SOLOPOS.COM - Halim H. D. (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (6/1/2016), ditulis networker kebudayaan Halim H.D.

Solopos.com, SOLO — Konsekuensi logis dari cara pandang struktur piramida yang selama ini berkembang, dan khususnya sejak kehadiran rezim Orde Baru, telah melahirkan suatu cara pandang dan praktik dari sistem nilai yang selalu mengukur nilai-nilai yang didasarkan pada kerangka tunggal.

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

Dalam banyak perbincangan, sebagai contoh ketika kita membicarakan tentang tradisi, maka begitu banyak orang bicara tentang ”pakem” yang dianggap tak bisa diganggu gugat dan tak bisa pula diubah. Kerangka itu dianggap sebagai tolok ukur tunggal yang “abadi”.

Cara pandang dan praktik yang salah kaprah ini terus berlangsung, bahkan di kalangan akademisi yang konon  menjadi lingkungan sosial tempat kajian tradisi melalui mimbar akademis, “pakem” senantiasa dianggap hal yang paling “murni” dan “abadi”.

Ironi dari cara pandang dan praktik ini tidak melihat sama sekali bahwa suatu tradisi hidup di dalam lingkungan sosial dan suatu lingkungan sosial akan terus mengalami perubahan seusai dengan tuntutan dan kebutuhan zaman.

Jika suatu masyarakat bisa berubah tentunya tradisi beserta perangkatnya, termasuk yang dianggap sebagai “pakem” sebagai alat pengukur, akan berubah pula. Dalam konteks perubahan inilah betapa pentingnya suatu cara pandang dan praktik yang bersifat terbuka, bahwa suatu sistem nilai tidaklah “abadi” dan tidak pula sepenuhnya “murni”.

Interaksi dan saling pengaruh antarkelompok masyarakat akan menciptakan dimanika yang akan banyak membantu perkembangan tradisi.

Berkaitan dengan hal itu maka anggapan dan konsep tentang “pakem” adalah sebagai sistem pengukur yang bersifat sementara dan sebagai suatu terminal dari kerangka nilai yang dipraktikkan oleh suatu lingkungan masyarakat.

Cara berpikir dan praktik seperti itulah yang membuat tradisi bisa berkembang melalui upaya eksperimentasi, pembaruan, dan sekaligus juga bisa menyusut dari kehidupan: ketika desakan suatu kekuasaan budaya melalui sistem politik yang menerapkan tolok ukur tunggal maka suatu masyarakat telah kehilangan dinamikanya, tak ada inisiatif dan hanya menantikan instruksi yang datang dari kaum elite, yang berada di puncak struktur piramida kekuasaan.

Dalam konteks inilah betapa pentingnya, khususnya bagi kaum seniman, memiliki kesadaran ideologis-politis terkait dengan perubahan dan dinamika kebudayaan yang dikelolanya.

Tanpa kesadaran ideologis-politis yang didasarkan pada basis sosial di lingkungannya maka produk kebudayaan hanya menjadi barang dagangan, dan itu pun bukan berangkat dari gagasannya sendiri, namun datang dari pemesan, yang menjadikan produk seni budaya sebagai sarana legitimasi kekuasaan atau kepentingan pengembangan kapital.

Dalam ungkapan Sedyono “Gendhon” Humardhani, produk seni budaya itu hanya menjadi tuntutan sekunder, bukan tuntutan primer: ekspresi kaum seniman yang datang dari tuntutan ruang batin yang dilandasi oleh keprihatinan kepada zaman.

Sejarah telah membuktikan di hadapan kita bahwa khazanah tradisi kita yang diberi label “adiluhung” kini mengalami kemerosotan nilai akibat hanya untuk melayani kepentingan-kepentingan seremonial kaum elite.

Dan pada sisi lainnya, khazanah tradisi dan khazanah seni budaya lainnya masuk ke dalam kerangka elitis yang  menjadikan khazanah itu sebagai “gimmick” politik kekuasaaan dan kapital.

Di sinilah kritik ideologis-politis dibutuhkan untuk membongkar posisi dan kondisi khazanah tradisi dan khazanah seni budaya yang selama ini diombang-ambingkan oleh kepentingan kekuasaan dan kapital melalui dan menggunakan kerangka sistem nilai tunggal.

Kritik ideologis-politis ini wajib kita kembangkan terus agar khazanah tradisi dan khazanah seni budaya benar-benar menjadi milik warga dan sekaligus pula melakukan desentralisasi sistem nilai.

Kita perlu dan wajib merenungkan betapa pentingnya desentralisasi sistem nilai agar seluruh jaringan sosial yang didasarkan pada basis sosial lingkungan masyarakat bisa bergerak secara dinamis.

Sekali lagi, sejarah khususnya di Jawa telah membuktikan bagaimana kepentingan kekuasaan dan kepentingan ekonomi telah menggusur, memusnahkan, “otonomi” lokal yang sesungguhnya memiliki akar kehidupan sosial budaya dalam berbagai seginya. [Baca selanjutnya: Kekuasaan]Kekuasaan

Dalam Babad Tanah Jawa, kisah tentang Wanabaya atau Ki Ageng Mangir yang mengelola daerah perdikan, suatu wilayah bebas secara kultural dan ekonomi, ditaklukkan melalui umpan seorang penari yang sesungguhnya Pembayun, putri Panembahan Senapati.

Kekuasaan yang cemburu dan rakus bisa menghalalkan segala cara. Daerah Mangir, yang semula bebas, menjadi  “daerah taklukan” setelah sosok Ki Ageng Mangir dibunuh secara keji.

Peristiwa sejarah itu bukanlah sejenis pembunuhan fisik belaka. Di balik itu terdapat ambisi kekuasaan politik dan budaya agar tercipta suatu sentralisasi kekuasaan di bawah kuasa tunggal.

Merenungi kisah tragis dari rentang waktu beberapa abad yang lampau dan kini kita menengok ke lingkungan kehidupan sosial budaya kita: adakah kita masih memiliki kapasitas untuk mengembangkan de-sentralisasi sebagai bagian dari upaya kita untuk menumbuhkembangkan kembali akar kebudayaan warga yang didasarkan pada kehidupan sosial yang dikelola secara swadaya dalam konteks menumbuhkembangkan kebudayaan sipil?

Suatu kehidupan kebudayaan yang bersifat dialogis dengan perspektif kesetaraan dalam konteks sosial, gender, dan yang terpenting menyadari benar unikum serta keotentikan masing-masing kerangka nilai.

Berkaitan dengan hal inilah betapa pentingnya apa yang dinyatakan oleh Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang baru saja dilantik, yang menyatakan tentang strategi kebudayaan dengan membangun kebudayaan pinggiran, mengembangkan sarana ruang publik, dan memilih geokultural yang potensial di wilayah-wilayah periperal (pinggiran).



Saya menganggap dan menafsirkan bahwa Dirjen Kebudayaan yang pernah aktif dalam jaringan kerja kebudayaan sangat menyadari benar sejarah kontemporer kebudayaan yang dibentuk oleh rezim Orde baru, yang telah menggusur potensi-potensi dan sejarah perdikan yang pernah ada.

Kita sebagai warga, khususnya kaum seniman serta pengapresiasi kebudayaan, perlu menyadari benar bagaimana suatu desentralisasi bekerja secara simultan melalui jaringan kerja (networking) yang dilandasi lingkungan yang paling akrab melalui praktik dialog kebudayaan.

Dialog kebudayaan inilah yang kita butuhkan agar strategi kebudayaan yang kita harapkan bisa dirumuskan secara faktual. Ini agar potensi-potensi yang ada bisa secara aktual tumbuh dan berkembang kembali dan secara minimal mampu mereduksi proses pembusukan akibat birokrasi yang korup di dalam instansi-instansi pariwisata dan kebudayaan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya