SOLOPOS.COM - Agus Saputro (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Kamis (4/12/2015), Agus Saputro. Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Peminat isu politik dan ekonomi pedesaan.

Solopos.com, SOLO — Resah mungkin adalah kondisi yang dialami Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Budi Waseso dalam menghadapi peredaran narkoba di negeri ini.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Beberapa waktu lalu Budi Waseso mengemukakan ide akan membangun penjara yang dilengkapi dengan buaya. Ide ini menjadi berita di banyak media cetak maupun elektronik, juga media online.

Mungkin sebagian orang menilai ini merupakan terobosan baru untuk mencegah peredaran narkoba yang semakin merajalela, akan tetapi sebagian orang mungkin melihatnya sebagai ide konyol.

Terlepas dari baik atau buruknya ide penjara berbuaya, esensi yang terpenting di sini adalah bagaimana mengatasi peredaran narkoba. Narkoba bukanlah masalah baru di negeri ini.

Bahaya narkoba telah digembar-gemborkan, akan tetapi pengedar dan penggunanya seakan tidak berkurang. Tentu ini menjadi masalah negara karena banyak generasi bangsa yang menjadi korbannya. Terus siapa yang harus disalahkan?

Masalah narkoba yang tak terselesaikan dengan baik disebabkan negara tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Kita mengenal istilah trias politica yang di dalamnya negara terbagi menjadi tiga fungsi sebagai legistatif, eksekutif, dan yudikatif.

Masalah narkoba tetap subur di Indonesia disebabkan satu atau lebih dari fungsi negara tersebut tidak dilaksanakan dengan baik.

Perlu disadari bahwa tiga fungsi negara itu tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling berhubungan. Kurang bersinerginya antarfungsi akan menyebabkan regulasi atau aturan tumpul untuk menindak suatu pelanggaran, salah satunya masalah narkoba.

Wacana tentang penjara berbuaya belakangan ini mengundang berbagai respons dari masyarakat. Dari banyak respons tersebut, ketika ditarik kesimpulan hanya ada tiga pendapat.

Tiga pendapat itu yakni setuju, tidak setuju, atau tidak peduli dengan wacana penjara berbuaya untuk memenjarakan bandar narkoba.

Jika kita sedikit kritis mengkaji ide penjara berbuaya ini,  secara tidak langsung ide ini mendiskreditkan fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif, khususnya dalam urusan pemberantasan narkoba.

Aturan yang dibuat lembaga legislatif tidak bisa membuat jera, lembaga eksekutif sebagai pelaksana tidak menjalankan penegakan hukyum sebagaimana mestinya,  dan lembaga yudikatif bisa jadi lalai dalam pengawasan dan mempertahankan aturan hukum itu.

Jika memang wacana penjara berbuaya ini direalisasikan, tentu harus ada tinjauan ulang berkenaan dengan anggaran yang dibutuhkan. Ketika mengkaji ide penjara berbuaya ini secara kasat mata pasti membutuhkan biaya lebih tinggi daripada penjara-penjara pada umumnya.

Tentu pemerintah harus menyiapkan penjara dengan desain penangkaran buaya, menggaji pekerja terampil untuk mengurusi buaya, pos pengeluaran untuk makan buaya, dan lain-lain.

Yang jadi pertanyaan pula, melibatkan buaya sebagai penjaga penjara apakah akan membawa dampak pengurangan tenaga kerja di penjara? Kalau tidak tentu harus dipikirkan  kembali mengenani pengeluaran yang harus ditanggung negara bila ide ini direalisasikan.

 

Konsep Panoptik
Dalam ranah ilmu sosial, Foucault menjelaskan fungsi penjara sebagai pengendali dan pengawasan yang dinamakan panoptik.

Kata panoptik diambil dari model sebuah penjara bernama Panoptikon yang dikembangkan Jeremy Bentham. Penjara ini berbentuk sebuah lingkaran besar dan memiliki sel tahanan yang bertingkat-tingkat.

Tepat di tengah lingkaran itu berdiri sebuah menara pengawas yang dilengkapi sebuah lampu yang bercahaya amat terang. Seperti mercusuar, lampu pada menara ini akan terus berputar menyusuri setiap tingkat sel tahanan.

Siang dan malam, setiap tahanan akan terus-menerus merasa terawasi, meskipun mereka tidak tahu apakah betul-betul ada seorang petugas yang sedang berjaga-jaga di menara itu (Foucault, 1979: 200).

Efek dari sistem panoptik ini adalah kesadaran bahwa diri selalu berada dalam pengawasan dan kesadaran bahwa tubuh ini dilihat secara permanen (tubuh dalam konsep ini pun menjadi objek yang pasif).

Kesadaran ini menjamin berlangsungnya fungsi kekuasaan (otoritas) secara otomatis. Sistem panoptik memungkinkan pengawasan dilakukan secara tidak teratur atau diskontinu, tetapi efeknya kesadaran akan rasa diawasi itu berlangsung secara kontinu dan permanen.

Berpijak pada konsep panoptik di atas mungkin hal yang paling tepat yang harus dilakukan adalah perbaikan sistem pengawasan di penjara.



Tekniknya bisa dengan menggunakan sistem yang sudah ada, misalnya memaksimalkan kamera closed circuit television (CCTV).

Dengan cara ini mungkin akan membuat seseorang selalu merasa diawasi, berlaku baik untuk para narapidana (napi) atau bisa juga petugas mengawasi kinerja pengawas penjara.

Ingat, banyak kasus peredaran narkoba di dalam penjara dan bahkan dikendalikan dari dalam penjara karena bantuan petugas penjara.

Langkah berikutnya yang dapat dilakukan tentu dengan memaksimalkan fungsi negara sebagaimana mestinya. Memaksimalkan fungsi lembaga legislative dengan meninjau ulang undang-undang tentang narkotika.

Peninjauan ulang ini diharapkan dapat membuat undang-undang baru yang menciptakan efek jera baik pengguna narkoba atau orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam peredarannya.

Ketegasan lembaga eksekutif dalam melaksanakan undang-undang atau regulasi tanpa pandang bulu dan lembaga yudikatif yang selalu mengawasi undang-undang agar tidak melenceng dari nilai luhur sesuai dengan perumusannya menjadi syarat mutlak.

Solusi yang tepat akan menghasilkan hal yang baik. Dalam mengambil suatu kebijakan hendaknya mempertimbangkan cost dan reward.

Jangan sampai biaya yang dikeluarkan, entah itu yang sifatnya materi atau hanya pemikiran tercurah habis sedangkan hasil yang didapatkan jauh dari kata memuaskan atau bahkan nol.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya