SOLOPOS.COM - Mulyanto Utomo mulyanto.utomo@solopos.co.id Wartawan Solopos

Mulyanto Utomo mulyanto.utomo@solopos.co.id Wartawan Solopos

Mulyanto Utomo
mulyanto.utomo@solopos.co.id
Wartawan Solopos

 

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Komunitas jagongan di kampung saya Minggu kemarin mengadakan pertemuan agak formal karena suasananya masih terasa Lebaran. Kami berkumpul, menggelar silaturahmi, ajang berkomunikasi antartetangga. Hanya saja kali ini tidak seperti biasanya, tidak berdiskusi tentang persoalan yang berat-berat.

”Kali ini kita bicara soal yang adem-adem saja ya, Denmas, yang ringan-ringan. Misalnya tentang kesabaran,” kata Mas Wartonegoro kepada kawannya, Raden Mas Suloyo.

”Wah cocok. Kita ini kan habis digembleng selama sebulan berpuasa, salah satunya kan memang berhubungan dengan soal melatih kesabaran,” jawab Denmas Suloyo.

”Setelah saya pikir-pikir, semua kebaikan itu memang hulunya pasti karena kesabaran. Segala bentuk aktivitas jika dilakukan dengan kesabaran pasti akan sampai pada tujuannya. Tetangga kita yang baru saja mudik dari Jakarta itu, misalnya. Bayangka dia naik sepeda motor ratusan kilometer. Kalau tidak sabar pasti tidak bisa sampai tujuan,” kata Mas Wartonegoro.

”Ya betul. Negeri kita ini membutuhkan orang-orang sabar. Tidak grusa-grusu, tidak terburu-buru untuk mencapai keinginan mereka. Sebentar lagi musim pemilu, pasti banyak orang tidak sabaran… Ingin segera terpilih menjadi wakil rakyat, ingin terpilih menjadi pejabat terpandang, ingin segera menjadi presiden… Padahal belum saatnya,” papar Denmas Suloyo

”Masalahnya adalah kapan seseorang itu sudah sampai pada ’saatnya’  untuk mengakhiri masa kesabarannya itu Denmas?” timpal Denmas Suloyo.

”Nah itulah persoalannya. Banyak orang yang tidak tahu kapan harus bersabar dan kapan waktu yang tepat menggapai tujuan, memutuskan saatnya untuk bertindak,” kata Mas Wartonegoro.

Bagitulah. Bagi saya, walaupun antara kesabaran dengan keputusan melakukan sesuatu demi mencapai tujuan itu sesungguhnya tidak berkorelasi secara langsung, namun keduanya membutuhkan kecerdasan religiositas.

Mengutip pendapat seniman-budayawan Emha Ainun Nadjib, religiositas sesungguhnya adalah rasa rindu, rasa ingin bersatu, rasa ingin berada bersama  dengan sesuatu yang abstrak. Sesuatu yang abstrak ialah yang berada di luar penguasaan ruang pikiran, rasa, dan hati. Ia abstrak, tetapi ada secara amat riil sehingga justru terasa paling konkret.

”Jangan sebut religiositas itu dengan umpamanya ’rasa keagamaan’ untuk tidak mengasosiasikan kepada agama-agama secara formal. Pada hakikatnya tidak hanya pemeluk-pemeluk agama saja yang memiliki religiositas. Seperti juga bukan hanya pemeluk-pemeluk agama saja yang bisa taat kepada Tuhannya,” papar Cak Nun dalam salah satu tulisannya di koran nasional beberapa tahun lalu.

Artinya setiap insan sesungguhnya secara fitrah telah memiliki rasa religiositas, merindukan sesuatu yang abstrak namun teramat konkret sebab bukti-bukti eksistensi dan keberadaanya itu ada di sekitarnya. Untuk mencapai suasana kesadaran seperti itu diperlukan sikap sabar, ikhlas, dan damai yang senantiasa terjaga.

Religiositas dimiliki siapa saja, rakyat jelata, karyawan, pejabat, elite politik, atau presiden sekalipun. Hanya dengan kesabaranlah, religiositas itu mampu mewujudkan sebuah akhir keberhasilan yang membahagiakan.

Buah kesabaran dan religiositas itu pula yang membawa Ammar Mustafa, seorang pekerja asal Sudan yang selama lima tahun terlunta-lunta, akhirnya menemukan sebuah akhir yang bahagia. Cerita ini saya peroleh dari kawan saya yang dikirimkan lewat Blackberry Messenger (BBM) baru-baru ini.

Ammar Mustafa yang berkulit hitam ini bekerja di sebuah proyek pembangunan hotel di Riyadh, Saudi Arabia. Lima tahun silam, Ammar datang dengan tangan kosong. Dia nekat meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Doa Ammar untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik demi keluarganya belum juga terkabul.

Ammar seperti terjerat di belantara Kota Riyadh. Namun, ia bertekad membawa perubahan bagi keluarganya di Sudan. Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, sekalipun harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya.

 

Bilal

Di tahun kelima ini ia sudah tidak lagi tahan. Lima tahun berpindah-pindah kerja dan menumpang di rumah teman-temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah. Ia akhirnya memutuskan pulang ke Sudan. Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa. Hanya dengan keyakinannya bahwa itulah jalan yang dipilihkan Tuhan. Ia pun pulang.

Ia menceritakan keinginannya untuk pulang kepada teman terdekatnya. Teman baik Ammar memahaminya. Ia memberinya sejumlah uang untuk membeli tiket penerbangan ke Sudan. Ia pergi ke sebuah agen perjalanan, membeli tiket. Sayang, semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu itu susah didapat, karena konflik di Libya, negara tetangganya. Akhirnya ia membeli tiket untuk penerbangan pekan berikutnya.

Sempat kebingungan, akhirnya Ammar menumpang tidur di sebuah masjid. Saat Subuh dia bangun paling awal. Ammar akhirnya menjadi muazin. Ia mengumandangkan suara indahnya. Keindahan suaranya justru membuat pengurus mesjid itu menugasinya untuk selalu berazan. Azannya yang khas rupanya menarik perhatian salah seorang pangeran putra Raja Saudi Arabia di kota itu yang terpanggil salat Subuh berjemaah di masjid itu.

Sepekan berlalu, dia pun harus pulang ke Sudan sesuai tiket pesawat yang telah dipesan. Pukul 03.00 dia harus buru-buru ke bandara karena pesawat berangkat pukul 05.00. Pada saat Ammar duduk di ruang tunggu di bandara, ia dikejutkan dengan panggilan lewat pengeras suara bandara. Sejumlah petugas menemuinya dan kemudian membawa Ammar.  ”Pangeran memanggilmu,” kata penjaga itu.

Singkat cerita, Sang Pangeran menyambut Ammar di istananya. Sang Pangeran rupanya merasa kehilangan suara merdu azannya Subuh tadi. ”Aku sudah tahu cerita tentang keluargamu di Sudan. Pulanglah, temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah tiga bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah bilal di masjidku, dan hiduplah bersama kami di istana ini,” kata Sang Pangeran. Itulah religiositas dan buah kesabaran…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya