SOLOPOS.COM - Kholilurrohman abumadani@yahoo.com Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Kholilurrohman abumadani@yahoo.com Dosen Fakultas  Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Kholilurrohman
abumadani@yahoo.com
Dosen Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri
Surakarta

Artikel Muhammad Milkhan dengan judul Ironi Pendakwah Berbayar (Solopos, Jumat [23/8]) yang—sepemahaman saya–mencoba mengelaborasi sikap Ustaz Soleh Mahmud yang terkenal dengan panggilan Ustaz Solmed menarik untuk ditelaah. Kesan saya, ada yang salah dalam memahami tarif dai, yakni satu sisi menganggap sebagai profesi dan di sisi lain sebagai pemberian seikhlasnya (bisaroh).

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Padahal, baru beberapa tahun terakhir ini saja dai yang layak dihargai secara finansial memang dihargai oleh jemaah atau pengundangnya. Sedangkan yang dinilai tak layak dihargai, mereka sekadar diberi segelas air, sebungkus rokok, dan snack ”sisa” pengajian.

Menurut Kuntowijoyo, pada 1970-an banyak anak bercita-cita ingin menjadi kiai. Mengapa? Karena setiap kali kiai memimpin ritual agama, mereka mendapatkan bagian daging ayam yang paling besar. Ketika pulang mereka masih diberi gula, teh, kopi, snack, dan lain-lain.  Saat ini oleh-oleh (buah tangan) diganti dengan uang.

Pada tahun itu, orangtua berbondong-bondong menyekolahkan anak mereka ke pondok pesantren agar anak mereka kelak menjadi kiai yang mendapat ”pesangon” dari jemaah. Orientasi itu berubah seiring ada profesi lain seperti dokter yang perolehan uang dan status sosialnya lebih tinggi ketimbang ”profesi” kiai.

Sebenarnya, saat ini posisi dai tak ubahnya seperti profesi-profesi lainnya. Ketika mayoritas orang membeli sebuah produk, produk itu akan menjadi mahal. Sekolah, bank, atau rumah sakit yang berlabel agama kini harganya lebih mahal. Mengapa? Alasannya sederhana, sekolah ini menawarkan konsep terpadu, full day, bilingual, dan lain-lain.

Bank berlabel agama (Islam) menawarkan konsep syariat dan sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Rumah sakit berlabel agama (Islam) lebih bernuansa ”sesuatu” yang berbasis agama, seperti fasilitas bimbingan agama ketika sakaratul maut.

 

Biaya Pendidikan

Mahalnya tarif dai tidak bisa terlepas dari bagaimana dulu ia digodok di kawah candradimuka yang bernama pondok pesantren. Tiap hari ia menghafalkan dalil Alquran, hadis, dan qaul ulama. Bahkan di pondok pesantren tertentu, bila tidak hafal kemudian dihukum dengan berdiri di depan kelas atau mendapat sabetan cambuk di telapak tangan.

Ditinjau dari biaya belajar, dari zaman dahulu sampai saat ini biaya pendidikan kian mahal. Ada yang gratis memang, tetapi biasanya kurang terurus atau terprogram secara baik. Di pendidikan gratis jamaknya yang belajar pun kurang semangat karena merasa tidak ada yang rugi bila ia tidak belajar atau tidak bisa. Bukankah ilmunya gratis?

Tentu berbeda bila membayar. Pelajar yang membayar biaya pendidikan akan merasa menyesal telah membayar mahal bila tidak bersungguh-sungguh. Ada beberapa kasus belajar di taman pendidikan Alquran (TPA) di masjid kurang diminati karena tidak memiliki target yang jelas. Mengapa? Karena ustaz/ustazahnya tidak digaji secara layak.

Kondisi yang berbeda terlihat di madrasah diniah (madin) atau bahkan sekolah dasar Islam terpadu (SDIT) karena biaya pendidikannya mahal. Biaya mahal ini diimbangi pengelola yang bisa menggaji guru secara layak. Kiai zaman dahulu untuk membersihkan hati dari pengharapan pemberian manusia biasanya memiliki usaha, seperti pertanian, peternakan, atau perdagangan.

Kita sering melihat kiai yang pergi ke sawah, ke pasar untuk menjual dagangannya, dan memelihara kambing, sapi, kerbau untuk dijadikan penopang ekonominya. Hal ini dilakukan agar godaan untuk mendapatkan ”sesuatu” dari apa yang diajarkan (didakwahkan) tidak menjadi penghalang/pengganggu  dakwahnya. Sekali lagi, inilah persoalannya ketika agama saat ini sedang laris manis ”diperjualbelikan” dengan topangan media mass cetak atau elektronik yang diakui atau tidak menghasilkan rupiah dari iklan.

Saat Ramadan, tiba-tiba semua menjadi dai dadakan. Asal pandai beretorika, seseorang dengan modal satu ayat Alquran dan satu hadis kemudian menjadi penceramah, pendakwah. Bila ini dilakukan selebritas, hal yang semula bersifat tontonan kemudian menjadi tuntunan. Pemirsa pun berucap: meskipun tidak memiliki basis pendidikan agama, ia sangat cerdas dan pintar mengurai hikmah yang terkandung dalam ajaran agama.

Ucapan ini ada yang salah, yakni seolah-olah memukul rata semua dapat dijadikan profesi. Misalnya, ada seseorang yang memiliki teman kuliah di Fakultas Farmasi, kemudian ia bertanya-tanya terkait obat penyakit yang umum diderita masyarakat, seperti: kepala pusing, keju kemeng, lelah, capai, dan lain-lainnya. Pertanyaannya, bolehkah ia mengobati orang pusing dengan obat yang diberikan temannya yang kuliah di Fakultas Farmasi?

Kemudian muncullah ungkapan: orang Indonesia itu cerdas, untuk meracik obat ia tidak perlu kuliah di Fakultas Farmasi. Cukup  bertanya kanan kiri dan membaca buku di perpustakaan yang menyediakan buku-buku kefarmasian maka ia bisa memiliki skill seperti seseorang yang kuliah di Falkultas Farmasi. Obat dapat dibeli bebas di apotek. Hampir mirip dengan kasus ini, mereka yang terampil beretorika bercampur melucu bisa menjadi dai yang mampu mengalahkan mereka yang paham dengan agama.

Hal ini pernah disitir Rasulullah SAW dengan kalimat suatu saat akan datang zaman di mana banyak penceramah, tetapi jarang yang paham tentang Islam (tafaqquh fiddiin).

 

Jihad dan Ganimah

Ketika umat Islam berjihad (perang), bila menang mendapatkan ganimah (harta jarahan perang). Pembagiannya unik, yakni sesuai dengan modal yang digunakan. Antara mereka yang menggunakan (modal) kuda dan unta, berbeda pendapatannya dengan mereka yang berjalan kaki. Antara pembawa bendera panji-panji perang berbeda dengan mereka yang membawa pedang, dan lain sebagainya.

Ganimah merupakan efek samping dari jihad. Jihadnya karena Allah dan ganimah sebagai ujroh (bayaran) atas kemenangan peperangan. Di dalam dakwah ada maisyah (penghasilan pekerjaan). Dakwahnya karena Allah, dan ujroh-nya adalah efek samping. Ketika seseorang berdakwah, ada jemaah yang memberi sang mubalig telur, beras, hasil pertanian, atau uang. Itu mereka terima dengan penuh rasa syukur. Umumnya para mubalig menyerahkan kepada kemampuan jemaah.

Di Klaten ada fenomena menarik, yakni dalam acara resepsi pernikahan tidak jarang penyelenggara resepsi mengundang campursari sebagai hiburan agar tidak terlihat sepi. Di sisi lain, untuk bekal mengarungi mahligai rumah tangga yang tidak ada sekolahnya didatangkanlah ustaz untuk memberikan ceramah agama. Para ustaz umumnya berbicara tentang niat menikah, apa tujuannya, dan bagaimana Islam menawarkan jalan untuk mencapai tujuan itu.

Ceramah sang ustaz atau mubalig biasanya 15 menit–30 menit. Tamu undangan umumnya lebih senang mendengarkan dan melihat penyanyi campursari ketimbang ceramah ustaz. Ceramah agama dianggap sebagai suplemen agar terkesan acaranya islami. Yang menarik adalah ketika mengundang campursari, pihak pengundang biasanya menghargai senilai jutaan rupiah dan tidak ada yang mempersoalkan.



Tetapi, ketika mengundang mubalig yang hanya diberi penghargaan ratusan ribu rupiah banyak yang berkata sinis, misalnya ilmu agama kok diperjualbelikan. Inilah yang seharusnya dipikir ulang. Apakah layak ilmu agama dihargai segitu? Kalau tidak, mengapa terkadang kita terkesan butuh ilmu agama?

Lalu, apakah para ustaz harus bekerja ganda, yakni pagi berjualan mi ayam, malam menjadi ustaz? Apa kata orang jika ustaz bercerita ia sekadar penjual mi ayam? Apakah ada yang mau mendengarkan ceramahnya di tengah kerumunan manusia yang lebih menganggap siapa yang berbicara ketimbang apa materi yang dibicarakan?

Inilah dilema dakwah. Satu sisi ada tuntutan terhadap ustaz seyogianya gratisan dan dianggap ”haram” ketika menerima uang  (bayaran) dari jemaah. Dan di sisi lain, si ustaz atau mubalig juga memiliki keluarga yang perlu dihidupi seperti anak dan istrinya, baik untuk keperluan konsumtif maupun nonkonsumtif. Idealnya, jemaahlah yang harus tahu seberapa tingkat keilmuan dari mubalig.

Mubalig kelas rukun tetangga (RT) tentu berbeda dengan kelas kabupaten. Antara pemimpin pusat sebuah organisasi sosial keagamaan dengan seseorang yang sekadar bergiat di lingkup kanan kiri tempat tinggal tentu berbeda penghargaannya. Materinya sama, tetapi karena yang berbicara memiliki reputasi selebritas tentu ”harganya” berbeda.

Bayangkan, banyak orang yang mampu menirukan lagu Rhoma Irama, mulai dari kualitas suara sampai gerak-geriknya. Pertanyaannya, kalau kita mengundang Rhoma Irama apakah tarifnya sama dengan tarif penirunya? Sudah tidak selayaknya mempersoalkan bisaroh yang diterima para ustaz, dai, atau mubalig ketika memberikan ceramah.

Yang perlu dipikirkan, dibahas, disosialisasikan adalah sudah layakkah kita menghormati mereka dalam tataran makam (maqom) tertentu? Mereka merupaka penyebar agama, tangan panjang Rasulullah SAW. Jangan sampai ketika kita terkesan butuh terhadap mereka, tetapi kenyataanya penghargaan kita sangat minim. Lebih baik bila suka silakan diundang, dan bila tidak suka ya tidak perlu diundang.

Seperti seseorang dalam akad jual beli, kalau barangnya bagus, konsumen pasti menghargai barang tersebut. Bila tidak, konsumen pun akan menolaknya. Jika itu yang terjadi, semua kembali ke seberapa kuat dan dalam ilmu pengetahuan agama seseorang dan di situlah jemaah ”menghargainya”.

Ustaz pun berhak menetapkan ”harga” ceramahnya dan jemaah pun boleh menawar. Tidak jarang ustaz merasa sakit hati ketika jemaah menganggap dakwahnya sebagai profesi. Dan banyak ustaz senang terhadap jemaah karena jemaah mengapresiasi kehadiran ustaz itu. Jangan seperti teori jelangkung, yakni datang tak dijemput, pulang tak diantar. Wallahu a’lam bis showaab.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya