SOLOPOS.COM - Edy Purwo Saputro epsums@lycos.com Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Edy Purwo Saputro epsums@lycos.com Dosen di Fakultas  Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta

Edy Purwo Saputro
epsums@lycos.com
Dosen di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah
Surakarta

Berita di Solopos terkait berpulangnya sejarawan dan dosen di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Soedarmono atau Pak Dar, tentu mengejutkan para pencinta sejarah dan budaya. Hal ini terutama mengacu fakta yang berkembang bahwa salah satu narasumber dan rujukan para pencinta sejarah dan budaya serta riset terkait wisata berbasis sejarah dan budaya di Solo dan sekitarnya adalah Pak Dar.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

Ketika saya menyelesaikan riset dan penulisan laporan hibah bersaing terkait kawasan Kota Lama Semarang, saya juga ngangsu kawruh kepada Pak Dar, terutama dari aspek realitas yang berkembang ihwal mengapa cagar budaya banyak yang rusak, tidak terurus, dan minimnya pendanaan dari pemerintah pusat serta daerah? Pak Dar juga memberikan masukan untuk berbagai referensi yang mendukung laporan akhir saya.

Yang menarik dari kenangan terkait pembuatan laporan akhir hibah bersaing itu teranyata Pak Dar merekomendasikan untuk proses pengayaan dari Prof. Eko Budiardjo (mantan Rektor Undip), Kriswandhono (sejarawan), Jawahir Muhammad (budayawan), serta Surachman (Kepala Badan Pengelola Kawasan Kota Lama atau BPK2L Semarang) untuk dilibatkan dalam diskusi terfokus sebagai upaya mengurai persoalan di kawasan Kota Lama Semarang.

Implikasi dari rekomendasi yang diberikan Pak Dar ternyata memang memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap hasil riset dan akhirnya berlanjut di pendanaan riset unggulan strategis pada 2013 ini. Artinya, secara tidak langsung ada kontribusi dari Pak Dar untuk riset kajian terkait dengan kasus di kawasan Kota Lama Semarang dan mungkin ini bisa menjadi acuan untuk riset sejenis, terutama dari aspek wisata sejarah dan budaya.

Persoalan Mendasar

Sepeninggal Pak Dar, tentu para pencinta wisata sejarah dan budaya, juga periset terkait wisata sejarah dan budaya, akan kehilangan sesepuh yang bisa menjadi rujukan dan narasumber. Paling tidak, dari kalangan akademisi telah kehilangan sosok yang mampu memberikan wacana sejarah dan budaya dan kepariwisataan di Solo dan sekitarnya.

Meskipun demikian, keberadaan pusat studi kepariwisataan, baik itu di perguruan tinggi swasta (PTS) atau perguruan tinggi negeri (PTN) di Solo dan sekitarnya, misalnya Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata (Puspari) di UNS, juga bisa menjadi rujukan dan karenanya perlu ada regenerasi eksistensi sejarawan.

Hal ini sangatlah penting karena ada relevansinya dengan aspek rujukan untuk melihat berbagai persoalan yang muncul dan berkembang terkait sejarah dan budaya suatu kota. Artinya, ketika suatu kota ada panutan atau sumber rujukan untuk membahas apa dan bagaimana kondisi sejarah dan budayanya tentu akan lebih mempermudah untuk memahami bagaimana potensi pengembangannya, termasuk juga bagaimana eksistensi sejarah dan budaya di kota itu.

Selain aspek regenerasi yang perlu dipikirkan sepeninggal Pak Dar, aspek lain yang juga menarik terkait sejarah dan budaya yaitu pemikiran Pak Dar bahwa cagar budaya sebagai urat nadi pariwisata berbasis sejarah dan budaya juga perlu dipasarkan dengan sentuhan profesionalisme. Ibarat produk, sejarah dan budaya tidak akan menarik dikunjungi jika tidak dipasarkan dan tentu pemasaran butuh pendanaan.

Ironisnya, banyak cagar budaya yang justru tidak mendapatkan pendanaan, baik dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah itu sendiri. Kondisi ini pada akhirnya memang menjadi pembenar ketika akhirnya satu per satu cagar budaya itu rusak dan hancur karena tidak ada pendanaan untuk merawatnya. Bahkan, banyak juga ditemukan suatu kondisi cagar budaya yang tidak bertuan sehingga tidak tahu siapa yang harus bertanggung jawab terhadap kelestarian cagar budaya itu.

Kritik dari Pak Dar tentang pendataan semua cagar budaya di Solo seharusnya menjadi momentum untuk memetakan agar semua cagar budaya yang ada di Solo bisa teridentifikasi secara tepat, baik jumlah atau lokasinya. Jika tidak sekarang mulai dilakukan, jangan salahkan generasi selanjutnya jika tidak mampu lagi mengenali sejarah dan budaya di Solo.

Ironisnya, ketika generasi penerus kita nanti semakin tidak ada yang peduli, justru akhirnya yang peduli adalah warga negara asing. Artinya kepunahan eksistensi cagar budaya di Solo dan sekitarnya bisa jadi akan memicu kerawanan sosial dan karenanya ini menjadi tantangan yang sangat berat sepeninggal Pak Dar dan tentu ini adalah pekerjaan berat bagi semua masyarakat di Solo.

Acuan dasar dari pentingnya menjaga eksistensi cagar budaya juga merujuk kepada nilai pentingnya otonomi daerah. Betapa tidak, ketika semua daerah resah dengan tuntutan keunggulan kompetitif dan produk unggulan, sebenarnya setiap daerah telah memiliki potensi itu dalam bentuk cagar budaya dan sejarah yang ada, melekat, tumbuh, dan berkembang di kota tersebut.

Hal ini tentu bukan tanpa alasan karena setiap daerah pasti memiliki sisi budaya dan sejarah yang berbeda dan unik dibandingkan dengan daerah lainnya. Tentu ini menjadi aset yang sangat bernilai untuk dijual dan dipasarkan. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi setiap daerah di era otonomi daerah untuk mengatakan tidak memiliki keunggulan kompetitif. Bukankah sejarah dan budaya yang mereka miliki adalah potensi keunggulan itu?

Mengacu pemikiran Pak Dar terkait sejarah dan budaya pada umumnya, dapat ditarik kesimpulan agar sejarah dan budaya tidak punah dan bisa terus berkembang memberi kemanfaatan secara luas maka perlu ada revitalisasi dan mengemas serta menjual semua potensi sejarah dan budaya yang ada. Pada dasarnya itu adalah potensi terbesar yang dimiliki setiap daerah.

Paling tidak, terkait Lebaran beberapa hari lalu saja misalnya tentu kita bisa melihat banyaknya wisatawan yang berkunjung ke lokasi wisata yang berbasiskan sejarah dan budaya, termasuk misalnya wisata religi ke masjid-masjid kuno. Oleh karena itu, benar adanya jika semua potensi sejarah dan budaya tidak hanya perlu untuk dijual dan juga dipasarkan tapi juga perlu direvitalisasi agar eksistensinya tidak punah. Jika punah, kronologi kesejarahan suatu kota akan punah pula. Tentu kita tidak ingin ini terjadi. Sejarah dan budaya perlu direvitalisasi, sejarawan perlu regenerasi.

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya