SOLOPOS.COM - Heri Priyatmoko (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (4/7/2015), ditulis Heri Priyatmoko. Penulis adalah alumnus Pascasarjana Sejarah, FIB, UGM. Saat ini, penulis sedang meneliti sejarah kuliner Solo.

Solopos.com, SOLO — Tanpa terasa, sekitar dua pekan kita menikmati suasana Ramadan. Selain melatih rasa lapar dan haus, pada bulan penuh berkah tersebut kita berupaya berlatih kesabaran. Tahun ini, kita berpuasa di musim bediding memang agak berat lantaran kala siang terasa lebih panas dan malam terlampau dingin. Cuaca semacam ini tidak gampang berkawan dengan tubuh manusia.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Satu fenomena menarik dan berulang saban Bulan Puasa serta acap mengundang air liur, yakni liputan media massa ikhwal kuliner. Ramadan memang tak lengkap tanpa menyoal khasanah kuliner Nusantara yang uenak dan segar disantap selepas dul (waktu buka puasa), termasuk semangkuk soto.

Setelah peristiwa Presiden Joko Widodo menyantap soto bersama Megawati Soekarnoputri di Solo seraya menghapus kekakuan akibat relasi politik yang dikabarkan merenggang beberapa waktu lalu, soto dianggap bukan perkara makanan belaka. Kisah politik di meja makan para pembesar negeri dan “keampuhan” soto setidaknya melambungkan kembali nama soto. Selain itu, juga mengundang penasaran publik untuk menjajal semangkuk masakan berkuah di sebuah warung di Kota Solo bagian selatan ini.

Dalam atlas besar kuliner Indonesia, soto merupakan makanan yang gampang dijumpai di saban tempat. Ia tak hanya ada di Solo, kota yang dijuluki “surganya kuliner”. Jenis makanan ini mudah diburu dari ujung timur sampai barat wilayah Nuswantara, dan menyimpan cerita unik menurut lokalitasnya.

Menurut sejarawan termasyhur dari Prancis, Denys Lombard, soto berasal dari kata cao du (baca: chau tu) dan dalam Hokkian berbunyi chau to. Sementara Russel Jones dalam buku Loanwords in Indonesian-Malay(2008) memilih kata shao du (baca: sao tu) dalam dialek Hokkian berbunyi sia to.

Pustaka Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013) memberi terang makanan penghangat tubuh ini mendarat bersama komunitas imigran dari Tiongkok. Mereka juga mengusung budaya baru dalam kuliner setempat, yaitu mengenalkan peranti mangkok, piring, dan sendok kepada pribumi untuk menyantap makanan berkuah dan panas seperti soto. Lambat laun, soto menjamur. Budaya kuliner yang cair menyebabkan soto sulit diklaim milik suatu etnis atau kota tertentu.

Ciri khas keseragamannya ialah semuanya berkuah, baik yang bersantan kental, encer, bening maupun kekuningan. Bahan dagingnya varian, sebut saja ayam, udang, sapi, kerbau, dan bebek. Diperkaya dengan jeroan ayam ataupun sapi (babat, paru, dan jantung) yang diramu dengan bermacam bumbu. Ini bukti kreativitas manusia dan pemanfaatan bahan secara menyeluruh, mengacu ungkapan “memakan semua yang berkaki empat kecuali meja, dan semua berkaki dua kecuali manusia”. Pelengkap dan penyedapnya juga lebih variatif. Antara lain suun, taoge, daun bawang, potongan tomat, emping, seledri, bawang merah, dan bawang putih goreng, bubuk koya, dan lainnya.

Penyair kawakan Goenawan Mohamad (2011) dengan lincah menempatkan soto dalam konteks Sumpah Pemuda. Dewasa ini, kita bisa bebas melahap soto semarang (bangkong, selan, bokoran), soto kudus, soto (tauto) Pekalongan, soto (saoto) solo, soto bandung, soto banjar, soto betawi, soto madura, soto lamongan, rujak soto banyuwangi, dan soto makassar. Harga sekian jenis soto ini umumnya terjangkau oleh isi kantong.

Soto berkelindan dengan kelaziman perut dan lidah yang dibangun oleh pengalaman sedari kanak-kanak. Orang yang sejak berumur enam tahun dihibur ibunya dengan makan soto bersantan Madura tak gampang jatuh cinta kepada soto yang dimakan Jokowi dan para tamunya. Ringkasnya, soto bertalian dengan selera, hasrat, kenikmatan, ingatan, dan alam bawah sadar yang kadang muncul.

Menurut Goenawan, soto bertautan pula dengan sesuatu yang mengandung hal ikhwal yang tak selamanya mampu dibuat terang dan rapi. Soto seluruh Indonesia gagal diseret menjadi bagian dari Sumpah Pemuda. Ini bukti dalam hidup terdapat banyak hal yang sulit dijangkau oleh bahasa, hukum, konvensi bersama, dan agama. Kendati demikian, ada pesan damai bagi manusia Indonesia modern dalam kuliner soto yang beragam cita rasa itu. [Baca: Umar Kayam]

 

Kemudian, Umar Kayam yang dianugerahi gelar “si lidah cerdas” juga meriwayatkan soto dengan bagus. Melalui tokoh Pak Ageng dalam kolom rutin di Kedaulatan Rakyat, anak priayi Mangkunegaran yang gede di Solo ini menceritakan rediscovery (suatu penemuan kembali) soto ayam. Dalam suatu pesta, ia disuguhi soto yang bukan sembarang soto ayam. Dibikin dari daging kampung yang disuwiri. Di meja, tersaji sambal, jeruk, serta kecap sebagai pelengkap. Nikmatnya makan soto terbaca dari celetukan Umar Kayam: “Maknyus. Kaldunya itu, lho. Memang lain rasanya dari ayam broiler yang bisa kita pakai.”

Sepenggal cerita pengarang novel Para Priayi ini memantulkan pesan: ayam kampung kembali dimuliakan dalam pesta itu. Dulu, tatkala hewan bertelur ini masih sedikit, ayam kampung disingkang-singkang (dijauhi). Ayam negeri jadi santapan mewah. Sekarang ayam negeri bin broiler di mana-mana, tersebar di kota hingga kampung. Orang kota rupanya dicekik rasa rindu menikmati ayam kampung. Inilah yang disebut wolak-walike (bolak-baliknya) zaman.

Pelajaran apik lainnya soal aspek etika makan. Merasa kurang bila hidangan soto tanpa kawan lauk-pauk. Dalam riset saya tentang sejarah kuliner priayi Kota Solo, terkuak bahwa lauk pauk yang disorongkan dibedakan menurut umur. Kakek atau ayah diambilkan yang istimewa seperti ampela dan jeroan atau brutu (ekor). Pantang bagi anak-anak melahap brutuOra ilok (pamali), mudah bikin pelupa, dan tak menghormati orang sepuh adalah alasan yang dibangun agar bocah menjauhi brutu. Ditilik lebih mendalam, nasihat di meja makan itu merupakan cermin dari kearifan lokal Jawa. Bahwa kelompok sepuh giginya sudah tidak kuat atau berkurang maka bagian yang empuk itu cocok buat mereka. Anak-anak kudu bersedia mengalah.

Selama ini, soto juga tegar menghadapi gelombang modernisasi yang ditandai dengan merebaknya makanan Barat seperti Kentucky Fried Chicken, McDonald, Pizza Hut, steak, dan lainnya. Sebagaimana karakter umum manusia, merindui masa lalu untuk hadir ke masa kini dalam balutan modern. Soto hadir di mal bersanding dengan fast food, selain berjejal di pinggir jalan dan lorong pasar tradisional. Realitas kultural ini bermuara pada konsep penguatan identitas budaya atau sistem ketahanan sosial-budaya masyarakat yang berimplikasi pada sektor ekonomi secara positif. Bahkan, sekarang ada beberapa merek mi instan dengan rasa soto, malah mi instan terbesar di Indonesia melengkapi produknya dengan mi instan rasa soto dari segenap penjuru Nusantara.

Tak hanya itu, merebaknya rumah makan soto khas daerah lain di sudut-sudut kota merupakan satu kekayaan budaya yang harus dikembangkan sebagai aset kultural. Hal ini menunjukkan kultur yang tidak tunggal. Ibarat budaya Jawa, bukan hanya Jawa ala kerajaan semacam Solo dan Jogja yang mendominasi dan mengaku adiluhung. Namun, terdapat pula Jawa pedesaan, Jawa pesisiran, Jawa Banyumasan, serta Jawa Semarangan. Soto mampu memancarkan keindahan serta keragaman budaya Jawa.

Demikianlah, untaian kisah kuliner soto di Indonesia tak melulu persoalan perut (ganjel weteng) dan menimbulkan kehangatan pada raga. Ada semangat menjunjung kebinekaan, etika, cerita politik, hingga nilai filosofi yang terangkum di sana. Ya, semangkuk soto memuat sejumlah petuah bijak dan pluralisme, konsep yang kini sempoyongan akibat kelompok radikal gemar memaksakan kehendaknya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya