SOLOPOS.COM - Dwi Haryanto, Railfans Solo Peminat Sejarah Perkeretaapian

Dwi Haryanto, Railfans Solo Peminat Sejarah Perkeretaapian

”Pabrik iki openana, senajan ora nyugihi, nanging nguripi, kinarya papan pangupa jiwane kawula dasih (pabrik ini peliharalah, meskipun tidak membuat kaya, tapi menghidupi, memberikan perlindunganrakyat kecil).”

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Demikian kurang lebih pesan KGPAA Mangkunagoro IV sebagai satu-satunya orang pribumi yang mendirikan dua pabrik gula (PG) pada 1861 dan 1870. Pesan ”raja kecil” (adipati) yang memiliki wilayah kekuasaan Wonogiri dan Karanganyar, serta Kecamatan Banjarsari, Solo tersebut hingga kini masih dipegang teguh oleh manajemen PG Tasikmadu yang pengelolaannya kini dikendalikan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX.

PG Tasikmadu tetap berproduksi hingga kini walaupun biaya operasionalnya amat besar dan terus meningkat di samping harus berhadapan dengan tuntutan perubahan zaman. Berbeda dengan kopi, cengkih atau teh yang banyak tumbuh di dataran tinggi, tebu sebagai bahan baku utama pembuatan gula kristal banyak ditanam di dataran rendah.

Pada zaman dulu, penanaman tebu terpusat di daerah-daerah yang memiliki kontur tanah datar. Hal ini mendorong tumbuhnya pabrik gula di daerah tanah datar seperti di wilayah yang punya hamparan persawahan yang luas. Alasannya antara lain, kadar air yang cukup dan bisa dikontrol, memudahkan perawatan, pengawasan serta memperlancar pengangkutan ketika panen.

Untuk keperluan mempermudah pengawasan dan memperlancar angkutan ketika  panen pengelola pabrik gula membangun jaringan  rel khusus  ke berbagai  wilayah. Pada waktu itu, dalam radius puluhan kilometer dari pabrik gula umumnya  dibangun jaringan rel yang melintasi daerah-daerah persawahan serta desa-desa.

PG Tjolomadu  dan PG Tasikmadu, keduanya di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, didirikan di daerah berkontur datar di wilayah kekusaan Praja Mangkunegaran kala itu. Penanaman tebu biasanya dilakukan bersamaan dengan masa panen tebu atau masa sebelum datangnya musim hujan. Tanaman ”rumput manis” ini merupakan tanaman yang umurnya mencapai  10 bulan hingga satu tahun. Pada umumnya lahan pertanaman tebu adalah sawah milik petani padi maka penanaman dilakukan secara berselang-seling  dengan padi melalui sistem sewa lahan secara massal yang terkadang disertai pemaksaan.

Tanaman tebu jika ditanam di daerah persawahan dengan cara teratur akan menghasilkan tebu wulung, yakni tebu yang batangnya besar serta tidak terlalu keras, rasanya manis, jarak ruas-ruasnya mencapai 15 cm-20 cm dan menghasilkan tetes yang lebih banyak. Sebelum 1990, tanaman tebu harus dijaga ketat oleh petugas khusus yang dinamakan Sebe. Pada masa itu masih banyak orang yang suka mencuri tebu sekadar untuk diisap airnya dan membawa pulang berbatang-batang untuk disimpan di rumah. Jika tidak dijaga, pabrik gula selaku pengelola tanaman  bisa mengalami kerugian.

Kita tentu pernah mendengar cerita Dahlan Iskan atau Gus Dur yang mengakui  bahwa pada masa kecil suka mencuri tebu di atas lori atau di persawahan tak jauh dari tempat tinggal mereka. Anak-anak yang seperti Dahlan Iskan masa kecil yang suka tebu ini sebelum 1990 jumlahnya sangat banyak. Zaman yang terus menggeliat, meronta dan mengubah berbagai kemapanan konvensional akhirnya berimbas kepada eksistensi beberapa  pabrik gula yang perlahan mulai melemah hegemoninya.

Dulu menanam tebu dikendalikan oleh pihak pabrik, kini menanam tebu merupakan kewenangan mutlak petani. Pihak pabrik gula hanya sebatas membeli dari petani dan beberapa diantaranya membina para petani terkait masalah menanam tebu. Hal ini membuat  tidak semua petani  bisa menanam dan menghasilkan tebu berkualitas  yang tentunya berpengaruh kepada mutu hasil panen.

Dulu menanam tebu harus di daerah sawah berkontur datar, sekarang tanaman tebu banyak tumbuh di lahan kritis berbukit yang  kemudian menghasilkan tebu berbatang kecil, keras dan kadar kemanisannya rendah. Setelah panen, tinggal dicangkul sedikit ujung dhangkel-nya dan dibiarkan tumbuh sendiri sembari menunggu panen tahun berikutnya. Demikian seterusnya tanpa ada pengolahan tanah dan penanaman ulang, tanpa pemupukan dan pengairan yang cukup lantaran harus mengejar untung dengan pengeluaran sekecil mungkin.

Begitu pula dengan jaringan jalur monthit yang dulu dipakai sebagai sistem pengangkutan hasil panen tebu. Monthit kini diganti truk. Bekas jalurnya beralih fungsi menjadi jalan umum atau bahkan hunian penduduk. Di tikungan-tikungan tertentu yang sebidang dengan jalan raya  hanya menyisakan besi  melengkung  yang menjuntai di tengah jalan dan membahayakan pengguna jalan.

Sebagian monthit tinggal menjadi onggokan besi tua dan sebagian masih dipakai baik untuk langsir dari truk ke mesin giling atau dijadikan aset wisata. Di PG Tasikmadu, monthit dan jalurnya tinggal sak megare payung, yakni sebatas melangsir  tebu dari truk di timur pabrik.

Sistem Tebang Angkut

Pada pertengahan abad ke-18, saat perkebunan tebu dan produksi gula kristal menjadi komoditas primadona masyarakat dunia, di Jawa belum ada kereta api atau truk seperti sekarang. Padahal, pada saat itu, Pemerintah Hindia Belanda sedang gencar-gencarnya membangun pabrik gula dan membuka perkebunan tebu di dataran rendah dan sedang. Sistem penebangan dan pengangkutan tebu dari perkebunan/persawahan masih memakai gerobak atau pedati.

Setelah beberapa dekade atau sejak adanya kereta api masuk ke Indonesia pada 1867, perlahan-lahan gerobak pedati mulai digantikan kereta khusus pengangkut tebu atau biasa dinamakan lori. Dengan lori yang berjalan di rel kecil, daya angkut muatan tebu bisa lebih banyak namun lebih efisien dari segi energi dan biaya yang dikeluarkan.

Lori yang bentuk penampangnya seperti huruf ”U” ini mulanya ditarik puluhan ekor sapi. Namun, memasuki era 1900-an, tenaga hewan tersebut digantikan oleh lokomotif uap. Beberapa daerah umumnya menyebut dengan sepur tebu atau monthit. Asal mula sebutan monthit itu sederhana. Sebutan itu berasal dari suara klakson kuno yang mengeluarkan bunyi melengking ”thiiit…,thiiit….” yang membahana membelah kesunyian desa yang dilalui.

Orang-orang tempo dulu, di wilayah Karanganyar, Jawa Tengah, melafalkan  sebutan kendaraan pengangkut tebu berklakson membahana itu dengan  sebutan monthit. Jadi monthit adalan sebutan lain dari lokomotif penarik tebu atau sepur tebu. Jika ditelusuri berdasarkan asal kata, sesungguhnya lafalnya adalah lokomotif, namun lidah orang Jawa lebih familiar dengan sebutan lokomonthit, jadilah kemudian disebut monthit.

Jaringan rel khusus untuk mengangkut tebu dari ladang atau perkebunan tebu ke pabrik ini pada zaman dulu mencapai panjang puluhan kilometer. Di PG Tasikmadu, rel ke arah timur jaringannya sampai Kecamatan Matesih, Karanganyar, Jawa Tengah (dekat Astana Giribangun ) di kaki Gunung Lawu. Ke barat jaringan relnya mencapai desa Sidodadi di lembah Sungai Bengawan Solo, Kecamatan Kebakkramat, Karanganyar. Sedangkan ke utara hingga daerah Sragen dan ke selatan mencapai Kecamatan Polokarto, Sukoharjo.

Pada zaman dulu, saat musim giling adalah Mei hingga Oktober. Ketika itu, sejumlah lokomotif telah dipersiapkan dari dalam depo khusus bernama Station Remise. Pada pagi hari biasanya masing-masing lokomotif berdinas mengirim rangkaian lori ke berbagai penjuru mata angin menuju lokasi perkebunan tebu yang telah dipanen (rembang; istilah panen tebu). Kemudian sore harinya, lokomotif tersebut kembali ke pabrik dengan membawa rangkaian puluhan lori bermuatan tebu untuk ditimbang di emplasemen.

Namun, berhubung zaman sekarang kepadatan lalu lintas sangat tinggi serta banyaknya alih fungsi lahan persawahan menjadi perumahan, lahan perkebunan tebu berpindah ke daerah yang jauh dari pabrik dengan tingkat kesuburan yang rendah. Misalnya, dulu menanam tebu di persawahan dataran sedang yang mampu dijangkau oleh jaringan lori, sekarang perkebunan tebu telah pindah ke lahan kritis berkontur perbukitan seperti wilayah Wonogiri maupun Grobogan.

Hanya sebagian kecil pertanaman tebu yang masih ada di seputaran pabrik. Ini sebenarnya yang menjadikan biaya produksi gula membengkak. Andai masih mengandalkan sistem lori zaman dulu (dengan diproteksi pemerintah dari ancaman moda lain) maka sesungguhnya biaya produksi itu bisa lebih murah.

Alasan kepadatan jalan raya dan alih fungsi lahan tersebut berimbas armada lori yang menuju lokasi penebangan tebu kemudian dihapus. Demikian juga jaringan rel yang panjangnya mencapai puluhan kilometer juga dicabuti pada 1993. Sekarang untuk menuju lokasi penebangan tebu menggunakan truk.

Kendati begitu, untuk menuju mesin giling masih menggunakan lori, sebab pintu utama menuju bibir mesin giling telah didesain menggunakan lori sejak zaman Belanda. Adapun prosesnya yaitu tebu yang berada di bak truk diambil dengan menggunakan alat crane timbangan. Kemudian dari crane timbangan dimasukkan ke alam lori. Setelah terkumpul sekitar 10 lori, batangan tebu tersebut ditarik oleh lokomotif menuju mesin giling. (dharyanto95@gmail.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya