SOLOPOS.COM - Fadjar Sutardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (9/12/2015), ditulis Fadjar Sutardi. Penulis adalah Pengelola Rumah Langit Kebun Bumi di Sumberlawang, Sragen.

Solopos.com, SOLO — Hari ini, 9 Desember 2015, sebagian masyarakat negeri ini memilih  kepala daerah dengan semangat holobis kontul baris, mengutamakan kegembiraan dengan tetap mengutamakan makna srawung  sejati antarwarga masyarakat.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Usaha menciptakan kondisi kekeluargaan  dalam mengangkat kepala daerah dengan tanpa perseteruan yang merenggangkan persaudaraan sesungguhnya   budaya politik  yang dari waktu ke waktu  pernah dilakukan  leluhur kita.

Bangsa yang mencakup ribuan pulau dan beratus-ratus suku bangsa ini dahulu pernah menjadi negeri yang kuat, kaya raya, dan penuh berkah. Tradisi tersebut tampaknya akan terjadi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun ini, yakni suasana tenang, tak bergejolak.

Kesenyapan politik dalam pilkada kemungkinan besar disebabkan meningkatnya kedewasaan dan kecerdasan masyarakat perdesaan dalam menyikapi tradisi lima tahunan tersebut dengan penuh kearifan.

Kita tahu masyarakat perdesaan di negeri ini pada dasarnya memiliki sikap kebersamaan, keguyuban, kegotongroyongan, kerukunan, tepa selira, saling bergantung satu sama lain untuk menciptakan ketenteraman bagi semua.

Tradisi mengangkat dan memilih kepala daerah lima tahun sekali menarik untuk diambil hikmahnya. Pilkada tahun ini dilakukan bersama pada hari ini. Angka sembilan menurut pemahaman banyak orang adalah simbol numerik tertinggi.

Masyarakat  harus memilih calon kepala daerah yang terbaik di antara yang baik untuk kemajuan, kebangunan, dan ketinggian derajat daerah masing-masing. Banyak orang menafsirkan secara bebas angka tersebut.

Dalam numerologi filsafat Jawa, angka sembilan  mengandung harapan perbaikan akhlak dan budi para pemimpin asalkan setiap  pemimpin yang didukung seluruh masyarakat mau dan mampu membuang sikap yang merusak masa depan bangsanya.

Caranya dengan berani dan sungguh-sungguh mbunteti babahan hawa sanga (menutup dengan sekuat tenaga sembilan lubang hawa nafsu), yakni mengkondisikan pikiran, rasa, dan panca indra untuk menjadi pemimpin yang berspirit sidiq, amanah, tabligh, dan fatonah.

Uphacara  pemilihan kepala daerah pada tanggal itu harus memunculkan pemimpin berkarakter yang dapat  memuliakan derajat  masyarakat dengan pendekatan komunikasi yang didasari rasa estetik dan  spiritualisme sesuai dengan karsa Sang Adi Kodrati.

Dalam konteks kejawaan, mbunteti babahan hawa sanga  seorang pemimpin sebenarnya pekerjaan yang berat, tetapi kalau memiliki niat yang kuat dan utuh tentu menjadi sesuatu yang mulia.

Kita sepakat jabatan atau sampiran menjadi bupati/wali kota hanyalah titipan Tuhan kepada manusia biasa seperti sampiran lain, misalnya petani, modin, bayan, lurah, guru, pedagang bakso, seniman, sinden, dalang, kiai, ustaz, guru, sopir, pengamen atau lainnya.

Artinya kalau tidak didasari kerendahan hati atas kekurangan-kekurangan dalam menahan diri dari lubang sembilan tersebut, tentu bukan tidak mungkin masyarakat akan menurunkannya.

Menjadi kepala daerah adalah amanah kemanusiaan yang adil dan beradab dengan tetap mengunggulkan akhlak dan budi mulia. Krisnamurti dalam Mary Lutyens (1982), spiritualis di India, dalam satu kesempatan mengatakan mendapatkan amanah menjadi pemimpin masyarakat hendaklah selalu menjaga ketertiban dengan etika dan nilai-nilai artistik agar ide-ide anda dapat terwujud dengan baik.

Janganlah menciptakan kekalutan spiritual agar masyarakat tidak susah mencari nafkah dan dapat mengelola mata pencaharian mereka dengan mudah tanpa dihalang-halangi (dikorupsi). Jangan menciptakan kegaduhan-kegaduhan yang disebabkan kedudukan dan kekuasaan sehingga mengurangi keindahan pergaulan antarmereka yang papa.

Tanggal 9 Desember ini harus disepakati sebagai moment meluruskan niat dan ikhtiar menciptakan selera dan kesadaran untuk kemajuan daerah dalam memahami dan menghayati makna political aesthetic yang memihak kepada masyarakat.

Dengan demikian masyarakat menyadari pentingnya kebajikan-kebajikan  yang dipraktikkan bersama dengan pemimpin yang dipilih secara merdeka, bertanggung jawab, dan amanah yang dilakukan secara nyata, bukan slogan belaka.

Angka sembilan mengandung harapan agar para pemimpin daerah memiliki sifat-sifat Allah, yakni 99 nama Allah atau asmaul husna. Jika benar, tentu masyarakat berharap datangnya zaman yang mencerahkan yang dipimpin kepala daerah yang adil, bijaksana, dan cerdas. [Baca selanjutnya: Jiwa Religius]

Jiwa Religius

Grand design atau konsep dasar di atas bila dipahami, dirasakan, dan dipraktikkan secara nyata tentu membuahkan perubahan terus-menerus bagi kemajuan daerah. Kita rindu ketenangan dan benci pada keriuhan politik yang tidak menguntungkan. Kita butuh kemajuan yang mendewasakan, bukan permainan politik yang ditunggangi kepentingan jiwa kekanak-kanakan.

Kita butuh bupati/wali kota yang mengerti dan paham kemauan masyarakat dan bukan bupati/wali kota yang haus kekuasaan semata. Kita butuh pemimpin yang berpengalaman mengelola kebudayaan untuk melahirkan peradaban masa depan.

Menurut pendapat saya,  setidaknya ada lima jalan lurus sebagai pedoman masyarakat dan kepala daerah agar bersama-sama merealisasikan kualitas politik yang memanusiakan manusia mulai dari tingkat bawah di tengah keberagaman .

Pertama,  kepala daerah diharapkan dapat menyandarkan kehidupan mereka kepada jalan Tuhan, yakni  ketakwaan yang dilakukan secara nyata baik praktik dalam peribadahan mahdhoh maupun ibadah sosial yang bernilai kesalehan yang langsung dirasakan masyarakat kecil seperti memprogram konsep pendidikan sesuai dengan budaya masyarakat yang masih diuri-uri .

Hal ini penting sebagai antisipasi atas kemajuan modern yang kebablasan dan terkadang membingungkan masyarakat. Soedjatmoko (1990) menyetujui model pendidikan yang berangkat dari tata budaya masyarakat kita.

Pembangunan pendidikan nasional dapat berhasil apabila pengambil kebijakan memerhatikan pendidikan yang bersifat mikro dan bukan hanya mengembangkan yang makro. Kita bisa mengambil pendidikan modern Barat seluas-luasnya, tetapi tidak boleh melupakan pendidikan ketimuran.

Kepala daerah semestinya mampu membangun kebudayaan yang tumbuh di daerah. Budayawan, seniman, dan pekerja seni daerah dapat diajak memajukan seni budaya yang pada saatnya akan memiliki gaung tingkat regional, nasional, internasional, serta menjadi trademark daerah.

Dari sana tentu para pakar seni, pemerhati seni, kurator, atau kolektor seni akan berdatangan ke daerah dengan membawa semangat touring culture yang membanggakan. Pemimpin yang memiliki wawasan yang luas dapat disebut sebagai pemimpin yang memiliki kekuatan nduweni watak seneng hasesirih.

Sesirih artinya manekung, peduli pada kekuatan daerah yang akan diembannya, agar mendapatkan keselamatan dari Tuhan. Kedua, dapat memegang amanah bagi sebuah jalan lurus untuk menegakkan hukum demi tegaknya keadilan.

Pada konteks hukum, seorang bupati/wali kota dicitrakan menjadi imamun adilun atau pemimpin yang adil, artinya ia nsedekahkan dirinya, hartanya, dan amanah kekuasaannya untuk meningkatkan kesadaran tentang hidup yang benar.

Hidup yang benar adalah usaha mengurangi kesalahan-kesalahan agar tidak terjerat hukum, seperti usaha ketat untuk tidak mencuri, tidak berzina, tidak berkata kotor, tidak berdusta, tidak menerima hadiah uang, tidak bersolek, dan seterusnya (Marzdedeq, 2005).

Pemimpin yang mampu melatih kesadaran diri terus-menerus dalam usaha menegakkan hukum kepada diri dan keluarganya termasuk masyarakat yang diembannya adalah pemimpin yang memiliki kekuatan nduweni watak seneng hasesareh. Sareh dapat diartikan sebagai kesabaran seluas bumi dan kesadaran secerah matahari.

Ketiga, mampu menyeimbangkan kecerdasan sosial dengan kekuatan emosional, intelektual, dan spiritualnya untuk menapaki jalan penghormatan kepada daulat Tuhan, daulat alam, dan daulat rakyat. Rendra (1984) menamakan keseimbangan totalitas jiwa relegius yang secara simbolis perlu dimiliki oleh para pemimpin.



Dalam buku Mempertimbangkan Tradisi, Rendra menceritakan sikap relegius Sultan Hamengku Buwono I ketika akan naik takhta. Sultan mlaku-mlaku menuju masjid, memandang alun-alun, menyambangi pohon kemuning, ringin kurung, dan pergi ke Pasar Beringharjo.

Itu ia lakukan degan tujuan ingin memahami seberapa kekuatan militansi badan, pikiran, perasaan, dan ketajaman panca indranya yang nantinya ditingkatkan menjadi pengalaman rohani untuk menghadirkan kuasa Tuhan kepada yang hidup untuk merawat kehidupan bagi rakyatnya secara nyata.

Sultan membangun pusat kekuatan spiritualnya, yakni pasar, masjid, dan alun-alun. Ketiganya sebagai simbol menyatukan lahir dan batin, Tuhan dan makhluk, raja dan rakyat, langit dan bumi, ramai dan sunyi.

Sultan tidak anti dunia materi, tetapi juga mengerti manfaat materi sebagai sarana untuk menjaga totalitas kehidupan manusia yang bernama rakyat. Ia paham benar konsep manunggaling kawula gusti dan makna sangkan paraning dumadi.

Raja, bupati, wali kota, atau sultan yang sudah sampai pada kondisi seperti gambaran Rendra di atas disebut sebagai  nduweni watak seneng hasesoroh, artinya totalitas hidupnya untuk pengabdian atau soroh bau suku kepada kehidupan.

Keempat, ikhlas  mengendalikan kuasa rakyat sebagai jalan pengabdian kepada Tuhan, alam, dan kehidupan agar kedamaian, kebahagiaan abadi, dapat terlunasi sebagai pertanggungjawaban kelak di hadapan mahkamah  Tuhan. [Baca selanjutnya: Rakyat Bukan Objek]

Rakyat Bukan Objek

Rakyat bukan objek kemajuan pembangunan. Rakyat selayaknya menjadi subjek kemajuan untuk bersama-sama menajamkan kecerdasan dalam mengayuh bahtera kekuatan dan potensi kebudayaan daerah.

Rakyat bukan sesuatu yang selalu tertuduh dan tertindas. Rakyat bukan kereta tumpangan bagi kekuasaan. Rakyat bukan media untuk mencari kekayaan dan kemegahan.



Rakyat adalah kerumunan ribuan dan jutaan manusia yang dibekali kehalusan budi, jujur,  yutun, lugu, dan legawa yang menginginkan kemakmuran, keadilan, kejayaan, dan ketenangan hidup.

Mereka lahir ditakdirkan menjadi wong cilik. Mereka juga tidak menuntut menjadi wong gedhe. Mereka hanya berharap pada suatu saat nanti anak-anak dan cucu-cucu mereka hidup berkecukupan lahir dan batinnya.

Mereka hidup sederhana bukan karena miskin. Mereka tidak mau menjadi objek bagi proyek pengentasan kemiskinan yang dilakukan orang-orang yang haus proposal-proposal. Mereka mendoakan kepada para pemimpin agar menjalani hidup dengan kewajaran.

Kewajaran dalam makan, minum, berpakaian, dan berkendaraan. Kewajaran dalam memanggul amanah masyarakat yang memilihnya. Jika para pemimpin ikhlas mau mendengar jiwa rakyat, pemimpin tersebut dikategorikan nduweni watak seneng asesuruh.

Kelima, mengukuhkan kepribadian sebagai jalan untuk srawung kepada masyarakat luas. Ibarat gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, koruptor mati meninggalkan utang, diharapkan bupati/wali kota mati meninggalkan budi yang dipraktikkan sepanjang hidupnya.

Ia mengerti makna keselarasan dan nikmatnya harmoni kehidupan. Ia paham betul filosofi Jawa tentang empan papan, artinya ia mengerti peran pokonya kapan di depan, kapan di tengah, dan kapan di belakang.

Ia paham akan makna ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Kekokohan kepribadian yang melekat dalam keseharian mewarnai lagak lagu, watak, dan karakternya, yakni melaksanakan ilmu srawung kepada apa pun, siapa pun agar memperoleh hikmah dalam perjalanan hidupnya.

Srawung adalah latihan untuk mengamalkan kalimat bernas:  aku mendengar suara, jerit hewan yang terluka, ada orang memanah rembulan, ada anak burung terjatuh dari sarangnya, orang-orang harus dibangunkan, kesaksian harus diberikan, agar kehidupan bisa terjaga.

Bila seorang bupati/wali kota mengerti makna srawung secara benar, akan tumbuh jiwa subur, pikiran makmur, dan memiliki watak seneng  asesorah, artinya menyukai pembicaraan yang berguna sesuai dengan rasa dan rah, yakni mengena di hati yang mendengarnya.



Tanggal 9 Desember telah tiba. Rasa mendalam semakin pekat untuk memanggul amanah rakyat. Para calon pemimpin merapat, sepakat, agar pesta kegembiraan rakyat yang bernama memilih kepala daerah terlaksana dengan selamat.

Rakyat dan calon pejabat sedang menunggu pulung malaikat yang diperintah Tuhan untuk menebar rahmat agar nantinya mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.

Pilkada serentak akan dilakukan di 269 kabupaten/kota di seluruh provinsi di negeri ini hendaknya menjadi hari raya bagi keterbukaan politik dan dinamika demokrasi ratusan juta rakyat Indonesia.

Tak ada kata yang lebih mulia selain semoga rakyat bergembira dalam memilih pemimpinnya, titis (tepat) pilihan mereka, untuk menyongsong masa depan bangsa dan negara kita yang lebih baik.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya