mitologi sebagai bagian folklor itu sendiri. Adams (1973) dan Dundes (1965) menyebutkan empat fungsi folklor (www.yale.edu). Pertama, sebagai validasi (rasionalizations) atas berbagai fenomena (alam, sosial-budaya) yang dipertanyakan.

Kedua, sebagai sarana keakraban/komunikasi sosial (integration), baik antaranggota komunitas maupun dengan pihak di luar komunitas (pendatang). Ketiga, sebagai kompensasi (escape) atau hiburan atas kondisi sosial (tekanan hidup, keterbatasan geografis dan biologis). Keempat, sebagai media pendidikan (educate).

Sebagai salah satu mitos, Batara Kala dengan demikian memiliki fungsi-fungsi foklor tersebut, misalnya terkait dengan perintah kepada anak-anak untuk bersembunyi di kolong tempat tidur. Ini tentu harus dimaknai dalam konteks waktu.

Sewaktu mitos diciptakan, kurang lebih pada abad IX Masehi, setidaknya jika dirunut asal muasal penggalan cerita tentang gerhana matahari dan bulan sebagai bagian dalam Adiparwa (Zoetmulder, 1985), tingkat pendidikan dan bentuk bangunan tentu berbeda dengan model-model rumah cluster minimalis atau rumah mewah saat ini.

Kalau anak-anak tidak betul-betul masuk ke kolong tempat tidur karena didorong keingintahuannya khas sifat bocah masih mungkin mengintip situasi di luar, baik melalui rekahan di antara bangunan (batu/kayu) maupun celah di antara anyaman bambu (gedheg) sebagai dinding rumah.

Hal ini tentu berbahaya bagi kesehatan mata anak-anak. Dengan bersembunyi di kolong tempat tidur, sama sekali tidak ada kesempatan untuk itu. Sedangkan berkenaan dengan perintah bagi orang-orang dewasa untuk menciptakan serangkaian bunyi-bunyian, tentu harus juga dicerna dengan logika.

Dalam situasi sosial budaya rakyat jelata saat itu, yang bahkan belum mengenal baca tulis, dapat dibayangkan sulitnya menjelaskan fenomena alam seperti gerhana matahri. Para cerdik cendekia–raja, ahli nujum kerajaan, pujangga–membuat pengalihan situasi dengan perintah itu.

Bisa jadi perintah inipun dinyatakan dalam kemasan konsepsi yang dikenal sebagai ”wahyu” oleh para ilmuwan saat itu. Secara empiris, pola semacam itu sebetulnya bisa ditemukan dalam hampir semua folklor, khususnya yang korelatif dengan berbagai fenomena kehidupan.

Sebagai contoh, keberadaan pohon kamboja (plumeria), yang dahulu umumnya hanya bisa ditemui di lokasi permakaman, senantiasa dikemas dalam mitologi sebagai wit dhemit (pohon hantu). Pemosisian pohon kamboja sebagai sesuatu yang disakralkan itu bukan tanpa alasan.



Para leluhur memang ”membutuhkan berkah” dari pohon penunggu kuburan itu. Sebagai ”berkah” beberapa bagian dari pohon kamboja memang sengaja dibawa pulang untuk penyembuh. Belakangan diketahui kandungan fulvoplumeirin dalam pohon kamboja memang berguna untuk menyembuhkan  tuberkulosis, hepatitis, diare, dan sesak napas akibat radang tenggorokan.

Selain itu, di dalam getah pohon kamboja ternyata juga terdapat bahan-bahan yang bisa berfungsi sebagai antibiotik yaitu triterpenoid, tanin, alkaloid, dan flavonoid (www.deherba.com).  Tidak mengherankan bila hanya dengan mengunyah dan menelan bunga kamboja saja sudah bisa sembuh dari sakit batuk, demam, susah kencing, dan diare.

Salah satu kerabat pohon kamboja, yaitu pohon bintaro (carbera manghas), ternyata juga ampuh sebagai pengusir tikus. Kandungan cerberrin dalam buah bintaro kini bahkan telah dikembangkan sebagai pestisida alami pengusir berbagai serangga hama.

Agaknya gerhana matahari sekarang sudah dimaknai dengan lebih logis. Kedatangannya tidak lagi ditanggapi dengan bersembunyi. Banyak pihak mengemasnya menjadi paket bisnis (pariwisata, alat astronomi).

Fenomena alam ini sekaligus menawarkan sebuah fakta baru, yaitu menikmati ”dewa surya” ternyata tidak lagi sebatas pada saat sunrise dan sunset. Pada saat gerhana matahri ternyata ada keindahan berbeda di luar  kedua momentum klasik itu. Selamat menikmati gerhana matahari.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya