SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Bramastia  bramastia@gmail.com   Warga Boyolali Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan niversitas Sebelas Maret

Bramastia
bramastia@gmail.com
Warga Boyolali Mahasiswa Program Doktor Ilmu Pendidikan niversitas Sebelas Maret

Pada Minggu, 8 September 2013, sekitar pukul 21.25 WIB, saya kedatangan tamu yang mengaku datang atas nama ”penguasa” Boyolali. Dia mengaku sebagai utusan ”penguasa” Boyolali dan meminta saya tidak lagi menulis.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Utusan “penguasa” Boyolali tersebut berbicara dengan nada mengancam saya bila saya terus menulis yang bersubstansi kritik atau sumbang saran untuk Kabupaten Boyolali. Tentu saja, saya tidak takut sedikit pun.

Saya justru prihatin karena kritik yang selama ini saya kemukakan melalui artikel di media massa ternyata tidak membangun rasionalitas dan kesadaran Bupati Boyolali. Siapa lagi ”penguasa” Boyolali bila bukan bupati?

Barangkali Bupati Boyolali lupa penguasa Prancis era dulu, Napoleon Bonaparte, pernah berkata bahwa seribu meriam tidak akan membuat dia mundur dari peperangan, tetapi satu ujung pena telah membuat dia berpikir seribu kali untuk melawan.

Pernyataan Napoleon Bonaparte ini menjadi isyarat bahwa goresan pena atau tulisan sesungguhnya lebih dahsyat daripada dentuman meriam. Kekuatan sebuah tulisan mampu menggenggam dunia. Kekuatan tulisan dapat menjungkirbalikkan sebuah kejayaan atau peradaban.

Ketakutan rakyat Boyolali yang berlebihan terhadap kekuasaan Bupati Boyolali sungguh tidak wajar. Rakyat Boyolali ternyata tidak mau belajar dari Pramudya Ananta Toer yang pernah mengatakan,” Kalau kamu mencurahkan tenaga untuk menulis, seluruh dunia akan mendukungmu”.

Pram sangat meyakini bahwa kekuatan tulisan memiliki potensi besar yang mampu merobohkan kekuasan atau bangunan birokrasi. Belajar dari sejarah ini, sudah waktunya rakyat Boyolali memobilisasi budaya menulis untuk melawan arogansi kekuasaan.

Rakyat Boyolali layak untuk belajar dari sejarah Renaisans yang berhasil mengentaskan bangsa Eropa dari zaman kegelapan. Renaisans diraih rakyat Eropa karena saat itu mereka mau membaca dan menulis.

Pada era perkembangan dan kejayaan Islam, karya intelektual dikelola dan terus disebarkan ke seluruh penjuru dunia melalui berbagai karya tulisan. Sejarah kemerdekaan Indonesia juga terinspirasi dari tulisan yang mengabarkan kemenangan sebagian kecil bangsa Asia atas bangsa kulit putih.

Artinya, tulisan sesungguhnya memiliki kekuatan dasyat dan mampu melawan kekuasaan yang melenceng, mengoreksi kekuasaan yang melenceng. Harus kita ingat pula, sosok Bung Karno, Bung Hatta, serta Tan Malaka kala itu sangat terampil membakar semangat rakyat melalui buku dan artikel yang mereka tulis.

Inilah bukti bahwa kekuatan tulisan sangat dahsyat dan mampu menggetarkan arogansi kekuasaan. Realitas sejarah menunjukkan tulisan selalu memicu perubahan besar. Kekuatan tulisan dapat membangunkan jiwa yang sedang terlelap dan kemudian membuatnya bergerak cepat untuk mengubah dunia.

Menurut pandangan saya, tulisan tentu saja tidak berada di ruang hampa. Tulisan kritis tentu menarik rasa ingin tahu rakyat Boyolali. Dari tulisan kritis itu terjadi dialog antara rakyat dengan penguasa Boyolali.

Dengan dipancing tulisan kritis, rakyat Boyolali diharapkan menjadi semakin rajin berdiskusi yang membangun kesadaran kritis mereka. Bila ini terwujud, ini menjadi sinyal lahirnya perlawanan rakyat tatkala penguasa Boyolali tidak responsif terhadap kebutuhan riil rakyat Boyolali.

 

Perjuangan

Demokrasi di Boyolali yang mati suri harus segera diakhiri oleh segenap elemen masyarakat Boyolali. Rakyat Boyolali dan para aktivis gerakan sosial di Boyolali harus bangkit untuk kembali menormalkan kehidupan sosial politik lokal yang tidak sehat ini.

Rakyat Boyolali perlu membuka kembali catatan sejarah, sebagaimana para pejuang bangsa yang begitu gigih melawan imperialisme-kolonialisme Pemerintah Kolonial Belanda di awal abad ke-20. Misalnya R.M. Tirtoadisoerjo atau R.M. Soewardi Soeryaningrat.

Salah satu ciri khas perjuangan mereka yakni menggunakan kekuatan tulisan sebagai alat pendidikan politik untuk rakyat. Rakyat Boyolali perlu tahu, perjuangan gigih R.M. Tirtoadisoerjo yang membuat tulisan kritis berjudul Boikot di koran Medan Priyayi ternyata berdampak luar biasa.

Akibat tulisan itu, puluhan perusahaan Eropa bangkrut karena pemogokan yang dilakukan orang-orang pribumi dan keturunan Tionghoa. Realitas sejarah masa lalu ini yang harus menjadi semangat rakyat Boyolali untuk menuliskan gagasan, ide, dan kritik mereka.

Tulisan Soewardi Soeryaningrat (nama lain Ki Hajar Dewantara) berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda yang  berisi sikap menolak rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis (1813-1913) juga mengguncang perpolitikan Belanda dan Hindia Belanda ketika itu.

Ki Hajar Dewantara menolak perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda itu karena setiap penduduk Hindia Belanda harus  menyumbangkan uang atau jasa tenaga demi menyukseskan acara tersebut.

Sejarah ini menjadi bukti nyata bahwa tulisan dapat menjadi alat perjuangan menuju kebebasan. Belajar dari sejarah perjuangan para pendiri bangsa, saatnya rakyat Boyolali membudayakan membaca dan menulis.

Menurut keyakinan saya, tulisan tidak lekang oleh waktu maupun zaman dan tulisan sesungguhnya mampu melompati batas primordialisme. Bermodalkan menulis sesungguhnya menjadi kekuatan besar untuk mencapai tujuan dan cita-cita mulia.



Untuk itulah, rakyat Boyolali harus terus-menerus menulis untuk meningkatkan daya tawar dan posisi rakyat selaku pemberi mandat kekuasaan kepada penguasa. Berangkat dari tulisan akan menyebabkan rakyat terus bergerak karena didorong pemikiran hasil membaca.

Pemikiran inilah yang sangat berpengaruh terhadap pertimbangan seseorang setelah. Tulisan lambat laun menciptakan pemikiran yang mengendap. Endapan pemikiran lambat laun pasti memicu munculnya sebuah gerakan.

Persoalan kebenaran dari sebuah tulisan diterima atau tidak itu tidak perlu dirisaukan. Tulisan yang jujur tidak akan pernah hilang dan selalu diperlukan. Keberhasilan ”perjuangan” melalui tulisan tidak perlu dipikirkan saat ini. Keberhasilan perjuangan adalah persoalan waktu.

Rakyat Boyolali harus yakin bahwa waktu akan membuktikan bagaimana hebatnya tulisan yang mampu mengoreksi dan meluruskan kekuasaan yang menyimpang. Menulislah [kritik] demi peradaban Boyolali yang semakin baik!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya