SOLOPOS.COM - Ilustrasi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Jumat (26/6/2015), ditulis Beni Sindhunata. Penulis adalah Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency (Inbra).

Solopos.com, SOLO — Pada Selasa (16/6), Petroleos de Venezuela (PDVSA), Pertamina-nya Venezuela, baru mendapat pinjaman US$5 miliar dari Tiongkok yang dikoordinasi Development Bank of China.

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Ini bagian dari paket US$10 miliar yang sudah disetujui awal 2015. Pinjaman ini dipakai untuk meningkatkan produksi minyak Venezuela yang memasok 96% penghasilan devisa bagi negara ke-4 terbesar (secara PDB) di Amerika Latin ini.

Dalam satu dasawarsa ini Tiongkok sudah menginvestasikan US$46 miliar (10,5% PDB) di industri perminyakan Venezuela yang akan dilunasi dengan pasokan minyak jangka panjang untuk Tiongkok.

Ini contoh kasus terbaru dari pola investasi oleh perusahaan Tiongkok (FDI outflow). Lima bulan pertama 2015, FDI dari Tiongkok mencapai US$45,4 miliar, naik 47,5% dari tahun lalu.

Pada 2013, investasi oleh perusahaan multinasional Tiongkok ke pasar global naik 15% menjadi US$101 miliar, termasuk transaksi terbesar ketika CNOOC mengakuisisi Nexen (2013), perusahaan minyak asal Kanada.

Ini menempatkan Tiongkok sebagai investor ketiga terbesar setelah Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Dari mengalirnya ratusan miliar  dolar AS investasi tersebut, Indonesia hanya kebagian sedikit, jauh dari angka komitmen sejak 2013 oleh elite tertinggi Tiongkok.

Terakhir, saat kunjungan tiga hari Presiden Joko Widodo ke Tiongkok dan Jepang (22-28 Maret 2015) menghasilkan komitmen investasi US$74 miliar atau sekitar Rp962 triliun.

Yang senilai US$68 miliar merupakan komitmen dari Tiongkok, sedangkan investor Jepang (Toyota) telah berkomitmen berinvestasi US$20 miliar.

Ini sebuah janji besar dengan berbagai megaproyek yang diharapkan menyerap banyak tenaga kerja dan tentu saja target orientasi ekspor penghasil devisa.

Dua tahun sebelumnya (Oktober 2013), Presiden Tiongkok Xie Jin Ping yang berkunjung ke Jakarta juga sepakat akan meningkatkan perdagangan bilateral Indonesia-Tiongkok dari US$35 miliar (September 2013) menjadi US$80 miliar pada 2015.

Nilai itu setara dengan 16% dari total perdagangan multilateral ASEAN-Tiongkok senilai US$500 miliar yang targetnya jadi US$1 triliun (2020), di samping adanya rencana investasi 21 proyek senilai US$28,2 miliar.

Janji puluhan megaproyek miliaran dolar AS itu belum tentu semuanya bisa terealisasi tepat nilai dan tepat waktu. Dari rekam jejak realisasi investor di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tingkat realisasi investor Tiongkok hanya 10% dan investor Jepang 65%.

Tingkat realisasi investasi secara menyeluruh berkisar 40%—50%. Untuk memenuhi target  investasi nasional Rp3.500 triliun, BKPM harus  menerbitkan izin investasi sekitar Rp7.000 triliun (2015-2019) atau rata-rata Rp1.400 triliun per tahun.

Ini sebuah tugas berat di tengah persaingan merebut FDI yang semakin ketat. Kini, dua tahun setelah kunjungan Xie Jin Ping, per Januari-Mei 2015 total transaksi ekspor-impor antara Indonesia-Tiongkok baru mencapai US$17,4 miliar, seperlima total perdagangan kedua negara, atau baru seperlima dari rencana dua tahun lalu.

Sebesar 12% ekspor kita dibeli oleh Tiongkok dan mendapat devisa US$5,4 miliar. Sebaliknya, Indonesia juga mengimpor US$12 miliar dari Tiongkok, yang memasok 30% total  impor. Indonesia masih defisit US$6,6 miliar. Itu dari sisi perdagangan.

Dari sisi investasi menunjukan lima tahun terakhir (2010—Maret 2015), BKPM mengeluarkan izin persetujuan investasi kepada investor Tiongkok dengan nilai investasi US$1.377 juta.

Ini hanya 5% dari total nilai investasi yang masuk ke BKPM selama periode yang sama. Sebagian proyek sudah mulai dilaksanakan, di antaranya di industri elektronik,  pertambangan bauksit, nikel dengan smelternya. [Baca: Komitmen Rendah]

 

Komitmen Rendah
Perkembangan terakhir ini menunjukan bahwa komitmen korporasi Tiongkok memang lebih rendah dibanding rata-rata sehingga Indonesia tidak bisa mengandalkan komitmennya walaupun Tiongkok pemilik dana terbesar kedua.

Korporasi multinasional dan kecil menengah Tiongkok akan menginvestasikan puluhan miliar US$ ke sektor yang mereka anggap penting dan strategis sepanjang sesuai dengan strategi jangka panjang perekonomian negara mereka.

Tiongkok juga disebut sebagai ”hungry country” yang sedang haus dan lapar untuk terus membeli, mengimpor, dan mengolah sumber daya alam strategis (minyak, batu bara dan mineral) untuk cadangan dan kebutuhan menggerakan industri domestik.

Dengan strategi ini tidak perlu heran kalau korporasinya yang dimotori oleh trio badan usaha milik negara sektor minyak dan gas, yaitu Cinopec, CNOOC, dan CNPC terus aktif mengakuisisi langsung atau membiayai  investasi sumber daya alam dengan kontrak jaminan penyerahan komoditas jangka panjang.

Di Australia, Afrika, sampai Amerika Latin mereka terus menggali sumber energi minyak dan gas dan aneka mineral pertambangan, termasuk investasi di infrastruktur dan di proyek LNG Tangguh untuk Indonesia.



Promosi, perbaikan pelayanan, dan prosedur administrasi di BKPM sudah lebih baik terlebih dengan pelayanan terpadu satu atap (PTSP) untuk mengurus 134 perizinan dari 1.249 bidang usaha di 19 kementerian dan lembaga negara.

Dua kendala penting justru tidak bisa diatasi hanya dari Jl. Gatot Subroto, yakni menyangkut ketersediaan perlistrikan dan masalah pertanahan, yang harus dapat diselesaikan.

Belum lagi masalah logistik dan kepabeanan terutama dwelling time yang diributkan Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu. Melemahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini yang diperkirakan sekitar 6% tentu akan memengaruhi perdagangan dan arus investasi ke Jakarta.

Tentu ini perlu disikapi dengan tetap meningkatkan promosi ke pusat investor di wilayah-wilayah baru, seperti rencana kerja sama promosi investasi antara BKPM dengan Bank of China di Kota Zhejiang (kawasan Yang Tze River Delta) dan Fujian (kawasan Greater Pearl River Delta).

Ini dua kota yang dibanjiri produsen elektronik asing dan domestik karena memiliki daya tarik dan daya saing tinggi. Langkah ini membuka potensi untuk kerja sama atau menjadi bagian dari jaringan skala Asia dan global untuk memproduksi komponen elektronik dengan target ekspor US$64,3 miliar pada 2020.

Triwulan pertama tahun ini ada yang sudah membangun pabrik di Jawa Barat. Untuk skala megaproyek, ini peluang untuk mengajak investor Tiongkok ikut proyek infrastruktur di maritim tol laut.

Dengan dinamika pertumbuhan ekonomi dan industri serta pola konsumsi US$1,3 miliar ”super consumer” Tiongkok maka promosi investasi ke Tiongkok tetap harus berlanjut.

Sementara itu, kita juga harus memahami tingkat realisasi investasi Tiongkok tidak lebih dari 10% sehingga jangan berekspektasi terlalu tinggi kepada segudang komitmen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya