SOLOPOS.COM - Adi Putra Surya Wardhana (Istimewa)

Gagasan Solopos, Senin (28/12/2015), ditulis Adi Putra Surya Wardhana. Penulis adalah alumnus Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret.

Solopos.com, SOLO — Peristiwa unik terjadi di Kota Solo–sebagai bagian dari peristiwa global yang sama–beberapa hari lalu. Dua hari besar keagamaan dirayakan dalam waktu yang berdekatan. Umat Islam merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 24 Desember 2015 dan umat kristiani merayakan Natal pada 25 Desember 2015.

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Keduanya sama-sama merayakan hari kelahiran figur paling penting bagi masing-masing agama. Maulid Nabi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W dan Natal merayakan hari kelahiran Yesus Kristus (Isa Al-Masih).

Peristiwa yang jarang terjadi ini membuat Kota Solo dimeriahkan dengan suasana khas Sekaten dan khas Natal secara berdampingan. Inilah wujud nyata toleransi antarumat beragama yang belakangan ini di banyak tempat mulai memudar.         Hal yang patut disyukuri adalah tindakan intoleransi minim terjadi di Kota Solo sepanjang 2015 ini.

Hal ini menjadi kado istimewa karena Kota Solo terkenal rentan dengan tindakan intoleransi khususnya menyangkut etnis dan agama mengingat ada tiga etnis besar hidup berdampingan di Solo, yakni Jawa, keturunan Arab, dan keturunan Tionghoa.

Pengalaman pahit yang pernah dirasakan masyarakat Solo telah menumbuhkan kedewasaan sikap. Kedewasaan sikap masyarakat Kota Solo mendapat ujian ketika kampanye pemilihan kepala daerah berlangsung karena ada calon wali kota yang berasal dari kelompok agama minoritas.

Beragam kampanye hitam dan kampanye negatif yang bernada sentimen agama dan ras terjadi, bahkan jauh sebelum masa kampanye. Pada pemilihan kepala daerah serentak tersebut F.X. Hadi Rudyatmo yang berasal dari kelompok agama minoritas memenangi pemilihan dengan perolehan 59,92% suara.

Dari sini terlihat masyarakat Solo tidak terlalu melihat latar belakang agama calon pemimpin mereka, tetapi lebih melihat figur kepemimpinannya. Toleransi masyarakat Solo kembali dibuktikan dalam perayaan Maulid Nabi dan perayaan Natal yang belangsung aman, damai, dan lancar di tengah ancaman teror.

Seperti dikutip dari laman www.detik.com, 24 November 2015, ada 100 orang warga negara Indonesia yang pulang dari Suriah yang dicurigai bergabung dengan kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pada 19 Desember 2015, Detasemen Khusus 88  Polri menangkap terduga teroris di Sukoharjo.

Polri kemudian menetapkan Siaga I sejak 24 Desember 2015 sampai 2 Januari 2015. Kekhawatiran akan terjadi tindakan intoleransi yang dapat mengganggu kenyamanan masyarakat tidak terjadi, khususnya di Kota Solo.

Beragam kasus intoleransi memang mewarnai pemberitaan di berbagai media massa sepanjang 2015. Dua kasus besar terjadi di Tolikara, Papua, dan di Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam. Tindakan intoleransi seperti dua kasus tersebut memang sulit dihilangkan di tengah masyarakat Indonesia yang memiliki beragam entitas suku dan agama.

Menurut Zuhairi Misrawi dalam bukunya Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian (2010) ada beberapa hal yang menyebabkan sulitnya toleransi ditransformasikan dalam realitas keragaman dalam sebuah negara. Di antaranya, negara terdiri atas berbagai entitas yang mempunyai pola pikir kurang lebih cenderung kepada intoleransi daripada toleransi.

Apalagi ketika entitas tersebut hanya memahami demokrasi secara prosedural, yaitu hegemoni mayoritas atas minoritas atau sebaliknya, ketundukan minoritas terhadap mayoritas, padahal semakin tinggi tingkat toleransi sebuah bangsa maka semakin maksimal pula tingkat keadaban publik dan peradabannya. [Baca selanjutnya: Kearifan Lokal]

Kearifan Lokal

Masyarakat Indonesia sebenarnya telah memiliki sifat toleransi beragama sejak zaman dahulu. Kearifan lokal menjadi kekuatan dalam mendorong toleransi di masyarakat. Contoh yang paling jelas terlihat adalah Candi Prambanan yang bercorak Hindu berdampingan dengan Candi Sewu yang bercorak Buddha.

Kedua candi tersebut merepresentasikan keharmonisan umat Hindu dan Buddha pada masa kerajaan Hindhu-Buddha.   Keharmonisan beragama pada masa itu terlihat dalam Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular yang ditulis pada sekitar abad ke-14, khususnya pada pupuh 139, bait ke-5.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen, Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa. Pada intinya bait tersebut menjelaskan walaupun Buddha dan Siwa (Hindu) berbeda, tetapi memiliki hakikat ketuhanan yang sama, tunggal, satu, Tuhan yang memiliki kebenaran.

Harmoni kehidupan beragama ketika itu juga menghasilkan sinkretisme, khususnya antara agama Siwa (Hindu) dan Buddha. Selain itu, frasa ”Bhinneka Tunggal Ika” hingga saat ini masih dilestarikan sebagai semboyan Indonesia yang memiliki arti berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah satu kesatuan.

Kearifan lokal juga ditunjukkan ketika Islam kali pertama datang ke Nusantara. Salah satu contoh bentuk toleransi dan akulturasi budaya Hindu-Buddha dengan Islam ditunjukkan melalui perayaan Sekaten yang dimulai sejak masa pemerintahan Raden Patah di Demak pada abad ke-16.

Sekaten sebagai perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W merupakan wujud pengganti upacara “Selamatan Negara Tahunan” yang selalu diselenggarakan raja Hindu-Buddha secara turun-temurun sebelum masuknya Islam. Hal ini membuktikan kearifan lokal menjadi elemen penting dalam menjaga toleransi antarumat beragama.

Kota Solo sebagai kota budaya tetu memiliki kearifan lokal yang dapat menjadi kekuatan untuk menjaga toleransi beragama. Peristiwa dirayakannya Maulid Nabi dan Natal yang hampir bersamaan dapat menjadi momentum untuk mengokohkan Kota Solo sebagai kota toleransi.

Perlu ditumbuhkembangkan nilai-nilai kekeluargaan, kebersamaan, saling menghormati, saling menghargai, gotong royong, dan menghindari rasa saling curiga. Dengan demikian, Kota Solo dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya dalam hal menjaga kerukunan umat beragama sekaligus menghilangkan stigma yang dimiliki Kota Solo sebagai kota sumbu pendek.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya