SOLOPOS.COM - Supriyadi, Bergiat di Bilik Literasi Solo

Supriyadi, Bergiat di Bilik Literasi Solo

SOLOPOS edisi Jumat (26/4) memuat artikel yang menarik, Dampak dan Segmen Radio Islam(i), karya Trimanto. Artikel tersebut mengupas dampak perkembangan siaran radio Islam(i) di Solo dan sekitarnya dalam perspektif dakwah. Radio itu antara lain Radio Dakwah Islam (RDS), Radio Suara Qur’an, RadioManajemen Hati (MH), Radio Majlis Tafsir Alquran (MTA), Radio Mentari, Radio AlHidayah, Radio Hizbullah, Radio AlMadinah, Radio Persada, Radio Isykarima dan lainnya.

Promosi Berteman dengan Merapi yang Tak Pernah Berhenti Bergemuruh

Radio Islam(i) juga tumbuh di kawasan sekitar Solo, seperti Radio Bani Adam di Boyolali, Radio Salma di Klaten, Radio Darussalaf di Sukoharjo dan beberapa radio siaran lainnya. Benar bahwa saat ini, hadirnya radio Islam(i) di Solo dan sekitarnya membuat syiar Islam tampak semarak dan bergema. Girah keislaman dan semangat dakwah tampak dari acara-acara yang diadakan oleh stasiun radio baik yang disiarkan on air maupun off air, terutama acara yang menghadirkan umat secara massal. Media massa merupakan sarana yang cukup efektif dan efisien untuk berdakwah.

Namun, apakah masyarakat tak perlu lagi hadir langsung ke acara tablig akbar, istigasah, kajian atau seremoni keagamaan tertentu dan tetapi cukup mendengarkan lewat radio saja masih perlu dikaji lebih mendalam. Efek dari aktivitas pengajian dengan mendengarkan radio terkesan kurang serius karena bisa dilakukan bersamaan dengan aktivitas lain, seperti sambil bekerja, sambil naik kendaraan, sambil istirahat dan sebagainya. Hal ini berlaku sama dengan apa yang disiarkan televisi. Hampir semua stasiun televisi pada pagi hari menyiarkan program religi. Pemirsa tidak perlu ke mana-mana, cukup duduk manis, bisa sambil tiduran, santai sambil minum kopi dan merokok, untuk mengikuti pengajian itu. Keseriusan pendengar/penonton diuji. Keikhlasan seorang guru juga diuji saat mengajar melalui  media massa yang notebene sebuah industri.

Informasi di media massa dalam sekejap menjadi komunikasi massal, bersifat heterogen, walaupun tidak saling mengenal satu persatu (anyonym). Guru juga tidak mengenal muridnya. Murid tidak mengenal secara khusus siapa gurunya. Padahal perilaku manusia 83% dipengaruhi oleh apa yang dilihatnya, 11% dipengaruhi oleh apa yang didengarnya dan 6% disebabkan berbagai stimulus yang datang dan yang di terimanya (Ginda dkk, Dinamaika Psikologi Dakwah, 2008).

Pondon pesantren adalah gambaran menarik dan sepatutnya diangkat sebagai pelajaran. Pesantren adalah lembaga pendidikan agama yang dibina sosok kiai. Dipandang dari beberapa sisi, pesantren sering dianggap tertinggal dari semua pencapaian yang telah diraih lembaga pendidikan formal, apalagi ditambah dengan adanya prinsip tradisi. Namun, dibalik semua itu, apa yang diberikan oleh seorang kiai kepada santrinya terlalu istimewa  bila dibandingkan dengan apa yang diberikan oleh guru di lembaga formal. Di lembaga pendidikan formal, jam mengajar selalu diperhitungkan dengan gaji. Ilmu yang disampaikan pun tidak sepenuhnya merasuk dan menjadi hakikatnya ilmu.

Praktik demikian sama dengan akad perdagangan. Ada uang ada barang. Ada uang baru mengajar. Sedangkan di pesantren keikhlasan dalam memberikan ilmu benar-benar murni, tanpa pengaruh perhitungan pemasukan. Hal ini penting karena dalam proses pengajaran segera terjadi transmisi pengetahuan, keterampilan, kepercayaan atau informasi (Jalaluddin Rahmat, 1986). Di sinilah sikap ngluru ilmu berjalan. Nabi Muhammad SAW memberikan pelajaran: tholabul ilmi faridhotun ala kulli muslimin wal muslimat. Dalam bahasa Jawa artinya: ngluru ilmu iku wajib ing atase wong Islam lanang lan wadon, menuntut ilmu itu wajib bagi muslimin dan muslimat.

Konsisten

Setiap orang yang ngluru (mengambil buah yang jatuh dari pohonnya) pasti berjalan dengan menunduk, mengambil buah satu per satu, kemudian dimasukkan ke dalam wadah. Tidak dibenarkan menggunakan galah yang panjang untuk merontokkan buah-buah yang masih di dahan secara paksa. Semuanya dilakukan pelan-pelan dengan penuh kesabaran agar buah-buah yang terjatuh bisa didapat semuanya. Bagi murid, sikap ngluru ilmu ini bermakna bahwa si murid harus tunduk kepada guru dan tawadu. Segala perintah guru selama tidak bertentangan dengan syariat harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan senang hati. Murid harus bersabar dan konsisten dalam belajar agar mendapat ilmu yang banyak.

Guru ibarat pohon yang harus terus berbuah sepanjang masa. Walaupun keadaan tidak memungkinkan untuk berbuah, pohon tersebut harus tetap memberikan keteduhan dan kenyamanan bagi siapa pun yang beristirahat di bawahnya. Maknanya, guru harus bisa menyampaikan ilmu dengan ikhlas. Guru harus terus-menerus berkarya, selalu menyumbangkan pikiran cemerlang dan tetap rajin belajar untuk menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru bagi muridnya. Keteduhan ditampakkan dalam bentuk nasihat, motivasi dan keteladanan yang baik. Murid-murid disayangi dan dilindungi sehingga merasa nyaman dalam belajar.

Konsep ngluru ilmu ini akan sulit teraplikasi dalam dakwah lewat radio/televisi. Guru dan murid tidak kontak langsung. Guru tidak mengenal muridnya. Murid tidak mengenal secara khusus siapa gurunya. Sebuah syair Arab menyatakan: barang siapa mengambil ilmu dari seorang guru dengan musyafahah (berhadap-hadapan langsung) niscaya terpeliharalah ia daripada tergelincir dan keliru. Pada masa lalu murid rela mendatangi guru walaupun berjalan kaki dengan beribu langkah mengukur bumi. Berpindah-pindah dari guru yang satu ke guru yang lain. Menjadi murid berarti harus menjalani ”laku” dan tirakat dalam ngluru ilmu. Ini yang saat ini mulai ditinggalkan para “santri” pengajian media massa saat ini.  (soeprei@yahoo.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya