SOLOPOS.COM - Bandung Mawardi (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Senin (3/8/2015), ditulis Bandung Mawardi. Penulis adalah pengelola Jagat Abjad Solo.

Solopos.com, SOLO — Di toko buku berslogan diskon di Kota Solo, ada tatanan buku-buku baru. Saya melihat buku berwarna hijau! Buku itu roman berjudul Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan dan diterbitkan oleh Bentang.

Promosi Ijazah Tak Laku, Sarjana Setengah Mati Mencari Kerja

Di atas judul dan gambar kambing ada keterangan: Pemenang I Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta. Wah, roman ini tentu patut diduga keren! Di bawah judul ada komentar pendek dari Ahmad Syafii Maarif, tokoh Muhammadiyah: Novel yang sangat menarik dan mengalir, enak dibaca.

Tokoh bijak itu membaca roman dan memberi pujian? Di sampul belakang ada komentar pendek Hairus Salim, cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU): Benilai sastrawi sekaligus dokumentasi sosial yang berharga.

Ah, saya tentu ingin membuktikan bahwa Kambing dan Hujan adalah bacaan menarik, mengalir, enak, sastrawi, dan berharga. Roman Kambing dan Hujan memang tak usai jadi renungan.

Roman ini hadir berbarengan pemuatan berita dan artikel mengenai NU dan Muhammadiyah di pelbagai koran. Halaman demi halaman roman terus saya lewati. Pembaca bisa tergoda! Barangkali Kambing dan Hujan adalah bacaan mujarab tentang “rekonsiliasi” menjelang hajatan besar muktamar NU di Jombang dan muktamar Muhammadiyah di Makassar.

Setelah saya baca, kehadiran komentar Ahmad Syafii Maarif mulai bisa saya pahami. Roman ini memang bercerita tentang gerakan pembaruan di desa bertanah mayoritas tegalan bernama Centong. Gerakan itu bercap Muhammadiyah. Penggeraknya adalah kaum muda. Mereka bertentangan dengan kaum tua.

Gejolak dan sengketa sering terjadi akibat perbedaan dalam pemahaman dan praktik agama. Mahfud Ikhwan menceritakan pelbagai daftar sengketa di Desa Centong berdalih persaingan ”kebenaran” meski cenderung bercorak organisasi, keluarga, dan asmara ketimbang agama.

Di desa berbasis kaum tradisional, kaum muda menginginkan ada pembaruan demi kemajuan. Ambisi itu sering “menabrak” anutan sejarah, identitas kultural, dan tata sosial di Desa Centong.

Sejarah NU dan Muhammadiyah disajikan secara apik dan impresif berlatar Desa Centong tapi representatif menguak arus sejarah dan perkembangan dua organisasi kemasyarakatan besar di Indonesia itu. Pengisahan melalui sastra memungkinkan pembaca tak lekas membuat konklusi dan pamer argumentasi.

Mahfud Ikhwan bermula menceritakan pertemuan dua insan: Miftah dan Fauzia. Dua tokoh itu berpendidikan tinggi. Miftah menjalani studi di Jogja. Fauzia berkuliah di Surabaya.

Dua orang itu berasal dari Desa Centong di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Desa bertanah mayoritas tegalan itu  berhasil memiliki generasi penerus berilmu tinggi. Mereka pulang kampung membawa ijazah dan bergelar sarjana. Kepulangan alias kembali menghuni Centong juga ditentukan jalinan asmara bergelimang dilema.

Pembaca disuguhi godaan awal saat menikmati bab-bab asmara Miftah-Fauzia. Mereka dipertemukan di bus tapi harus bergerak kencang ke masa lalu. Laju bus tentu tak sekencang sejarah di Centong. Miftah adalah anak Pak Kandar, tokoh pembaruan bercap Muhammadiyah dan pengurus Masjid Utara.

Fauzia itu anak Pak Fauzan, tokoh berwibawa bercap NU dan pengurus Masjid Selatan. Buaian asmara mengantar dua insan membuka halaman-halaman sejarah ruwet di Centong, bertokoh Pak Kandar dan Pak Fauzan. Asmara berada dalam jebakan sengketa paham agama dan biografi dua tokoh berpengaruh di Centong.

Wah, asmara justru jadi pembuka untuk penjelasan-penjelasan tentang NU-Muhammadiyah. Mahfud Ikhwan tampak lihai mengajukan Kambing dan Hujan sebagai roman NU-Muhammadiyah. Saya berharap roman itu bakal beredar dalam dua hajatan besar NU di Jombang dan Muhammadiyah di Makassar.

Saya juga mengandaikan ada acara obrolan roman, mengundang para pembahas dari NU dan Muhammadiyah. Bermula dari roman, para tokoh diharapkan bercerita tentang segala hal bermisi toleransi dan harmoni berkonteks Indonesia.

Roman bisa menjadi bacaan bersama, menggenapi kemunculan buku-buku bertema NU dan Muhammadiyah. Miftah-Fauzia saling mencintai tapi terhalang “permusuhan” panjang antara NU-Muhammadiyah.

Mereka harus bisa berhadapan paling awal dengan dua bapak sebagai tokoh utama di Centong. Ikhtiar mendapat restu perlahan membuka pelbagai lembaran buram untuk dibeningkan dan dimengerti secara bijaksana. [Baca: Rekonsiliasi]

 

Rekonsiliasi
Asmara itu menuntun ke rekonsiliasi, menepikan dendam dan sengketa selama puluhan tahun di Centong. Ikhtiar tak gampang. Miftah-Fauzia menanggung frustrasi. Dua bapak dan para tokoh berbeda paham juga saling sewot.

Restu tak segera diberikan meski doa-doa terus dipanjatkan dan siasat dialog sudah dijalankan dengan pelbagai cara. Asmara itu harus menembus tembok ”permusuhan” NU-Muhammadiyah.

Kita sejenak ingin mengerti NU-Muhammadiyah melalui penjelasan-penjelasan sejarah, bermaksud mendapat bekal dalam menafsir roman. Ahmad Syafii Maarif dalam buku berjudul Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2015) menghadirkan uraian tentang pendidikan di NU dan Muhammadiyah.

Sejarah Muhammadiyah bermula dengan agenda pendidikan. Pengesahan dalam anggaran dasar terjadi pada 1943. Selama puluhan tahun, organisasi bertokoh Ahmad Dahlan itu terus memajukan pendidikan bercorak modern, dari taman kanak-kanak (TK) sampai universitas.

Sejarah pendidikan di NU memusat ke pesantren bercorak tradisional. Institusi ini ada di Nusantara sejak ratusan tahun silam. Kesadaran membentuk institusi dan pemberlakuan sistem pendidikan modern diwujudkan meski terlambat ketimbang Muhammadiyah.

Penggamblangan misi pendidikan diputuskan di muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984: Orientasi pendidikan di kalangan NU harus ditata kembali dengan mengembangkan cara baru yang tepat guna mengukur kemampuan anak didik dalam melakukan kerja nyata kemanusiaan dan kemasyarakatan…

Di Centong, Pak Kandar cuma lulusan Sekolah Rakjat dan Pak Fauzan pernah belajar di pesantren di Jombang meski tak lama. Mereka menambahi pengetahuan agama dengan membaca kitab-kitab. Heroisme dimiliki Pak Kandar. Pada usia 15 tahun, Kandar menjual dua ekor kambing demi bisa membeli kitab-kitab.

Kejadian pada masa 1960-an itu berubah pada masa 1990-an. Pak Kandar dan Pak Fauzan memberi hak kepada Miftah dan Fauzia mencari ilmu sampai ke perguruan tinggi di kota. Pendidikan menjadi pangkal perbedaan dan persamaan dalam laju perkembangan NU dan Muhammadiyah.

Mahfud Ikhwan sengaja bercerita tentang persaingan NU-Muhammadiyah berwujud keberadaan dua masjid dan dua madrasah. Di dua masjid, tata cara ibadah tentu berbeda. Di dua madrasah, jumlah murid dan kualitas pengajaran juga berbeda.

Pak Kandar dan Pak Fauzan adalah hasil pendidikan lama. Mereka mulai dihadapkan pada hasil pendidikan mutakhir, memunculkan Miftah-Fauzia sebagai representasi generasi baru.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Buya HAMKA) mungkin membahasakannya sebagai ”angkatan baru” yang mendobrak tata kehidupan lama dengan gagasan dan aksi mengejutkan atau mengguncang.

HAMKA memang harus disinggung mengacu pada kegandrungan Pak Fauzan membaca teks-teks sastra gubahan ulama dan sastrawan bercap Muhammadiyah itu. Puluhan tahun telah berlalu, Pak Kandar dan Pak Fauzan adalah kaum tua.

Dulu, mereka pernah menjadi kaum muda melawan kaum tua. Perlawanan berlanjut oleh Miftah-Fauzia melawan dua tokoh dari masa lalu. Perlawanan beradab demi rekonsiliasi dan harmoni.

Nostalgia mesti dibuka agar jalinan asmara Miftah-Fauzia sampai ke pelaminan. Dulu, Kandar dan Fauzan saat masih bocah adalah sahabat. Mereka suka menggembala kambing bersama. Benih-benih perpisahan muncul saat Fauzan menjalani pendidikan di pesantren di Jombang.



Kandar tetap tinggal di Centong, menggerakkan agenda-agenda pembaruan berdalih agama. Tahun demi tahun, pemahaman agama dua tokoh itu mulai berseberangan. Perbedaan semakin disahkan melalui perbedaan masjid dan cap organisasi.

Mereka bertumbuh dewasa, semakin memiliki pelbagai pertentangan. Kandar mendirikan Masjid Utara dan mengelola madrasah bercap Muhammadiyah. Fauzan pulang dari pesantren menjadi tokoh di Masjid Selatan dan mengurusi madrasah bercap NU.

Arus sengketa sulit diredakan dan didamaikan, memicu pelbagai dendam dan keresahan di Centong. Sejarah buram itu perlahan mendapat ”koreksi” akibat jalinan asmara Miftah-Fauzia. Hari demi hari, doa dan ikhtiar dua sejoli itu menemukan capaian.

Deretan konflik mempertemukan Pak Kandar dan Pak Fauzan. Mereka mulai insaf, bersepakat memberi restu. Kesepakatan itu berpengaruh pada penduduk Centong, tak harus terus bertentangan sengit demi kebesaran organisasi.

Hajatan pernikahan Miftah-Fauzia menjadi peristiwa pertemuan kembali, ekspresi harmoni, dan kehangatan sesama umat Islam meski berbeda organisasi. Para tokoh hadir bersama saling bersapa dan bercengkerama.

Pernikahan Miftah-Fauzia mencipta sejarah baru di Centong. Mereka tak membawa dendam lama. Mereka pun tampil sebagai angkatan baru melalui pendidikan berjenjang tinggi, pemahaman kebangsaan, dan kesadaran kritis atas eskpresi keberagamaan.

Roman berjudul Kambing dan Hujan gubahan Mahfud Ikhwan membuat saya terharu. Roman itu menambahi daftar bacaan berkaitan tema agama dalam suguhan teks sastra. Dulu, para pembaca sastra tentu mengingat teks-teks Buya HAMKA, novel berjudul Pergolakan garapan Wildan Yatim, teks-teks sastra gubahan A.A. Navis, dan  karya sastra garapan Kuntowijoyo.

Kehadiran Kambing dan Hujan terkesan sengaja mengiringi arus perkembangan pemikiran agama termutakhir. Roman berkemungkinan memicu kesadaran atas kebermaknaan NU dan Muhammadiyah di Indonesia dalam pelbagai agenda agama, pendidikan, sosial, kebangsaan, kultural, ekonomi, dan kemanusiaan.







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya