SOLOPOS.COM - Isharyanto (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (19/12/2015), ditulis oleh Isharyanto. Penulis adalah Doktor Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Sebelum Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) menetapkan putusan, lewat sepucuk surat Setya Novanto menyatakan mundur dari jabatan Ketua DPR sehingga pembacaan putusan sidang etik MKD tidak dilanjutkan.

Promosi Santri Tewas Bukan Sepele, Negara Belum Hadir di Pesantren

Sebagian bunyi surat pengunduran diri itu sebagai berikut: Sehubungan dengan perkembangan penanganan dugaan pelanggaran etik yang sedang berlangsung di Mahkamah Kehormatan DPR-RI, maka untuk menjaga harkat dan martabat, serta kehormatan lembaga DPR-RI, serta demi menciptakan ketenangan masyarakat, dengan ini saya menyatakan pengunduran diri sebagai Ketua DPR-RI Periode Keanggotaan 2014-2019.

Surat pengunduran bertanggal 16 Desember 2015 itu tidak ditujukan kepada pimpinan MKD, tetapi kepada pimpinan DPR. Tembusannya saja yang disampaikan kepada pimpinan MKD. Wakil Ketua MKD dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan penghentian sidang berdasarkan Pasal 87 tata beracara MKD.

Sidang dihentikan lantaran Setya Novanto mundur. Langkah Setya Novanto ini langsung mematikan MKD yang bersusah payah bersidang dan mendapat kecaman serta sindirin beraneka ragam dari masyarakat.

Usai sudah drama politik selama hampir sebulan terakhir. Sebuah drama yang penuh persangkaan dengan penyebutan sejumlah orang penting di negeri ini: presiden, wakil presiden, menteri, ketua DPR, pengusaha, dan korporasi asing.

Aneka kecaman dan analisis bermunculan, mulai dari tuduhan pencatutan nama kepala negara, perburuan rente, pelanggaran etika, dan sebagainya. Saat persidangan dugaan pelanggaran etika Setya Novanto berlangsung, MKD tak pernah menerima pujian.

Keterbukaan proses dan gencarnya pemberitaan media menyebabkan forum penting itu menjadi forum untuk melampiaskan kritik terhadap para ”yang mulia” dengan jubah merah tersebut.

Sidang MKD yang menghadirkan saksi Presiden PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dan Menteri Energi dna Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said berlangsung secara terbuka. Rakyat bisa melihat dan mendengar kesaksian dua tokoh ini serta mendengar rekaman percakapan skandal ”papa minta saham”.

Pada episode lain, ketika menghadirkan Ketua DPR Setya Novanto, layar panggung ditutup. Rakyat tidak boleh melihat dan mendengar yang ada di balik panggung. Peradilan etik Setya Novanto menuai kritik.

Kritik tersebut menjadi krusial bila disandingkan dengan posisi kasus etik yang disidangkan di MKD. MKD didesain sebagai lembaga tertinggi di parlemen untuk mengadili etika anggota parlemen. Desain MKD berbeda dengan desain Badan Kehormatan (BK) di periode DPR sebelumnya.

Desain MKD saat ini menerapkan konsep pengadilan etik (court of ethics) yang dalam konteks Indonesia dikenalkan Jimly Asshiddiqie (2014). Keberadaan lembaga itu secara linier merupakan pengejawantahan dari rule of ethics yang di dalamnya mencakup code of ethics dan court of ethics.

Kode etik DPR tercantum dalam Peraturan DPR No. 1/2015, sedangkan pengadilan etik melalui MKD. Kasus ”papa minta saham” tersebut semestinya menjadi momentum penting bagi parlemen untuk pembuktian penegakan etika yang oleh publik dinilai absen dari perilaku wakil rakyat. [Baca selanjutnya: Logika]

Logika

Situasi itu disandingkan dengan kinerja DPR yang tak memuaskan publik. Pemahamannya seharusnya bukan lagi persoalan kepentingan fraksi atau koalisi partai politik, tapi kesadaran kolektif seluruh stakeholders di DPR, baik anggota DPR maupun Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR yang menjadi supporting system di parlemen.

Tujuan-tujuan tadi seolah-olah terhapus dengan penghentian sidang MKD karena Setya Novanto mengundurkan diri dari jabatan Ketua DPR. Supremasi etik gagal ditegakkan dengan selembar surat pengunduran diri. Dengan surat pengunduran diri Setya Novanto, MKD terjebak menutup sidang tanpa ada putusan Setya Novanto telah melanggar kode etik atau tidak.

Dalam surat pengunduran diri Setya Novanto menyatakan alasannya bukan karena mengakui telah melanggar kode etik, tetapi untuk menjaga harkat dan martabat, serta kehormatan lembaga DPR, serta demi menciptakan ketenangan masyaraka.

Dengan bunyi keputusan dan dengan dasar surat pengunduran diri tersebut, pada kenyataannya MKD tidak pernah melahirkan putusan ada tidaknya pelanggaran etik yang dilakukan Setya Novanto.

MKD tak menghasilkan putusan perkara etik. Yang ada hanyalah pandangan-pandangan, penilaian-penilaian dari anggota MKD, yang belum dirumuskan dan disatukan sebagai satu kesatuan putusan MKD.

Seharusnya, mengingat surat pengunduran diri tersebut tidak berisi pengakuan Setya Novanto bahwa telah terjadi pelanggaran kode etik sebagai alasan pengunduran diri dan mengingat surat tersebut tidak ditujukan kepada pimpinan MKD, proses persidangan MKD yang mengadili perkara etik itu harus tuntas dengan melahirkan putusan ada atau telah terjadi pelanggaran etik oleh Setya Novanto berdasarkan penilaian-penilaian dari semua anggota MKD.

Barulah kemudian mempertimbangkan surat pengunduran diri tersebut dalam menetapkan sanksi untuk Setya Novanto. Supremasi etik gagal ditegakkan. Setya Novanto barangkali sedang mencari jalan keluar dari jalan berliku persoalan etik yang menimpanya.

Jika harus bermain logika, membalikkan sesuatu yang tak mungkin menjadi sesuatu yang mungkin boleh jadi akan dilakukannya. Dalam ranah akademik, menegakkan etika politik semestinya bersandar pada logika. Bukan sebaliknya, logika  tunduk dengan pertimbangan politik dan pragmatisme kekuasaan

Tanpa putusan MKD soal dugaan pelanggaran etik oleh politikus Partai Golkar itu maka segala tuduhan dan tudingan yang bisa jadi merugikan Setya Novanto menjadi tidak pernah terkonfirmasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya