SOLOPOS.COM - A. Windarto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Sabtu (2/4/2016), ditulis peneliti di Lembaga Studi Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta, A. Windarto.

Solopos.com, SOLOPascapancingan rasial (race baiting) dari status akun Facebook Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo terhadap Ahok (Indoprogress, 17/3/2016), kicauan Twitter milik Yusron Ihza Mahendra mengarah pada topik yang sama. Hal itu membuktikan bahwa sikap dan tindakan anti Cina (sinophobia) masih menjadi fenomena yang efektif dan operatif untuk dimanfaatkan dalam konflik dan kekerasan di Indonesia.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Dengan kata lain, sejarah kekejaman terhadap orang-orang Tionghoa yang diyakini selalu akan berulang seakan-akan telah menjadi warisan yang turun-temurun. Maka bukan kebetulan jika “Cina” dipandang sebagai identitas yang melekat pada diri orang-orang Tionghoa yang dianggap arogan atau sok jago.

Namun sesungguhnya dalam sejarah di Indonesia identitas itu belumlah terlalu lama diperkenalkan dan disebarluaskan. Diduga baru pada awal abad ke-19 identitas yang bernada ejekan atau merendahkan itu digunakan dan ditujukan bagi orang-orang ber-tauchang (kuncir rambut) di era pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Ejekan yang diucapkan oleh orang-orang Eropa itu merupakan bagian dari kampanye bertipikal diskriminasi atau SARA (sosial, agama, rasial) yang merujuk pada masa kekaisaran dinasti Qing/Ching.

Penting untuk diketahui bahwa sampai sebelum keruntuhannya pada awal abad ke-20, semua laki-laki di Tiongkok diwajibkan untuk mempunyai tauchang dengan membayangkan diri sebagai “putra-putra surgawi”. Itulah alasannya mengapa ejekan yang semula diucapkan dengan istilah ”Chink” dapat berkembang secara pesat dengan memakai kata “China, Chinese, Cina, atau Cino”.

Padahal sebelumnya sebutan untuk kaum perantau dari Tiongkok daratan yang bermukim di Hindia Belanda itu beraneka ragam. Ada yang menyebutnya dengan hoakiau (hoa: etnis, kiao: jembatan) yang artinya “agen” Tiongkok di perantauan. Ada pula yang menyebutnya sebagai sengli seperti di Filipina disebut dengan sangley. Bahkan yang menyebut singkek (serapan dari kata “enchek” yang artinya “paman”) atau babah (sebagaimana dikenal di Malaysia dan Singapura) juga ada. Itu artinya, keragaman sebutan yang mencerminkan situasi kehidupan masyarakat yang cukup asimilatif menjadi jaminan bahwa keberadaan orang-orang Tionghoa belum terbagi-bagi secara diskriminatif. [Baca selanjutnya: klik di sini]

Memang benar pada tahun 1740 telah terjadi pembantaian massal terhadap ratusan orang Tionghoa di Batavia (Jakarta). Namun, hal itu tidak menunjukkan bahwa benih-benih anti Cina sudah tertanam seabad sebelumnya. Sebab latar belakang pembantaian itu lebih dipicu oleh masalah persaingan, kecurigaan, intrik dan korupsi di antara sesama pejabat lokal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau perusahaan dagang Hindia Belanda (Budi Susanto, SJ, “Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (Indonesia 1800-1950): Siasat Pengusaha Tionghoa” dalam Penguasa Ekonomi dan Siasat Pengusaha Tionghoa, LSR & Kanisius, 1996).

Maka menarik sebenarnya untuk mengamati mengapa politik identitas Cina masih bertahan hingga kini meski Hindia Belanda sudah berubah menjadi Indonesia. Mendiang Benedict Anderson pernah mengamati bagaimana identitas ketionghoaan di Amerika Serikat selalu berubah dan berkait dengan masalah nasionalisme (New Left Review, May-June 9, 2001). Di tahun 2000 ketika sedang memberi kuliah di Universitas Yale, ia bertanya pada para mahasiswanya tentang kewarganegaraan mereka.

Kebetulan ada tiga mahasiswa Tionghoa yang hadir di situ dan masing-masing memberi jawaban. Yang pertama mengatakan bahwa dia adalah seorang Tionghoa meski lahir di Amerika dan belum pernah pergi ke Tiongkok. Yang kedua mengaku dengan malu-malu bahwa dia adalah warga Taiwan meski orang tuanya berasal dari daratan Tiongkok. Sedangkan yang ketiga justru merasa jengkel dan agak marah karena selalu disangka sebagai seorang Tionghoa padahal dia adalah warga negara Singapura.

Dari situ tampak bagaimana ketionghoaan telah menjadi identitas yang berbeda-beda pada masing-masing warga negara-bangsa (nation-state). Artinya, meski ketiga mahasiswa itu sama-sama berkampung halaman di Tiongkok namun pengakuan diri sebagai orang Tionghoa sudah tidak lagi didasarkan pada perbedaan-perbedaan ciri rasial belaka (mata, sipit, kulit kuning, bernama nonpri).

Tetapi hal itu justru dilandasi oleh pembayangan sebagai suatu bangsa (nation) yang lebih berorientasi pada keber(se)samaannya. Dengan demikian, tak perlu lagi dipersoalkan apakah mereka masih fasih berbahasa ibu, Hakka, Hokkian, Hailam, atau Teochiu misalnya, atau percaya sebagai keturunan “anak dewa surgawi”. Melainkan bahwa di tengah pengalaman hidup masyarakat yang serba plural, orang-orang Tionghoa perantauan masih turut berperan dalam memperkembangkan jejak langkah nasionalisme.

Di Indonesia masa kini, identitas kecinaan sesungguhnya sudah tidak cocok lagi untuk dikenakan pada orang-orang Tionghoa yang telah menghayati dan bekerja sepenuh hati di perantauan. Sebagaimana pernah diungkap oleh seorang jurnalis kenamaan bernama samaran “Tjamboek Berdoeri”, “…Saja dengan djelas terangkan bahwa saja ini orang Indonesia keturunan Tionghoa. Sudah tudjuh turunan keluarga saja ada di sini, lahir di sini, djadi dewasa, anak beranak, tua, mati dan dikubur di sini djuga…Kalau mondok sampai tdjuh turunan, itu sudah tidak bisa dibilang mondok lagi, bukan?” (Arief W. Djati & Ben Anderson (ed.), Menjadi Tjamboek Berdoeri: Memoar Kwee Thiam Tjing, Komunitas Bambu, 2010). Setuju? Mari Menjadi (Tionghoa) Indonesia!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya