SOLOPOS.COM - Mohamad Ali mohamadalisdmuhpk@ymail.com Mantan Kepala SD-SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat, Solo Bergiat di Gubug Tani Al-Maun

Mohamad Ali mohamadalisdmuhpk@ymail.com Mantan Kepala SD-SMP  Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat, Solo Bergiat di Gubug Tani Al-Maun

Mohamad Ali
mohamadalisdmuhpk@ymail.com
Mantan Kepala SD-SMP
Muhammadiyah Program Khusus
Kottabarat, Solo
Bergiat di Gubug Tani Al-Maun

Perayaan ulang tahun ke-68 Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun ini hanya berselang sepekan setelah Idul Fitri/Lebaran. Kedua hari besar itu bermuara pada satu titik: kemenangan atau kemerdekaan kemerdekaan (dari belenggu keserakahan atau kolonialisme).

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Fenomena ini tentu bukan peristiwa kebetulan, terlebih bagi rakyat Indonesia yang mayoritas ber-KTP Islam. Tidak ada negeri muslim yang merayakan Lebaran seheboh di sini. Tradisi Lebaran yang paling menyedot perhatian publik adalah membeludaknya arus pemudik, suatu sinyal tingginya urbanisasi sekaligus cermin gagalnya pembangunan.

Kegagalan itu berakar kuat pada paradigma pendidikan/pedagogi yang dianut negeri ini. Perlu evaluasi kritis terus-menerus terhadap praktik pendidikan sampai bisa terbangun pendidikan yang seirama dengan kebutuhan rakyat merdeka. Mengingat begitu mendesaknya persoalan ini, di tengah gempita perayaan hari kemerdekaan, ada baiknya kita sisihkan waktu menengok relevansi kebijakan pendidikan dengan orientasi pembangunan yang berkeadilan.

Sesuai amanat UUD 1945, tujuan berdirinya negara ini adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa…, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Merujuk tujuan awal bernegara, kebijakan pendidikan semestinya berorientasi pada kepentingan rakyat, yang sebagian besar memang tinggal di pelosok desa.

Yang amat disesalkan, praktik pendidikan kita selama ini ternyata berpihak pada kepentingan elite dan pemilik modal (the upper class). Untuk memutus mata rantai ini,  diperlukan keberanian menyuguhkan gagasan-gagasan alternatif sebagai wacana pendidikan tandingan.

Sebagai acuan refleksi, berikut kami kutip penilaian kritis E.A.H. Dumassy atas kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Menurut Dumassy, kebijakan pemerintah Hindia Belanda sangat tidak mencukupi sebagai akibat pemikiran kolonial yang picik.  Dumassy menambahkan, kesalahan yang paling elementer ialah karena bukan kepentingan rakyat, tetapi kepentingan bank-bank dan para pengusaha yang diutamakan (Dara Tia, Prisma No.10/1986).

Penilaian itu merupakan tanggapan atas meluasnya pendidikan (sekolah) Barat pada awal abad ke-20. Meski sudah dibuka keran pendidikan, tetapi yang mengakses hanya kaum pribumi golongan atas. Hampir satu abad kemudian, Y. B. Mangunwijaya dan Todung Mulya Lubis (Prisma No.7/1980) menyatakan praktik pendidikan di Indonesia selepas kemerdekaan hingga saat ini tidak pernah berubah, yaitu melanjutkan paradigma pendidikan kolonial.

Yang dilakukan pemerintah hanyalah mengubah kata sifat di belakang kata pendidikan itu: ”kolonial” menjadi “nasional”. Mengubah nama ”Sekolah Rakyat” menjadi “Sekolah Negeri”. Sementara itu, apa makna perubahan konsep itu bagi masyarakat tidak pernah disentuh. Berpijak pada kenyataan tersebut, tidak berlebihan bila dikatakan kebijakan pendidikan Indonesia berparadigma neokolonialisme, kolonialisme jubah baru. Era kolonialisme kita dijajah bangsa asing, era neokolonialisme kita dijajah bangsa sendiri.

Dalam paradigma neokolonial, pendidikan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan melanggengkan keserakahan elite (pusat-kota), kebutuhan rakyat bawah (pinggiran-desa) terabaikan. Menurut kacamata neokolonialisme, pendidikan dimaknai sebagai proses permesinan sosial (baca: pabrik manusia) yang memproduksi manusia-manusia unggul berotak cemerlang, terampil, cakap, dan patuh.

 

Bursa Kerja

Postur manusia seperti itulah yang mampu memenuhi kebutuhan, dan laku keras di bursa kerja. Manusia  bermental tukang yang paling dicari kaum elite (pengusaha-penguasa) sebab mereka mudah beradaptasi dengan cara kerja mesin birokrasi, atau perusahaan kelas kakap. Bangga dengan upah tinggi dan tercukupinya kebutuhan hidup, tetapi mengorbankan sisi humanismenya dan terasing dari rakyat.

Mereka menjadi bagian organis dari ”sekrup-sekrup” birokrasi dan perusahaan. Ketika kehidupan mereka telah dipertaruhkan untuk menjadi sekrup-sekrup birokrasi-perusahaan (umumnya di kota-kota besar), tanpa disadari mereka telah terasing dengan dirinya sendiri. Penjelasan singkat ini diharapkan dapat memperjelas tesis esai ini: tingginya arus mudik-urbanisasi tidak bisa dilepaskan, bahkan berakar kuat pada kegagalan pendidikan.

Benar bahwa membeludaknya arus urbanisasi, orang-orang desa berbondong-bondong menuju kota, merupakan permasalahan sosial yang kompleks dan pelik. Problem ekonomi, politik, sosiologis, budaya saling berjalin berkelindan.

Namun, perlu digarisbawahi, faktor-faktor itu bersifat eksternal, penggoda urbanisasi. Dan sekuat apa pun godaan, bila orang itu memiliki pribadi kuat dan tangguh tentu tidak mudah goyah. Pendidikan dapat melakukan tugas itu.

Konon, setelah Lebaran ada tambahan satu juta urban baru yang mencoba mencari peruntungan di lorong-lorong kota besar di Indonesia. Bila tidak ada langkah-langkah antisipatif yang konkret dan menjanjikan, jumlah itu pasti akan terus melonjak.

Kondisi ini tentu bukan cerminan masyarakat/bangsa yang sehat. Itulah postur bangsa yang rapuh dan rentan, laksana buih yang mudah terempas embusan angin. Derasnya arus urbanisasi membuat desa kehilangan orang-orang produktif dan menjadikannya lumpuh sehingga tidak mampu memasok kebutuhan hidup orang kota.

Cerita berikut ini benar-benar terjadi di alam nyata, bukan sekadar dongeng negeri antah berantah. Sebuah bangsa agraris yang maha luas, tetapi mengimpor hampir semua produk pertanian: mulai dari cabai, bawah merah, bawang putih, beras, hingga daging sapi.

Siapa pun yang masih menyisakan jiwa nasionalisme, tentu terusik melihat karut-marut permasalahan ini. Dalam situasi demikian, saya tergugah untuk berbagi gagasan yang diharapkan dapat memperjelas dan mengurai benang kusut menggilanya urbanisasi dari sudut pandang pendidikan. Menurut saya, implementasi pedagogi pemerdekaan bisa menjadi alternatif pengurai masalah.

Konsep ”pedagogi pemerdekaan” belum populer di telinga kita, untuk itu perlu sedikit penjelasan. Pengertian pedagogi sebetulnya sama dengan pendidikan. Secara leksikal, pedagogi adalah ilmu pendidikan.

Hanya saja, pengertian pendidikan belakangan identik dengan persekolahan: mendidik anak-anak usia sekolah. Padahal, yang dimaksudkan adalah pendidikan dalam makna luas, seluas kehidupan, termasuk mengedukasi publik. Untuk itu istilah pedagogi lebih tepat digunakan.

 

Kegiatan Kehidupan

Pedagogi melihat pendidikan sebagai kegiatan kehidupan dalam masyarakat untuk mencapai perwujudan manusia secara penuh, yang berjalan terus-menerus sampai meninggal (Sodik A. Kuntoro, 1985, 17).

Pedagogi adalah segala usaha dan hasilnya yang diadakan dalam suatu masyarakat dengan tujuan untuk menyediakan sikap dan tingkah laku serta pengetahuan dan keterampilan yang perlu demi kelangsungan atau perubahan masyarakat itu, dengan memberi kesempatan seluas mungkin kepada perkembangan menyeluruh dari masing-masing pribadi (Johannes Muller, Prisma No.11/1979).

Merdeka berarti bebas dari penjajahan, tidak bergantung kepada orang lain atau pihak tertentu (KBBI, 2005, 736). Pemerdekaan adalah proses, cara, perbuatan memerdekakan. Berpijak pada pengertian dua konsep tersebut, pedagogi pemerdekaan memandang pedagogi sebagai proses, cara, perbuatan, dan jalan untuk memerdekakan pribadi dan masyarakatnya dari cengkeraman kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan, dan segala bentuk penjajahan. Tak terkecuali penjajahan kesadaran.

Dalam perspektif pedagogi pemerdekaan, mutu pendidikan bukan semata-mata tergantung dari penguasaan keilmuan, pengetahuan, atau keterampilan pada dirinya sendiri. Perlu dicatat, itu adalah kualitas puncak pribadi menurut pendidikan (neo)-kolonial.

Sebenarnya, nilai-nilai itu semua bersifat relatif dan sekunder. Artinya kecerdasan ekonomis atau keahlian pertanian, misalnya, bisa digunakan baik untuk mengisap orang lain dan memperkaya diri maupun untuk memperjuangkan orang banyak.

Seperti ditandaskan Muller, pedagogi pemerdekaan memahami konsep mutu pendidikan secara menyeluruh. Yang jauh lebih menentukan untuk menilai mutu pendidikan adalah pembentukan dan pembinaan sikap yang menunjang penguatan rakyat yang berada dalam cengkeraman kemelaratan.

Umpamanya: sikap kerelaan bekerja di daerah pedesaan dan terpencil yang paling membutuhkan bantuan; atau, sikap berswadaya yang dibutuhkan orang-orang kecil agar bisa menangani dan menentukan sendiri nasibnya.

Kekosongan metodologi belajar pedagogi pemerdekaan dapat diolah dari model pembebasan kesadaran (dialogika) yang diperkenalkan Paulo Freire, dan model belajar eksploratif John Dewey. Kedua model belajar ini memosisikan guru-murid sebagai subjek yang secara bersama-sama menamai dan mengubah realitas.

Singkatnya, pedagogi pemerdekaan mendorong subjek didik sebagai pelaku perubahan, bukan sekadar sekrup-sekrup birokrasi-perusahaan. Gagasan ini sangat menantang! Tapi, akan lebih exciting bila dijalankan. Sungguh, di jalan inilah terbentang hakikat kemerdekaan dan kemenangan yang sejati.



 

 

 

 

 

 

 

 

 



 

 

 

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya