SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Mutimmatun Nadhifah mutimmah_annadhifah@yahoo.com Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Institut Agama Islam Negeri Surakarta

Mutimmatun Nadhifah
mutimmah_annadhifah@yahoo.com
Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis
Institut Agama Islam Negeri
Surakarta

Budaya baca harus dimulai dari rumah, sedini mungkin. Membaca harus dibiasakan oleh orang tua pada anak-anak begitu rupa sehingga hal itu lama-kelamaan dirasakan sebagai kebutuhan tersendiri yang perlu dipuaskan, sama halnya dengan kebutuhan akan makan dan minum. Begitulah pernyataan Daoed Joesoef sebagaimana dikutip oleh Fuad Hassan dalam Bukuku Kakiku (2004).

Promosi Skuad Sinyo Aliandoe Terbaik, Nyaris Berjumpa Maradona di Piala Dunia 1986

Buku tak pernah lelah menyapa dunia dengan kisah-kisah menakjubkan. Buku sanggup mengisahkan pelbagai hal untuk melintasi zaman dan negeri. Kekekalan buku melampaui batas usia manusia. Dari buku kita bisa melacak dan menelisik sejarah manusia-manusia ampuh terdahulu. Sejenak merenung, menikmati dan meniru apa yang pernah dikerjakan.

Ada banyak ulama dan tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia yang terlibat intensif dalam pergaulaan dengan buku. Membaca buku bukan dijadikan hobi yang bisa ditinggal jika sudah tidak membutuhkannya lagi. Membaca buku adalah kebutuhan, butuh bacaaan seperti halnya butuh makanan dan istirahat. Membaca buku adalah nafsu kata, gairah imajinasi, pijar nalar, dan olah religiositas.

Membaca adalah proses menikmati hidup dengan kata agar menjadi manusia yang lebih bergelimang makna. Jagat abjad diresapi menjadi sebuah tumpukan imajinasi tak bertepi. Menjadi pembaca buku tanpa harapan akan menjadi penulis sejati karena pada dasarnya buku telah mengantarkan manusia menjadi makhluk bergelimang kata. Bukit kata dalam olahan imajinasi akan membuat pembaca buku menjadi pencipta buku.

Dari pelbagai kisah lampau sampai masa kini, manusia yang merasakan mistisisme membaca buku mulai dapat melahirkan berbagai buku. Buku memang magis. Buku dapat menjadikan kehidupan lebih sempurna. Membutuhkan buku bukan hanya ketika ada tuntutan penyelesaian proyek yang harus dituntaskan sesuai deadline atau tenggat.

Buku adalah harapan untuk mempertebal iman literasi seseorang serta memahami situasi dan kondisi masyarakat lalu dan sekarang. Kesetiaan diri untuk menjamah dan membaca buku akan mengantarkan manusia ke keabadian dan keterkenangan dalam sejarah manusia. Dalam sejarah peradaban Islam, khususnya pada masa puncak perbukuan di zaman kekhalifahan Abbasiyah dan Fatimiyyah, buku (kitab), agama, dan ulama (juga umat Islam) adalah tiga hal yang niscaya dan biasa dalam kehidupan mereka.

Seorang ulama bisa menghasilkan puluhan bahkan ratusan buku selama hidup mereka. Buku-buku yang mereka tulis tentu saja tidak hanya tentang agama, tetapi meliputi berbagai lini keilmuan seperti kedokteran, filsafat, astronomi, kesastraan, kalam (filsafat), dan sebagainya.

Dalam buku Fajar Intelektualisme Islam (1996) garapan Johannes Padersen yang diterjemahkan oleh Alwiyah Abdurrahman, dijelaskan bahwa para ilmuwan pada masa puncak kajayaan Islam banyak  yang bertualang dari kota ke kota demi menunaikan hasrat dan geliat menambah pengetahuan. Mereka ingin mendengar tokoh-tokoh terkemuka berdiskusi tentang hasil kerja mereka.

Banyak buku yang ditulis mengenai para ilmuwan ini yang meningkatkan kesan yang dalam tentang ketekunan belajar mereka yang menarik para pemuda dan orang-orang tua untuk datang dari salah satu ujung dunia Islam yang luas ke ujung yang lainnya. Para ilmuwan sering berkumpul di masjid. Masjid bukan hanya menjadi tempat peribadatan. Lebih dari itu masjid menjadi ladang suburnya kesastraan.

Masjid juga menjadi tempat mengumandangkan pengumuman pemerintah, proses pengadilan, dan menanamkan aspek kehidupan intelektual Islam. Dan lebih dari itu, masjid juga menjadi tempat untuk mengemukakan dan mendiskusikan hasil penelitian mereka. Para ilmuwan terdahulu bertualang hingga berpuluh-puluh tahun lamanya untuk mencapai tujuan menjadi muslim kafah.

 

Bulan Membaca

Mereka berupaya menambah ilmu dengan membaca situasi yang mereka lihat, membaca ketekunan belajar para ilmuwan yang mereka jumpai, dan pada akhirnya keluarlah berbagai karya di setiap tempat di mana mereka singgah. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Kita bisa mengutip, mengingat, dan mengenang Tan Malaka. Pemenuhan untuk menjadi manusia pembaca dan penulis yang sekaligus menjadi incaran penjajah tak membuat Tan lupa dan menghindari buku.

Sedarurat apa pun keadaan yang menghampirinya, Tan tetap meluangkan waktunya dengan buku. Tan kerap menyambangi Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen–sekarang Museum Nasional–untuk mencari dan membaca naskah rujukan. Saat ke museum yang kini berlokasi di seberang Monumen Nasional itu ia sering berjalan kaki, kadang butuh waktu empat jam. Bila hendak ke sana, Tan bangun pukul 04.30 WIB atau saat Subuh.

Demi hasrat dan geliat untuk menjadikan dirinya sebagai manusia pembaca, Tan harus menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk mendapat rujukan meski keadaan membahayakan. Tan mempunyai niat jihad membaca untuk menunaikan misi manusia literasi dan mengabadikan hasil pemikirannya dalam sebuah buku berjudul Madilog (Materialisme, Dialektika dan Logika).

Ramadan disebut  dengan syahrul Quran (bulan membaca). Semua orang berlomba-lomba menggapai pahala di bulan ini. Salah satu jalan yang ditempuh oleh mayoritas muslim adalah dengan mengkhatamkan Alquran. Banyak muslim menjalani, melewati, dan menghabiskan Ramadan dengan buku politik, ekonomi, sosial, sastra, sejarah, dan masih banyak yang lainnya yang tentu juga akan menjadi ibadah yang akan menuai pahala yang besar.

Penyatuan diri dengan buku yang dapat cepat dipahami akan lebih membuat manusia mengerti serta peka dengan apa yang ada di sekitarnya sehingga kedekatan dengan buku akan menjadikan diri sebagai muslim kafah. Diturunkannya Alquran pada Ramadan memang menjadi bukti bahwa Ramadan adalan bulan kerja kata. Keserakahan manusia terhadap buku akan membuat dirinya mampu mengakrabi masyarakat secara luas dengan tulisan-tulisan yang terus ditampilkan di pelbagai koran, majalah, dan jurnal-jurnal. Buku adalah fondasi dan dokumen peradaban. Buku menjadi saksi masa lalu dan menjadi kehidupan untuk masa mendatang. Kehidupan itu ada dalam buku.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya