SOLOPOS.COM - Masduri (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (30/4/2015), oleh Masduri, mengulas sisi lain hukuman mati kasus narkoba, yaitu soal hak hidup.

Solopos.com, SOLO — Hidup dan mati adalah garis Tuhan. Saya selalu mengandaikan hidup dan mati manusia adalah sesuatu yang tiba-tiba.

Promosi Timnas Garuda Luar Biasa! Tunggu Kami di Piala Asia 2027

Tanpa kehendak masing-masing dari diri kita, tiba-tiba saja Tuhan melahirkan kita dari seorang ibu dan bapak, tanggal dan hari tertentu, suku dan negara tertentu yang awalnya tidak kita tahu, dan tak sedikit pun kesempatan bagi kita untuk memilih.

Begitu pula kematian datang tiba-tiba tanpa kita kehendaki akan mati pada hari dan tanggal berapa, karena apa dan di mana, serta segenap rahasai kematian lainnya. Bagaimana kemudian dengan kematian karena hukuman mati, seperti narapidana berstatus bandar narkoba?

Bukankah waktu dan tempat matinya seorang narapidana berstatus bandar narkoba yang divonis hukuman mati sudah jelas? Tak mudah menguraikan jawaban atas pertanyaan ini sebab banyak tafsir teologis yang bisa dihadirkan dalam membaca kematian akibat hukuman mati.

Saya hanya ingin mengetengahkan sebuah pandangan teologis yang menegaskan kematian sebagai hak mutlak Tuhan yang tidak boleh diintervensi oleh siapa pun. Tuhan telah menggariskan hukum alam mengenai sebab-sebab kematian yang bisa dibuat oleh manusia.

Keikutsertaan manusia dalam hukuman mati adalah sebuah tindakan destruktif yang sangat keras sebab tindakan membunuh atau menghukum mati sejatinya adalah hak Tuhan, tetapi dikerjakan oleh manusia.

Artinya saya ingin menegaskan bahwa biarlah kematian datang tiba-tiba tanpa dibuat-buat sendiri oleh manusia. Kita harus membuka kesadaran diri mengenai kehendak dasar setiap manusia tentang keinginan berumur panjang.

Orang boleh saja berspekulasi, tetapi saya yakin kalau ada orang yang bertanya ”apakah engkau ingin mati?” saya yakin semua orang akan menjawab tidak ingin.

Dunia terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja, tetapi kita harus selalu sadar bahwa kematian adalah kehendak Tuhan yang tak dapat disangkal dalam kehidupan.

Tugas hidup tidak sederhana. Menjadi manusia adalah rangkaian imaji Tuhan yang direalisasikan dengan beragam bentuk kebebasan. Segenap jalan menuai konsekuensi.

Manusia harus selalu siap bertanggung jawab. Tugas yang sangat berat adalah menjaga hak hidup dan kebebasan. Hidup dan kebebasan selalu berbanding lurus sebab merupakan rangkaian dari kehidupan itu sendiri.

Menjadi manusia menuntut kita semua harus bersikap tegas menjaga hak hidup dan kebebasan setiap orang. Ketidakmampuan kita menghadirkan penghargaan yang tinggi atas hak hidup dan kebebasan menandai lemahnya mental kemanusian.

Belakangan negara kita disibukkan kasus kejahatan peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Seolah-olah bangsa ini bakal hancur dengan narkoba.

Pemerintahan yang dipimpin Presiden Joko Widodo alias Jokowi tak sedikit pun memberikan ampun terhadap bandar narkoba yang berstatus terpidana mati. [Menjadi Manusia]

 

Menjadi Manusia
Sikap pemerintah yang keras tanpa kompromi menuai beragam reaksi, termasuk kecaman dari mitra internasional. tetap saja pemerintah bergeming. Saya hanya mengelus dada. Mengapa?

Pertama, saya tak sampai hati melihat seseorang dengan kesalahan yang sangat besar sekali pun dicabut hak hidupnya dengan hukuman mati.

Bagaimana mungkin saya bisa tega bila hidup di dunia yang hanya sekali harus berakhir mengenaskan di depan regu tembak? Tidak adakah rasa kemanusian yang mengguncang dalam pikiran kita melihat peristiwa tersebut?

Bukankah setiap dari kita selalu mengandaikan kehidupan yang panjang umur? Saya selalu tegas hak hidup itu harus dilindungi. Orang boleh saja salah besar, tetapi mereka berkesempatan memperbaiki diri.

Kalau Tuhan Yang Maha Segalanya mengampuni semua dosa sebesar apa pun, mengapa kita sebagai mahkluk tak sedikit pun iba terhadap terpidana narkoba?

Bukankah mereka juga memiliki hak menjadi orang yang lebih baik dan bermakna bagi kemanusiaan. Kedua, ketegasan pemerintah dengan alasan narkoba merusak kehidupan generasi bangsa bagi saya adalah alasan yang berlebihan.

Mungkin saja pemerintah berpatokan—lebih tepatnya bermain-main—dengan angka hasil penelitian. Saya ingin menegaskan sebagai bagian dari generasi bangsa bahwa masih sangat banyak anak-anak muda yang memiliki kesadaran tinggi menjauhkan diri dari narkoba.

Mereka memiliki optimisme yang tinggi dalam hidup dan dapat berkontribusi besar bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Mengapa seolah-olah pemerintah ketakutan bangsa Indonesia akan kiamat dengan narkoba?



Selama sekolah, rumah, dan tempat ibadah tegak berdiri, selama itu pula bangsa Indonesia masih bisa selamat. Saya sangat berharap kasus-kasus kecil tentang narkoba jangan dibesar-besarkan.

Seolah-olah semua itu menjadi pembenar bagi pemerintah menghabisi nyawa seseorang. Kita harus selalu membuka pikiran  mengenai kesadaran hak hidup dan kebebasan bertindak.

Sejatinya maraknya narkoba di kalangan anak muda adalah bentuk dari kegagalan pendidikan, kegagalan implementasi agama, dan kegagalan orang tua dalam membiakaan ketercerahan hidup.

Mestinya pendidikan dan agama menjadi corong dari terbentuknya perilaku anak yang mencerahkan. Siapa yanh menyangka pendidikan belum mampu mengarahkan peserta didik menjauhi penyalahgunaan narkoba yang jelas-jelas merusak hidup dan masa depan.

Begitu pula para tokoh agama yang mestinya mampu menegakkan moralitas anak muda, kini mereka merasa sangat kewalahan menghadapi kenakalan pemuda. Penanda apakah ini?

Jangan-jangan keadaban kita sebagai sebuah bangsa sudah tercerabut tergantikan kebengisan diri sehingga lupa ”jalan pulang” bahwa kebenaran sejati adalah kemampuan kita menempatkan manusia sebagai manusia.

Menjadi manusia yang memanusiakan manusia itu tidak sederhana. Butuh keberanian dan ketegasan sebab banyak orang atas dasar agama dan keselamatan sebuah bangsa melakukan tindakan bengis: menghadirkan pembunuhan dan hukuman mati.

Mati adalah garis Tuhan. Kita semua harus saling menjaga agar kehidupan di dunia yang sangat singkat dapat bermakna. Kita sama-sama beharap semoga berumur panjang, seperti nyanyian setiap kali perayaan ulang tahun.

Penulis adalah peneliti teologi dan filsafat di Fakultas Usuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya