SOLOPOS.COM - Benni Setiawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (1/7/2015), ditulis Benni Setiawan. Penulis adalah dosen Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Peneliti Maarif Institute.

Solopos.com, SOLO — Lampu reshuffle kabinet semakin terang. Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (29/6) meminta pendapat kepada Buya Syafii Maarif terkait hal tersebut. Kedatangan Buya semakin menguatkan rencana Jokowi untuk merombak jajaran pembantunya.

Promosi Mali, Sang Juara Tanpa Mahkota

Beberapa pengamat menyebut reshuffle terbatas kali ini untuk kementerian ekonomi. Perombakan kementerian ekonomi ini juga ditandai dengan kedatangan Tony Prasetiantono, ekonom dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan sejumlah ekonom lainnya. Namun, apakah reshuffle kali ini akan “berdampak sistemik” bagi perubahan kondisi bangsa yang terseok?

Rencana reshuffle Kabinet Kerja tampaknya telah menjadi menu wajib media massa. Perkembangan setiap detik mengenai menteri-menteri yang kurang cakap bekerja pun disajikan dengan terbuka, tanpa tendensi. Pengurus partai politik pun mulai memasang strategi untuk menyelamatkan menteri-menteri mereka di kabinet. Pimpinan partai pun telah berujar, “Menteri kami aman.”

Wacana memasukkan unsur menteri dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat pun semakin mengemuka. Menarik dua politikus dari Koalisi Merah Putih (KMP) tersebut dapat dimaknai Jokowi ingin membangun kekuatan baru selain dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Evaluasi terhadap menteri ini sudah menjadi janji atau komitmen Jokowi sejak lama. Jokowi konon membuat kesepakatan dengan menteri terpilih untuk siap dicopot jika tidak mampu menjalankan tugas dengan baik. Bahkan menteri diminta membuat laporan tertulis dua halaman sebagai bukti kinerja. [Baca: Berikan Bukti, Bukan Janji]

 

Berikan Bukti, Bukan Janji
Namun, Jokowi masih terlihat ragu. Jika menilik hasil kabinet, masih banyak kita dapatkan menteri-menteri yang belum pas pada posisinya. Presiden masih kurang berani untuk mengambil langkah tegas. Hasilnya sudah dapat kita tebak hanya memberi kepuasan terhadap para pendukungnya. Tidak lebih dari itu.

Posisi menteri masih sebatas memberi jatah kepada pendukung, tim sukses, dan partai pendukung. Di sisi lain, menteri yang sedang “bermasalah” baik secara pribadi dengan Presiden dan bukan merepresentasi partai pun mulai disorot media. Desakan masyarakat agar menambah unsur profesional tampaknya sulit untuk diwujudkan di tengah semakin derasnya desakan dari parpol pendukung.

Lebih lanjut, dalam beberapa bulan berjalan pun banyak menteri yang belum dapat bekerja maksimal. Menteri-menteri dari hasil “kompromi” politik ini belum mampu menunjukkan kinerja dengan baik untuk rakyat. Menteri masih sekadar bekerja untuk pencitraan. Bahkan, ada menteri yang “menyerobot” pekerjaan kementerian lain. Menteri belum mampu memberikan kerjanya secara maksimal untuk rakyat. Menteri seakan masih mencari celah guna mengikuti gaya Sang Presiden.  Padahal, selayaknya menteri mampu memberikan bukti kerja, bukan sekadar janji bekerja. [Baca: Manajer-Pelatih]

 

Manajer-Pelatih
Guna mengefektifkan kinerja menteri, meminjam bahasa Riswanda Immawan (2007), dalam hal reshuffle Presiden harus menunjukkan dirinya mampu menjadi pemimpin bangsa ini. Ia harus berani keluar dari tekanan. Ibarat tim sepak bola, Jokowi adalah manajer-pelatih. Dia menentukan strategi dan pemain yang pas untuk memainkan strategi itu. Bila terjadi kiper dimainkan sebagai penyerang atau memakai dua pemain yang saling tidak menyukai, itu salah pelatih, bukan pemainnya.

Menempatkan orang dalam posisi yang tepat akan mendorong laju perubahan bangsa. Bangsa akan gumregah bangkit dari berbagai persoalan yang kunjung usai.

Jokowi sebagai pemegang kendali selayaknya mampu mengarahkan (baca: memberi teladan) kepada para menterinya. Sebagai komandan—meminjam istilah M. Amien Rais—Jokowi adalah orang pertama yang disalahkan jika perjalanan Kabinet Kerja tidak berjalan efektif. Komandan pun bertanggung jawab penuh terhadap hasil kinerja prajuritnya. Jika prajurit berkinerja jelek, tentu komandan tak akan mampu mengelak dari hasil tersebut.

Lebih lanjut, mengefektifkan perjalanan sebuah bangsa memang menjadi tanggung jawab bersama. Akan tetapi, yang mempunyai otoritas pertama adalah Presiden sebagai mandataris rakyat. Ketika Presiden tidak mampu memberikan sesuatu yang baru dalam mengubah pola kerjanya, akan terjadi pengulangan-pengulangan kerja yang tidak perlu. Lebih lanjut, tidak mustahil bangsa ini menuju kehancuran.

Kehancuran bangsa ini tentunya bukanlah yang kita inginkan. Kita ingin bangsa ini kembali menjadi negeri subur makmur gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja sarwa thukul kang tinandur, negeri adil, subur makmur, tumbuh darinya apa yang ditanam.

Maka yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen pemimpin bangsa untuk bekerja keras, kalau perlu banting setir mengubah haluan. Bukan hanya berdoa dan berjanji namun juga usaha nyata.

Maka dari itu momentum reshuffle kabinet kali ini bukan hanya menjadi agenda rutin dan komoditas politik. Namun, reshuffle sebagai langkah awal untuk memperbaiki keadaan, kinerja, dan komitmen menyejahterakan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana amanat Pancasila dan UUD 1945.

Jika reshuffle kali ini hanya digunakan sebagai alat menaikkan bargaining position (posisi tawar) kelompok atau golongan tertentu, perubahan tidak akan pernah kunjung menyapa Bangsa Indonesia. Akhirnya, rakyat akan semakin menderita dan pejabat bergelimangan kemewahan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya