SOLOPOS.COM - Didik G. Suharto (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Selasa (6/10/2015), ditulis Didik G. Suharto. Penulis adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Kepala Program Magister Administrasi Publik Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Tahap demi tahap menuju pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada 9 Desember telah dilaksanakan. Pelaksanaan pilkada yang diikuti  269 daerah (kabupaten, kota, provinsi) di Indonesia itu saat ini memasuki tahapan kampanye.

Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus

Kita menyelenggarakan pilkada langsung sejak 2005. Pilkada kali ini belum memperlihatkan peningkatan kualitas yang signifikan. Hingga tahapan sekarang, secara umum penyelenggaraan pilkada masih menunjukkan kecenderungan memprihatinkan.

Persoalan utama ialah masih merebak dan tumbuh suburnya semangat pragmatisme di segenap stakeholders pilkada. Kentalnya warna-warna pragmatisme dalam pemilihan umum (pemilu) anggota legislatif lalu tampaknya masih berlanjut sampai dengan pilkada sekarang.

Pragmatisme tidak hanya rentan menghinggapi peserta pilkada atau partai politik, tapi juga masyarakat dan penyelenggara pilkada (Komisi Pemilihan Umum dan Panitia Pengawasa Pemilihan Umum ). Politik (baca: pilkada) lebih dipahami sebagai ajang berebut atau mempertahankan kekuasaan semata, bukan memperjuangkan sisi filosofis dari politik/pilkada itu sendiri.

Pemahaman dan orientasi yang demikian sempit tentu mengerdilkan makna sesungguhnya dari pilkada. Jika pilkada hanya meributkan soal ”menang atau kalah”, capaian hakikat demokrasi kita masih perlu dipertanyakan. Apalagi bila upaya untuk meraih kemenangan tersebut melalui langkah-langkah penghalalan segala cara. [Baca: Memprihatinkan]

 

Memprihatinkan
Beberapa fenomena memprihatinkan dapat diidentifikasi dalam tulisan sederhana ini. Pertama, persoalan elitisme pilkada. Fase-fase penting pilkada pada kenyataannya sering hanya menjadi ”hak” eksklusif elite.

Apabila kita sepakat bahwa pilkada adalah bentuk riil demokrasi yang berarti ”dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” maka pilkada semestinya harus merakyat. Pilkada tidak boleh menjadi proses yang serba elitis, terlebih kalau  output (kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih) juga ”asing” di hati rakyat.

Awal proses elitis pilkada terlihat saat perekrutan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah oleh partai politik (parpol). Parpol cenderung tertutup saat menentukan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang akan diusung.

Tidak aneh jika kemudian beredar beragam spekulasi di masyarakat terkait calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang diusung parpol, seperti adanya isu mahar politik atau istilah lain untuk menunjuk adanya ongkos kendaraan parpol.

Artinya, calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah lebih condong muncul dari keinginan dan desain para elite daripada tumbuh alami kehendak dari bawah (grass roots).

Terbatasnya akses masyarakat sehingga masyarakat menjadi pelaku pasif dalam demokrasi semakin diperparah jika saluran/mekanisme yang tersedia tidak cukup memberikan keleluasaan bagi mereka, misalnya akses publik untuk mendapatkan informasi tentang figur, latar belakang, track record, dan visi serta misi calon kepala daerah.

Desain kampanye, dialog (debat) terbuka, atau sosialisasi  calon kepala daerah yang tidak tepat ikut berkontribusi menjauhkan publik dengan pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Dalam konteks semacam ini, pemilih seakan-akan ”dipaksa” menjatuhkan pilihan saat di tempat pemungutan suara (TPS) kepada calon-calon kepala daerah dan calon-calon wakil kepala daerah yang sangat mungkin tidak mereka pahami dengan baik.

Fenomena memilih kucing dalam karung menjadi sulit dielakkan. Pilihan pemilih kian ”bermasalah” seandainya money politic ikut memperkeruh referensi pemilih. Kedua, realitas praktik curang dalam pilkada. Dugaan kecurangan terlihat mulai menggejala dalam tahapan pilkada serentak tahun ini.

Di beberapa daerah, kecenderungan politisasi birokrasi tampak jelas. Birokrasi yang seharusnya netral, independen, dan mengayomi semua pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah tidak jarang justru menunjukkan keberpihakan atau bahkan aktif memobilisasi.

Ironisnya, perilaku yang mencoreng netralitas birokrasi tersebut dilakukan oleh sebagian orang/pejabat dengan terang-terangan dan seolah-olah tanpa merasa bersalah walaupun dalam peraturan perundang-undangan secara tegas melarang laku demikian.

Ketegasan aturan antara lain sebagaimana tercantum dalam UU No. 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan PP No. 53/2010 tentang Disiplin PNS. Di bagian lain, indikasi kasus pelanggaran kampanye semakin marak terjadi.

Dugaan adanya alat peraga kampanye (APK) liar, fabrikasi APK (penggandaan APK di luar yang diproduksi KPU), kampanye di luar jadwal, pelibatan birokrasi dalam kampanye, dan penggunaan APK yang dilarang Panwaslu terjadi secara masif di berbagai daerah. Parahnya, perilaku semacam itu terjadi terkesan tanpa ada aturan yang mampu mencegahnya. [Baca: Komitmen]

 

Komitmen
Ketiga, lemahnya eksistensi pihak berwenang dalam pilkada. Implikasi negatif dari kelemahan maupun kemungkinan kecurangan dalam pilkada semakin berlipat bila mana pihak-pihak yang sebenarnya berperan dalam mendesain dan menegakkan aturan tidak mampu berbuat optimal.

Contoh, pilkada berpeluang hanya menjadi ritual lima tahunan tanpa ada kualitas substansial jika penyelenggara pilkada (KPU) terjebak sekadar pada persoalan prosedur. KPU semestinya memberikan pelayanan dan memfasilitasi pemilih agar bisa menyalurkan hak pilih secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil (luber dan jurdil) dan mampu bertanggung jawab terhadap kualitas pilihan mereka.

Demikian pula eksistensi para penegak aturan (khususnya Panwaslu), idealnya juga bisa berperan konsisten. Ketidakberdayaan atau hambatan psikologis/politis Panwaslu dalam menindak pelanggaran aturan bukan alasan untuk menjustifikasi lemahnya eksistensi institusi pengawasan.



Kasus dugaan ketidaknetralan birokrasi di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, yang ditindaklanjuti oleh institusi pusat (Komisi ASN dan Badan Pengawas Pemilihan Umum) perlu dijadikan inspirasi bagi Panwaslu di daerah ketika berhadapan dengan hambatan psikologis/politis dalam penegakan aturan.

Keempat, persoalan ”disorientasi” pemilih. Harus diakui, tidak sedikit pemilih kita yang memiliki orientasi kurang tepat dalam melihat pilkada. Pemilih yang mengalami disorientasi dalam pilkada cenderung mendasarkan referensi pilihan pada perspektif jangka pendek (pragmatis).

Tidak sedikit pula pemilih yang irasional, mudah terpengaruh oleh money politic, dan cemas/khawatir oleh intimidasi politik. Berdasarkan survei KPU Provinsi Jawa Tengah, perilaku pemilih yang mendamba politik uang paling dominan, yaitu 81,5%.

Pemilih rasional hanya 18,1% dan sisanya 0,4% tidak memberi jawaban (Solopos, 2/10). Karakter pemilih yang disetir oleh politik uang tidak sehat dalam sebuah demokrasi. Sebagai komponen utama dalam pilkada, pemilih dituntut cerdas (smart voter) sehingga demokrasi semakin bermakna.

Pernik-pernik masalah pilkada di atas tidak menutup kemungkinan semakin intensif terjadi seiring kian dekatnya pelaksanaan pemungutan suara. Optimisme untuk mewujudkan kualitas pilkada masih ada apabila stakeholders pilkada masih punya hati nurani yang jernih dan komitmen tinggi dalam mengawal dan menyukseskan pilkada.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya