SOLOPOS.COM - Fajar S. Pramono (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Selasa (13/2/2018). Esai ini karya Fajar S. Pramono, peminat isu sosial ekonomi dan alumnus Universitas Sebelas Maret Solo. Alamat e-mail penulis adalah fajarsp119@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Belum hilang dari ingatan kita kasus penganiayaan atas diri Komandan Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) Ustaz Prawoto di rumah dia di Cigondewah, Kota Bandung, pada Kamis (1/2), dan penyerangan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka, Kabupaten Bandung, K.H. Emon Umar Basyri pada Sabtu (27/1).

Promosi Riwayat Banjir di Semarang Sejak Zaman Belanda

Kini muncul lagi berita penyerangan oleh seseorang bernama Suliyono, warga Banyuwangi, Jawa Timur, kepada pastor dan jemaat Gereja Santa Lidwina di Sleman, Daerah Istimewa, Yogyakarta. Apa motif penganiayaan dan penyerangan-penyerangan itu? Polisi belum dapat menyampaikan hasil investigasi mereka.

Yang pasti, terhadap dua kasus pertama, pelaku disinyalir orang yang sedang mengalami gangguan jiwa alias gila. Kebetulan atau tidak, kenyataan bahwa kedua pelaku–yang dua-duanya bernama Asep– merupakan pengidap gangguan jiwa disebut sebagai satu hal yang cukup aneh.

Fenomena kemunculan orang gila yang mengamuk tanpa alasan jelas ini memunculkan ”kecurigaan”. Di media sosial muncul pertanyaan mungkinkah motif penyerangan kepada mereka yang sedang beribadah di Gereja Santa Lidwina juga berakhir pada klaim ada kelainan jiwa pada diri Suliyono? Wallahu a’lam.

Pada 14 April 2010, budayawan Goenawan Mohamad menyampaikan pidato dalam acara yang diselenggarakan Temasek Foundation and Nanyang University’s Wee Kim Wee School of Communication and Information di Singapura. Goenawan lebih banyak bicara tentang peran jurnalisme dalam masa intoleransi.

Fakta-fakta ”mengerikan” tentang intoleransi yang disampaikan sebagai pembuka pidato mengentak pendengaran dan pengetahuan kita. Goenawan mengatakan catatan sejarah sangat kaya peristiwa penyerangan dan kekejaman yang berasal dari hasrat untuk memusnahkan orang yang berasal dari iman dan etnis yang berbeda.

Voltaire, pemikir Prancis, menulis dalam Treatise on Tolerance (1763), bahwa walaupun benar ”horor absurd ini tidak menodai wajah bumi setiap hari”, kasus semacam itu sering terjadi sehingga ”dapat dengan mudah mengisi sebuah buku yang lebih tebal daripada gospel” (Goenawan Mohamad, Pada Masa Intoleransi, 2017).

Selanjutnya adalah: Elijah pernah memerintahkan para prajurit membawa 450 nabi Baal

Memerintahkan

Dalam Kitab Raja-Raja di Injil, misalnya, Elijah nabi Tuhan pernah memerintahkan para prajurit untuk membawa 450 nabi Baal yang berasal dari keyakinan lain ke sebuah sungai dan menyembelih mereka di sana.

Sejarah Eropa juga mencatat kisah pembantaian St. Bartholomew di Prancis pada 1572. Saat itu orang Katolik membunuh lebih dari 10.000 Huguenot atau Protestan Prancis dalam waktu enam pekan. Sebelumnya, pada1530-an, Henry VII dari Inggris menggantung dan memenggal 161 orang Katolik di Tyburn.

Bagaimana dalam sejarah Islam? Ketika Islam terbelah menjadi Suni dan Syiah sebagai dua faksi besar, Khalifah Abbasiyah yang beraliran Suni dan menguasai Baghdad sejak 750 sampai 1258 memenjarakan dan membunuh pemimpin Syiah hampir secara teratur.

Itu baru beberapa kisah. Masih banyak hikayat yang bisa diangkat jika kita bicara tentang kejamnya intoleransi. Kejadian belakangan ini kebetulan juga menimpa simbol-simbol keagamaan di negeri kita: ustaz, pengelola pondok pesantren, rama, dan jemaat gereja.

Masih dalam bahasa Goenawan Mohamad, “horor absurd” yang terjadi menunjukkan intoleransi tak lain adalah penolakan atas liyan, yaitu konsep filosofis yang merujuk pada apa yang bukan milikku atau apa pun yang kulihat berbeda dariku.

Sepintas tak ada masalah dengan konsep liyan tersebut, namun jika liyan dianggap ancaman bagi sebagian orang tentu menjadi berbahaya. Seseorang akan cenderung mempertahankan eksistensi dirinya atas ancaman si liyan itu dengan dua cara: memaksa iman si liyan agar beralih kepada iman yang ia anut atau jika tidak bisa dipaksa dengan peniadaan kaum liyan menjadi jalan penyelamatan eksistensi itu.

Keduanya tak punya pilihan selain memicu munculnya kekerasan dalam level yang lebih tinggi dan bisa jadi lebih massal. Negosiasi dan diskusi tidak lagi dipandang sebagai jalan solusi, apalagi bermimpi mewujudkan toleransi.

Selanjutnya: Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah setengah mati

Setengah mati

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah setengah mati mengajarkan tentang toleransi antarumat beragama seperti di Indonesia ini, keberadaan orang-orang yang intoleran dipandang sebagai orang-orang yang tak punya kedewasaan berpikir.

Orang yang tidak bisa berpikir waras sejatinya adalah orang gila. Gila karena memang ada gangguan saraf secara biologis dan alamiah (gangguan kesehatan), atau gila buatan karena diindoktrinasi agar tidak mau tahu terhadap keberadaan sang liyan .

Wujud dari sikap tidak mau tahu adalah ketidaksediaan untuk hidup berdampingan dengan sang liyan. Apakah sang liyan selalu berasal dari perbedaan agama atau kepercayaan? Tidak. Bisa saja dianggap liyan karena berbeda aliran meskipun dalam satu agama.

Bisa saja dianggap liyan karena berbeda pendapat dalam satu negara, bahkan bisa dianggap liyan karena berbeda pandangan di dalam satu hubungan rumah tangga.

Terkait dengan klaim atas pelaku dua kasus di Bandung yang disampaikan di awal tulisan ini sebagai “orang gila”, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan menyatakan tidak percaya.

Tidak mungkin secara sporadis muncul orang gila yang juga secara bersamaan menyerang tokoh-tokoh agama. Ia menduga adan “orang gila gaya baru (OGGB)” yang didukung aktor intelektual di belakangnya (Republika, 12/2).

Amirsyah mengusulkan pembentukan tim pencari fakta terhadap kasus yang menimpa tokoh agama. Peristiwa penyerangan di Gereja Santa Lidwina sangat tepat dijadikan titik tolak tim untuk bergerak dan mengusut kasus hingga tuntas.

Meski tampak naif, sinyalemen kemunculan OGGB tidak boleh dianggap angin lalu. Ingat, 2018-2019 adalah tahun politik. Ada pemilihan kepala daerah serentak di pertengahan tahun ini dan pemilihan presiden pada tahun depan.

Ini tahun ketika orang-orang yang gila kuasa bersedia melakukan segala cara untuk mendapatkan kursi nyaman kekuasaan. Tahun ketika para politikus yang ambisius menghalalkan sesuatu yang haram demi cita-cita politik duniawi.

Selanjutnya adalah: Mewaspadai pihak-pihak yang tak suka demokrasi

Tak suka demokrasi



Kita harus mewaspadai pihak-pihak yang tak suka demokrasi Indonesia bergerak ke arah yang lebih baik dan dewasa. Siapa yang memiliki pengaruh lebih besar dan lebih didengar dibanding penguasa dan oposisi? Di Indonesia para pemuka agama adalah jawabannya.

Sejarah perpolitikan kita pascareformasi ternyata memang lebih sering meninggalkan “luka-luka politik” di hati para politikus dan konstituen berfanatisme buta.

Lihatlah, bagaimana pendukung Joko Widodo dan Prabowo Subianto masih berseteru hingga saat ini sehingga perjalanan bangsa ini menjadi sangat “bising” dan cenderung kontraproduktif.

Segala yang baik dari penguasa atau oposan selalu tampak buruk di mata konstituen lawan. Bagi mereka, luka itu harus dibalas. Dendam harus dituntaskan. Wujudnya? Kesempatan meraih kekuasaan.

Orang-orang gila kuasa dan penggembira yang fanatik buta seperti itulah yang berpotensi menjadi (atau menjadikan) orang gila dengan gaya gila yang baru.

Tanpa bermaksud menciptakan syak wasangka yang kontraproduktif dengan penciptaan kerukunan bangsa, tak ada salahnya kita waspada atas hadirnya OGGB di sekeliling kita. Itu musuh bersama kita yang sesungguhnya jika benar mereka ada. Rapatkan barisan, kita lawan mereka!

 

 

 



 

 

 





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya