SOLOPOS.COM - Sumarno (Istimewa)

Gagasan Solopos, Kamis (18/2/2016), ditulis Sumarno. Penulis adalah dosen Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Solo.

Solopos.com, SOLO — Kondisi pos keamanan lingkungan (poskamling) sebagai salah satu keunikan budaya lokal patut disayangkan karena kini banyak yang mangkrak dan dialihkan fungsinya (Solopos, 1 Februari 2016).

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Ronda berikut sistem dan perangkat di dalamnya merupakan kearifan lokal sebagai metode untuk menciptakan kondisi lingkungan yang tertib dan aman.

Keunikan yang dimaksud mulai dari sistem ronda, sarana (poskamling), berikut alat komunikasi (kenthongan) dan sistem tanda yang terdapat di dalamnya, serta pola penggalangan dana (jimpitan). Ini semua adalah local genius budaya Indonesia.

Poskamling sebagai salah satu bangunan arsitektur adalah sarana untuk mendukung aktivitas ronda. Perlu ditegaskan bahwa tidak semua bangunan mampu mendukung tujuan semula atau malah bisa sebaliknya jadi menghambat.

Ekstremnya bahkan mendorong penggunanya untuk berperilaku negatif. Pertanyaannya mengapa poskamling menjadi semakin terpinggirkan? Sudahkah poskamling mewadahi aktivitas dan kebutuhan masyarakatnya baik secara fisik, sosial, maupun budaya?

Erdy Priharsono melalui esai di Solopos edisi 11 Februari 2016 secara sosiologis menyebutkan fenomena semakin terpinggirnya poskamling adalah akibat pergeseran nilai-nilai sosial budaya masyarakat.

Saya sependapat dengan Erdy, namun sebuah solusi akan menjadi lebih komprehensif apabila diteropong dari berbagai perspektif yang berbeda. Menarik ditelisik adalah adanya beberapa perbedaan dalam menggunakan istilah dan bangunan poskamling yang berbeda-beda.

Sejarah poskamling mengalami perjalanan panjang dan perubahan, waktu sebagai bentuk penyesuian terhadap praktik-praktik sosial dan proyek-proyek politik, maka asal muasalnya menjadi lebih samar lagi (Kusno; 2006, 46).

Hal ini setidaknya tampak dari banyaknya sinonim poskamling, yakni mulai dari pos ronda, gardu pos ronda, dan cakruk, angkruk, atau cangkruk. Kolonialisme memberi kontribusi yang besar bagi pembentukan gardu sebagai politik kuasa dan kekuasaan.

Istilah gardu berasal dari bahasa Prancis garde yang berarti rumah jaga. Istilah ini dikenalkan oleh Daendels (Abidin Kusno; 2006, 231). Istilah poskamling berkembang pada masa Orde Baru sebagai pertahanan semesta untuk mengawasi pihak-pihak yang dianggap mengganggu stabilitas sosial dan juga stabilitas politik (Jhoni Asoy, 2011).

Cakruk, cangkruk, angkruk merupakan istilah lokal (Jawa) yang juga digunakan untuk menyebut poskamling. Penggunaan istilah tersebut di beberapa daerah masih dapat ditemukan, khususnya di daerah perdesaan.

Cakruk atau angkruk memiliki kedekatan arti dan kata dengan kata angkrikan sebagai sesama alat duduk. Perbedaannya adalah angkrikan merupakan fasilitas duduk tanpa atap, sedangkan cakruk merupakan fasilitas duduk beratap yang disertai perlengkapan lainnya.

Minimnya literatur tentang cakruk memunculkan kesulitan mengungkap seluk-beluk cakruk. Adanya tembung wot dalam tata bahasa Jawa merupakan salah satu celah yang dapat digunakan untuk mengupas istilah cakruk.

Tembung wot merupakan rangkaian beberapa huruf, namun bukan sebagai suku kata, dan memiliki makna tertentu (Slamet Z.M; 2014). Sebagai contoh adalah gabungan huruf l-u-r, pada kata alur, galur, sulur, ulur, jalur yang memiliki arti ”yang berhubungan dengan panjang”.

Gabungan huruf k-r-u-k pada kata metungkruk, mangkruk, mungkruk, pungkruk, angkruk, cakruk menunjukkan ”yang berhubungan dengan tinggi”. Angkrikan sebagai alat duduk berasal dari kata angkrik.

Angkrik atau mangkrik dalam Kamus Bahasa Jawa berarti ngadeg, lungguh ana ing papan sing dhuwur (Mangunsuwito, 2008; 16). Akiran –an pada kata angkrikan menyatakan fasilitas atau alat untuk mangkrik (duduk di tempat yang tinggi).

Penekanan cakruk dan angkrikan sebagai alat duduk selain sifatnya publik, out door, dan terbuka adalah pada ketinggian level lantai berupa kolong/panggung. Cakruk sebagai sarana ronda bisa dibandingkan dengan poskamling.

Poskamling umumnya dibangun dengan lantai pelataran, berdinding masif, beberapa bahkan tertutup dan dilengkapi dengan pintu yang berkunci. Kondisinya yang agak tertutup bahkan pernah ada kasus poskamling dimanfaatkan sebagai tempat untuk berbuat mesum.

Kesan yang muncul dari beberapa poskamling bahkan bukan lagi sebagai fasilitas publik yang bersifat komunal namun menjadi eksklusif dan tertutup. Oleh karena itu semakin terpinggirkanya poskamling juga dimungkinkan karena bangunannya.

Cakruk sebagai street furnitur dengan struktur lantai panggung dan dinding terbuka menawarkan dua pola duduk. Pertama, duduk di dalam cakruk dengan posisi sila berikut variasinya. Kedua, duduk di bibir lantai dengan kaki menjuntai ke bawah baik sekadar mampir maupun sebagai pilihan posisi duduk.

Sifatnya yang terbuka menyebabkan tidak ada lagi dikotomi laki-laki perempuan, lintas waktu, aktivitas, usia, profesi. Semua tertampung di dalamnya. Sebagai fasilitas publik membuat anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, polisi, direktur, petani, pedagang, pagi, siang, sore, momong, ngrumpi, santai, berjualan, arisan, main catur, hingga ronda semua tumplek blek di cakruk pada posisi yang egaliter.

Keterlibatan berbagai lapisan dan aktivitas di dalam cakruk, baik yang bersifat alami maupun melalui rekayasa sosial, jelas akan sangat membantu bagi terciptanya keamanan dan tertertiban lingkungan. [Baca selanjutnya: Warisan Leluhur]Warisan Leluhur

Cakruk merupakan satu-satunya jenis bangunan berstruktur lantai panggung di Pulau Jawa yang masih tersisa di tengah-tengah dominasi bangunan dengan lantai pelataran/menyatu dengan tanah.



Menurut kumpulan cerita-cerita tua yang disusun oleh pengembara-pengembara Tiongkok, pada dasarnya dahulu umumnya rumah tradisional di Jawa dibangun dengan struktur lantai kolong/panggung, baik yang didirikan di darat maupun di laut (Frick; 2003, 85).

Kondisi tersebut mengingatkan kita pada gambar atau relief di dinding Candi Borobudur. Atmadi menyatakan (Nugroho; 2009, 282) perubahan struktur kolong menjadi lantai pelataran terjadi pada masa Majapahit era Jawa kuno. Perpindahan struktur dari panggung menjadi menyatu dengan tanah tidak terlepas dari perkembangan material untuk pembangunan pemukiman.

Perkembangan itu adalah ditinggalkanya secara lambat penggunaan unsur nabati (kayu dan bambu) pada masa Majapahit seiring munculnya bahan tembok yang dibuat dari bata dan genting (Lombard; 2008, 314). Hilangnya stuktur kolong di Jawa dan di Bali tidak lepas dari pengaruh kebudayaan Tiongkok dan India (Supandi;  2013, 78).

Perkembangan material dari batu menjadi tanah liat yang dibakar menjadi batu bata, gerabah, dan keramik berpengaruh terhadap pergeseran bangunan dari berlantai panggung menjadi pelataran atau menyatu dengan tanah.

Revitalisasi bangunan dan nama melalui berbagai kajian penting dilakukan seiring adanya pergesaran gaya hidup masyarakat, serta adanya perubahan pola dan bentuk gangguan keamanan. Gangguan kemanan kini semakin beragam dan sulit diprediksi baik terkait waktu, bentuk, motif, dan pelakunya.

Pelaku kejahatan kini tidak hanya orang di luar lingkungan, tidak hanya pada malam hari, tidak hanya pencurian, namun juga terorisme, pencopetan, narkoba, kekerasan terhadap anak, kekerasan seksual, dan sebagainya.

Pendekatan desain sebagai pelengkap pendekatan sosial budaya melalui interaksi, komunikasi, dan partisipasi warga perlu terus digali dan dikembangkan.  Mengembalikan istilah dan bentuk bangunan poskamling menjadi cakruk akan lebih merepresentasikan budaya masyarakat ketimbang kesan intervensi kekuasaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya