SOLOPOS.COM - A. Windarto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (23/1/2016), ditulis A. Windarto. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Sanata Dharma Yogyakarta.

Solopos.com, SOLO — Mendiang Benedict Anderson (kondang dengan nama Ben Anderson) pernah menulis ada kesalahpahaman yang muncul tentang nasionalisme, khususnya di Indonesia (Indonesian Nationalism Today and in the Future, Indonesia 67, 1999).

Promosi Championship Series, Format Aneh di Liga 1 2023/2024

Pertama, nasionalisme selalu dianggap sebagai warisan nenek moyang yang sudah teramat tua dan bernilai adiluhung. Kedua, istilah bangsa (nation) dan negara (state) sering kali dicampuradukkan yang  berakibat nasionalisme kerap disamakan dengan kepentingan siapa yang sedang berkuasa.

Dua kesalahpahaman di atas tampak jelas ketika ada yang mempersoalkan nasionalis atau tidaknya keberadaan modal asing, termasuk PT Freeport, di Indonesia.

Dalam konteks ini, persoalan penolakan kepemilikan asing yang menjurus ke sikap antiasing (xenophobia) dipandang tidak selalu sama dan sebangun dengan nasionalisme.

Hal ini masih ditambah lagi dengan nasionalisme yang sekadar dimaknai sebagai bentuk patriotisme yang mencerminkan kesetiaan kepada negara dan bangsa.

Di sini nasionalisme seakan-akan telah disempitkan dalam persoalan ”asing/antiasing” dan dibuat menjadi sesuatu yang sama emosionalnya dan turun-temurun ketika membahas tentang ”PKI/anti-PKI”, ”China/anti-China”, Yahudi/anti-Yahudi”.

Dengan kata lain, pada tataran itu nasionalisme hanya digagas sebatas ada milik kita yang dicuri atau perlu dikorbankan demi kepentingan bersama. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi sumber kesalahpahaman, namun justru disakralkan dan dipuja-puji atas nama negara.

Mempercakapkan nasionalisme dalam konteks PT Freeport Indonesia, misalnya, tidak cukup hanya dengan pertimbangan ”siapa mendapat apa” (who gets what).

Percakapan itu perlu ditempatkan sebagai “proyek bersama” (common project) yang oleh Ben Anderson dimaknai dengan lebih membutuhkan pengorbanan pribadi, bukannya malah mengorbankan orang lain.

Inilah nasionalisme untuk kini dan masa depan yang oleh para pejuang kemerdekaan telah dijalani dengan gagah berani meski tahu risikonya akan dianiaya, dipenjara, bahkan diasingkan.

Pertanyaannya sekarang apakah PT Freeport Indonesia adalah suatu proyek bersama atau sekadar merupakan warisan? Artinya, jika PT Freeport Indonesia masih diperlakukan sebagai barang milik yang amat layak untuk dikontrakkan dengan alasan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, hal itu tak ubahnya sebagaimana dipikirkan Ben Anderson bahwa penjajahan hanya dapat dilakukan oleh orang Barat kepada orang non-Barat.

Singkat kata, sia-sia saja memperpanjang atau memutus kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia jika rakyat yang tinggal di  Papua (dulu Irian Jaya) sama sekali tak pernah secara serius diajak bergabung dalam proyek bersama.

Sulit untuk dibantah bahwa selama ini yang dipentingkan dalam kontrak itu adalah Papua-nya, bukan orang-orang yang hidup di sana. Hal itu tercermin sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diselenggarakan pada 1963. [Baca selanjutnya: Merasa Dijajah]Merasa Dijajah

Pepera itu seolah-olah memperlihatkan suara orang-orang di sana secara bulat memilih untuk berintegrasi dengan Indonesia. Dapat dimaklumi mengapa lambat laun mereka mulai merasa sedang dijajah.

Perasaan itu semakin nyata tatkala kasus ”papa minta saham” merebak dengan cepat tanpa halangan. Akibatnya tampaklah perselisihan yang sengit di antara orang-orang di Jakarta yang sedang memperebutkan siapa yang lebih berhak menjadi ”ahli waris” di PT Freeport Indonesia.

Kenyataan ini menunjukkan proyek bersama yang pernah digagas oleh para pemuda pada awal abad ke-20 sekadar menjadi sejarah, padahal gagasan Indonesia masa depan dengan pemuda sebagai basis sosialnya telah memberi keistimewaan bagi posisi sosial mahasiswa sebagai kekuatan politik di masa kini.

Ironisnya, masih jarang mahasiswa yang mampu berteriak ”ngeee” (ekspresi kemarahan), seperti dicontohkan Ben Anderson beberapa hari sebelum wafatnya, sebagai bentuk protes terhadap PT Freeport, apalagi atas kekerasan dan kekejaman yang hingga kini masih terjadi di Papua.

Patut diapresiasi pula bahwa masih ada slogan ”kami tidak takut” terhadap teor peledakan bom dan penembakan di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta, beberapa hari lalu. Slogan yang memperlihatkan sebentuk perlawanan terhadap kejahatan atas kemanusiaan.

Itu cukup memberi bukti bahwa sebagian orang (muda) Indonesia tidak rela mengorbankan sesamanya demi kepentingan pihak-pihak yang berhasrat untuk berkuasa.

Apakah hal ini juga berlaku bagi beragam kepentingan yang mengatasnamakan nasionalisme untuk memutus atau melanjutkan kontrak karya di PT Freeport Indonesia? Kita tunggu saja slogan berikutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya