SOLOPOS.COM - Thontowi Jauhari Anggota DPRD Boyolali Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro Semarang. (FOTO/Istimewa)

Thontowi Jauhari
Anggota DPRD Boyolali
Alumnus Magister Ilmu Politik
Universitas Diponegoro Semarang. (FOTO/Istimewa)

Wakil rakyat produk pemilihan umum (pemilu) di  era reformasi berperilaku korup bukanlah berita baru. Dalam  waktu 10 tahun terakhir, nyaris tidak bersela, setiap hari ruang publik dijejali dengan berita korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR/DPRD.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Mengawali tahun 2013 ini, publik dikejutkan lagi dengan berita terbaru, dan itu membuat masyarakat kecewa, ternyata perilaku korup para legislator tersebut tidak dilakukan oleh sebagian kecil atau sering disebut oknum, tetapi perilaku tersebut telah menjadi kekuatan mayoritas mutlak.

Riset Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada semester II tahun 2012 dengan fokus utama terkait korupsi dan pencucian uang oleh anggota legislatif membuktikan hal itu. Sekitar 69,7 persen legislator terindikasi melakukan  tindak pidana korupsi. Dari jumlah itu, 10 persen di antara mereka adalah ketua komisi. Luar biasa.

Dari 35 modus korupsi yang digunakan, modus yang paling dominan adalah transaksi tunai, yang meliputi penarikan tunai sebanyak 15,59 persen dan setoran tunai sebanyak 12,66 persen. PPATK juga fokus menelusuri transaksi mencurigakan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Kepala PPATK, M Yusuf, mengatakan,”Terdapat 2.000 transaksi mencurigakan yang melibatkan anggota Banggar sepanjang tahun 2012, dan 1.000 transaksi telah selesai dianalisis. Sampai sekarang  sudah ada 20 anggota Banggar yang dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)”.

PPATK tentu menyodorkan data otentik, dan ini menyangkut grand corruption (korupsi besar). Menurut Wijayanto (2009), grand corruption adalah korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi menyangkut kebijakan publik dan keputusan besar di berbagai bidang. Korupsi tersebut juga disebut corruption by greed atau korupsi akibat keserakahan karena para pelaku pada umumnya sudah berkecukupan secara materi.

 

Ironi

Mengapa lembaga legislatif bisa menjadi sarang korupsi? Bukankah keberadaannya dalam sistem tata pemerintahan salah satu fungsinya yakni melaksanakan pengawasan terhadap eksekutif atau pemerintah? Inilah ironi dan sekaligus paradoks lembaga legislatif pada era reformasi, dan boleh dikatakan,  sebagai kecelakaan sejarah. Ibarat pepatah ”pagar makan tanaman”.

Teori trias politika yang dicetuskan oleh Montesquieu mestinya menjadi titik awal bagaimana para legislator bekerja. Pemisahan kekuasaan negara menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif mempunyai sejarah panjang. Kekuasaan negara yang memusat pada seorang raja yang sekaligus berkuasa dalam tiga bidang cabang pemerintahan tersebut akan menjadikan pemerintahannya sewenang-wenang, korup dan mengalami pembusukan. Lord Acton mengatakan,”Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.

Oleh karena itu, dalam sistem pemerintahan  demokrasi, pemisahan atau pembagian kekuasaan negara menjadi tiga lembaga negara  tersebut telah menjadi aksioma atau wajib adanya agar check and balance dalam praktik kenegaraan terjadi. Dengan check and balance kekuasaan setiap lembaga negara dibatasi oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan fungsinya masing-masing.

Atas dasar semangat itulah perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dilakukan, yaitu perubahan dari Kedaulatan di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, menjadi “Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Ini berarti bahwa kedaulatan rakyat yang dianut adalah kedaulatan berdasar undang-undang dasar yang dilaksanakan berdasarkan undang-undang dasar oleh lembaga-lembaga negara yang diatur dan ditentukan kekuasaan dan wewenangnya dalam undang-undang dasar pula.

Dalam konteks seperti ini, patut dipertanyakan, dan dipastikan ada yang salah ketika lembaga legislatif menjadi korup. Raison d’etre atau alasan adanya pun menjadi hilang. Lebih-lebih jika kemudian lembaga legislatif  justru yang ”berinisiatif” dan mengajak berperilaku korup terhadap eksekutif dan yudikatif, sehingga ketiga lembaga negara tersebut semua korup. Bila demikian, kehancuran negara sebenarnya telah ada di depan mata.

Lembaga legislatif itu mestinya menjadi penyuara paling keras ketika terjadi korupsi di eksekutif dan yudikatif. Legislator itu pilihan rakyat, mempunyai ”gelar” yang terhormat dan mestinya diisi oleh orang-orang terbaik di komunitas atau daerah pilihan asal mereka.

Dalam perkembangan ketika fungsi pengawasan lembaga legislatif mestinya lebih ditonjolkan daripada fungsi-fungsi lainnya, korupnya para legislator akan menjadi masalah serius. Ketika fungsi pembuatan undang-undang dan menyusunan bujet negara juga dilaksanakan oleh eksekutif, mestinya lembaga legislatif fokus di pengawasan.

Miriam Budiardjo (2008) menyatakan dengan semakin berkurangnya pengaruh badan legislatif di bidang legislatif, peranannya di bidang pengawasan dan kontrol bertambah menonjol. Badan legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkannya.

 

Puncak

Boleh dikatakan legislator produk Pemilu 2009 adalah puncak anggota legislatif korup dalam sejarah pemilu di era reformasi ini. Mengharapkan mereka bisa melaksanakan fungsi pengawasan secara optimal dan tidak korup seperti halnya mengharap turunnya hujan di musim kemarau. Nyaris tidak mungkin. Menurut Ade Indira (Kompas, 28 Desember 2012) sistem politik saat ini sangat amburadul karena dari 560 orang anggota DPR tidak lebih dari sepuluh persen yang bermutu.

Komaruddin Hidayat, penggagas Gerakan Indonesia memilih, melukiskan terbentuknya masyarakat politik negeri ini bagaikan gerombolan belalang. Kumpulan belalang itu berbondong-bondong terbang ke sana kemari untuk mendapatkan hasil makanan yang tinggal memanennya tanpa kerja keras dan memikirkan masa depan bangsa.

Terbangunnya budaya politik yang dikuasai ”gerombolan belalang” ini, menurut Komaruddin, adalah bukti parahnya perkembangan mutu partai politik (parpol) di negeri ini. Para kader parpol di DPR dan eksekutif punya banyak kuasa menentukan sistem dan orang-orang pelaksana sistem yang dibentuknya. Namun, pembinaan para kader parpol saat ini sulit untuk diandalkan menghasilkan kader yang mumpuni.

Satu-satunya harapan hanyalah mengharap desain Pemilu 2014 agar melahirkan legislator yang bermutu: (1) Parpol agar menyodorkan kader terbaiknya sebagai calon; (2) Pemilih mestinya  bisa lebih cerdas untuk tidak memilih  politisi busuk; dan (3) butuh gerakan penyadaran pemilih. Oleh karena itu, Gerakan Indonesia Memilih yang digagas Komaruddin Hidayat dan kawan-kawan menjadi relevan dan wajib untuk disambut. Wallahu a’lam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya