SOLOPOS.COM - Halim H. D. (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (15/2/2016), ditulis Halim H.D. Penulis adalah networker kebudayaan.

Solopos.com, SOLO — Dalam suatu seminar lingkungan hidup di Hotel Kusuma Sahid, Solo, dua puluh tahun yang lalu, seorang rekan aktivis cum peneliti dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Diponegoro, Semarang, memaparkan data yang membuat saya geleng-geleng kepala.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Saya terkejut membaca data tersebut karena pada periode 1985-1990-an awal ada sekitar 440 batang pohon yang berusia antara 40 tahun-80 tahun berjenis pohon asam, mahoni, dan trembesi di sepanjang Jl. Slamet Riyadi sampai dengan Purwasari, Solo, yang ditebang untuk kebutuhan pelebaran jalan.

Periode itu adalah ketika memasuki rencana pembangunan lima tahun (repelita) keempat, ketika booming minyak di Indonesia melesat, mendatangan keuntungan signifikan dalam perekonomian dunia, dan industri otomotif ikut mengiringinya.

Tren ini mendukung kebutuhan, khususnya, perdagangan dan secara spesifik juga mendukung munculnya kelas menengah atas yang mengokohkan diri di lingkungan sosial perkotaan dengan kendaraan pribadi.

Spanjang jalur Jl. Slamet Riyadi, dan diikuti oleh jalur-jalur jalan lainnya, pepohonan yang sejak zaman kolonial Belanda menjadi ciri khas tata ruang kota tropika yang asri, teduh, dan sangat ekologis, kian menghilang.

Pembabatan pepohonan di kota juga diiringi munculnya bentuk keseragaman toko-toko di jalur-jalur jalan utama yang semula menjadi ciri khas arsitektural kota. Lingkungan kota kian gersang.

Kegersangan ini bukan hanya secara ekologis. Kota mulai dipenuhi polutan dampak dari kendaraan bermotor. Pada sisi lainnya, kota secara visual culture dan arsitektural kehilangan khazanah kesejarahan.

Pada periode yang sama, wali kota Salatiga juga berencana membabat pepohonan kota dengan alasan pelebaran jalur otomotif. Di Solo yang adem ayem rencana pelebaran jalan program Wali Kota Hartomo berjalan mulus tanpa protes. Sementara itu, rencana wali kota Salatiga membabat pepohonan di tengah kota ditentang oleh mahasiswa dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW).

Mereka melakukan demonstrasi dengan mengikatkan diri di batang-batang pohon sepanjang jalur utama secara bergantian selama beberapa hari. Protes itu menghasilkan kompromi. Rencana pembabatan pohon untuk pelebaran jalan itu ditunda.

Beberapa tahun kemudian program pembangunan kota yang tak memperhitungkan tatanan ekologis memang tetapo diterapkan, seperti juga penyeragaman toko dan rumah di sepanjang jalur utama. Periode Inilah salah satu momentum puncak dari kapitalisme global yang kian menguat di negeri kita.

Kapitalisme global itu masuk dan menguat melalui pembangunan yang sangat menekankan kepentingan pertumbuhan politik dan ekonomi khususnya bagi kaum kelas menengah ke atas yang dianggap sebagai motor pembangunan. [Baca selanjutnya: Debat]Debat

Ingatan saya melayang pada suatu peristiwa tentang sebatang pohon di pojokan State Street antara sebuah gereja dengan Michigan Hotel, Ann Arbo,r dengan Freize Building, Asian Language & Culture Center, The University of Michigan, Amerika Serikat.

Menurut pemerintah daerah Ann Arbor, pohon itu sudah tua dan berbahaya. Pohon itu berada di pojokan persimpangan jalan. Pemerintah daerah Ann Arbor akan menebangnya. Warga kota itu dan kebanyakan masyarakat kampus memprotesnya.

Terjadi perdebatan dan dengar pendapat di lembaga legislatif selama belasan bulan. Pemerintah daerah Ann Arbor mengundang pakar untuk membuktikan akar pohon itu memang sudah rapuh dan membusuk.

Akhirnya pohon itu ditebang. Protes belum berakhir. Masih banyak warga kota itu dan mahasiswa serta dosen yang mengirim karangan bunga sebagai tanda duka cita terhadap nasib sebatang pohon yang dianggap sebagai salah satu tetenger State Street.

Di ruas jalan itu pula, North State Street, ke arah Ann  Arbor Train Station, sampai sekarang masih bisa disaksikan sebagian ruas jalan yang dibiarkan, yang dibikin dari batu bata era pertengahan abad XIX, sebagai tanda sejarah.

Jika kita mengunjungi Jepang, khususnya pada sekitar November, kita akan menyaksikan kesibukan warga-–khususnya kaum sepuh-–mempersiapkan musim dingin dengan aktivitas berlindung kepada pepohonan.

Pohon menjadi bagian dari kehidupan sebab tanpa pepohonan yang rindang dan asri, oksigen  kota yang kita butuhkan untuk pernapasan akan musnah dan dipenuhi oleh berbagai polutan yang akan merusak sistem pernapasan dan sistem syaraf, khususnya bagi anak-anak dan kaum muda yang sedang tumbuh dan berkembang.

Ironi pembangunan di negeri kita adalah kota dan desa mengalami kerusakan berat dalam hal tata ruang dan sistem ekologinya. Hanya demi kepentingan pertumbuhan politik-ekonomi yang jauh dari rasa keadilan dan tanpa mempertimbangkan tatanan ekologi serta tata ruang budaya, kota menjadi ruang pertarungan yang bersifat kompetitif yang memancing konflik sosial politik akibat kecemburuan sosial.

Kini kita perlu bahkan wajib menimbang ulang pembangunan, khususnya tata ruang perkotaan, bagi anak-anak dan kaum muda. Dalam konteks itulah, betapa pentingnya menumbuhkembangkan kesadaran warga kota untuk menanam pohon dan menjaga serta memeliharanya.

Dalam konteks Kota Solo ini sangat berkaitan dengan program  penghijauan yang dihadiri Presiden Joko Widodo, yakni dalam pilot project urban forest di beberapa wilayah di Solo (Solopos edisi Minggu, 24 Januari 2016).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya