SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro (Istimewa)

Gagasan Solopos, Sabtu (2/1/2016), ditulis Edy Purwo Saputro. Penulis adalah dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Solopos.com, SOLO — Evaluasi perpajakan pada 2015 menjadi pembelajaran untuk penetapan target pajak pada 2016 menjadi lebih realistis. Hal ini terutama mengacu pengunduran diri Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Sigit Priadi Pramudito.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Sampai 27 November 2015 realisasi perolehan target pajak baru mencapai Rp800 triliun atau 64%. Meski demikian, data terbaru per 25 Desember 2015 menunjukkan perolehan pajak telah mencapai lebih dari Rp1.000 triliun.

Perolehan ini masih jauh dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara PeruEdy Purwo Saputro (Istimewa)bahan (APBN-P) 2015. Oleh karena itu bisa dipastikan perolehan pajak tahun ini jauh dari target dan hal ini baru terjadi sejak 2005.

Pengunduran diri Sigit dari jabatan Direktur Jenderal Pajak merupakan konsekuensi dari kegagalannya mencapai realisasi target pajak. Belajar dari pengunduran diri Sigit, sebenarnya itu merupakan tindakan yang kesatria.

Sebelumnya dia menjadi Direktur Jenderal Pajak lewat lelang jabatan. Dia berkomitmen mencapai target yang telah ditetapkan. Presiden Joko Widodo juga berkomitmen menaikkan tunjangan kinerja dan fasilitas lainnya per april 2015 lalu.

Kebijakan itu tidak lain untuk memacu kinerja aparat di sektor perpajakan karena bagaimanapun pajak merupakan salah satu komponen inti dalam pendanaan pembangunan.

Kenaikan nilai tunjangan tersebut relatif cukup besar, yaitu 70%-240%, sehingga pegawai perpajakan golongan terendah per bulan bisa mendapat penghasilan Rp5,4 juta dan eselon I bisa mendapat penghasilan sekitar Rp117 juta.

Dengan pendapatan sebesar itu tentu diharapkan dapat meningkatkan kinerja aparat perpajakan dan berimplikasi perolehan dana pembangunan atau setidaknya bisa mereduksi akumulasi utang.

Sebagai konsekuensi dari penerapan reward and punishment maka tunjangan atau penghasilan itu juga disertai ancaman jika gagal mencapai target dan pencapaian hanya di bawah 70% dari target maka tunjangan akan dipangkas 50%.

Terkait hal ini, mengacu pencapaian target pajak sampai November 2015, pada akhir 2015 perolehan pajak hanya berkisar 80% atau jauh dari rata-rata perolehan target lima tahun terakhir.

Jika dicermati sebenarnya ada dua faktor di balik kegagalan pencapaian target pajak pada 2015. Pertama, penetapan target yang ambisius sehingga tidak realistis. Hal ini tentu sangat memberatkan, meski di sisi lain ada insentif tunjangan kinerja dan juga fasilitas lainnya untuk memacu kinerja.

Di satu sisi, penetapan target pajak pada 2015 sebenarnya juga mengacu perolehan pada 2014 yang mencapai 91,56% dari target Rp1.072,4 triliun atau perolehannya sekitar Rp981,9 triliun.

Oleh karena itu, kegagalan dari penerimaan pajak tahun ini secara tidak langsung juga menunjukan kegagalan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Di sisi lain, meski nilai tunjangan dinaikkan ternyata ada juga kasus-kasus yang mencoreng citra aparat perpajakan, termasuk yang fenomenal adalah kasus Gayus Tambunan. Beberapa hari lalu Gayus keluar dari lembaga pemasyarakatan dan menghebohkan lagi.

Fakta di balik kegagalan pencapaian pajak tahun ini memang menjadi pembelajaran agar di masa depan tidak lagi terbebani target yang ambisius.

Data sejak 2005 menunjukkan pada 2008 perolehan pajak melampaui target, yaitu mencapai 113,6% atau Rp.607,4 triliun dari target Rp534,5 triliun. [Baca selanjutnya: Mereduksi Utang]Mereduksi Utang

Ironisnya, perolehan pajak itu tetap tidak mampu mereduksi utang sehingga komitmen kemandirian gagal dicapai, padahal sejak era Orde Baru pemerintah mencanangkan kemandirian pendanaan pembangunan agar beban APBN tidak semakin berat.

Oleh karena itu, ketika target perolehan pajak tidak tercapai maka wajar jika akumulasi utang akan semakin meningkat dan tentu hal ini berpengaruh terhadap nilai cicilan utang.

Kedua, situasi ekonomi yang kurang kondusif. Fenomena krisis keuangan di Amerika Serikat dan berlanjut dengan krisis di Yunani berimbas terhadap ekonomi global. Terkait ini rupiah sempat terpuruk dan menembus batas psikologis meskipun akhirnya menguat.

Implikasi dari kondisi ekonomi tersebut juga memengaruhi biaya pengadaan bahan baku industry karena masih banyak komponen bahan baku industry yang di impor.

Hal ini memicu kenaikan biaya produksi dan harga jual menjadi mahal sehingga daya saing melemah, sementara daya beli masyarakat juga berkurang karena tekanan inflasi. Belum lagi faktor harga bahan bakar minyak (BBM) yang juga memengaruhi daya beli dan biaya produksi.

Artinya, mata rantai yang terkait dari dampak ekonomi global sangat kompleks. Fakta lain yang tidak bisa diabaikan dari pengaruh ekonomi global tersebut adalah penyerapan anggaran yang tidak optimal, termasuk pembangunan infrastruktur menjadi kurang lancar.

Meski pemerintah mengeluakan sejumlah paket kebijakan ekonomi, imbas krisis ekonomi global cenderung lebih kuat sehingga pengaruh langsung dari semua paket kebijakan ekonomi kurang terasa dalam jangka pendek.



Situasi ini masih diperparah oleh iklim sosial politik dalam negeri yang makin riuh. Bisa jadi, situasinya lebih mengarah kepada wait and see, meski tidak wait and worry, namun hal ini tetap memengaruhi kelancaran bisnis secara makro.

Pemahaman dua faktor di atas harus menjadi pembelajaran bagi pemerintah agar target pajak pada 2016 lebih realistis.  Target pajak pada 2016 ditetapkan senilai Rp1.360,1 triliun dan belum direvisi oleh pemerintah. Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2016 juga harus disikapi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya