SOLOPOS.COM - Murtanti (Istimewa)

Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Jumat (28/7/2017). Esai ini karya Murtanti J.R., dosen di Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret. Alamat e-mail penulis adalah mjanirahayu@gmail.com.

Solopos.com, SOLO — Pada pertengahan Juli lalu Pemerintah Kota Solo melalui Dinas Perdagangan dan Satuan Polisi Pamong Praja membongkar tempat berjualan pedagang kaki lima (PKL) liar di trotoar sepanjang Jl. R.W. Monginsidi, Solo.

Promosi Keturunan atau Lokal, Mereka Pembela Garuda di Dada

Para PKL yang mayoritas pedagang makanan dan minuman siap saji ini diberi kesempatan berdagang pada malam hari dengan sarana dagang yang dapat dibongkar dan dipasang lagi. Secara keseluruhan PKL yang berasal dari Solo akan diberi kesempatan mengajukan permohonan izin berdagang kembali, namun tidak demikian bagi PKL yang berasal dari luar Solo.

Pembongkaran tempat berjualan PKL seperti yang terjadi tersebut sering kali kita jumpai di berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta, Medan, Makassar, Surabaya, Bandung, dan juga Jogja.

Para PKL berjualan di trotoar jalan, di taman-taman kota, di lapangan, bahkan di badan jalan. Pemerintah kota berulang kali menertibkan mereka yang menjadi penyebab kemacetan lalu lintas, kekumuhan, merusak keindahan kota,  sampai melanggar peruntukan lahan/ruang terbuka hijau.

Upaya penertiban PKL sering kali terdengar menimbulkan bentrokan dan perlawanan fisik antara aparat Satpol PP dengan para PKL karena ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah itu. Pemerintah dihujat dan langkah demikian ini disebut sebagai kegagalan pemerintah menyediakan lapangan kerja untuk kaum miskin.

Kondisi di Solo

Penertiban PKL di Kota Solo jarang terdengar menimbulkan konflik atau bentrokan antara aparat pemerintah dan PKL.  Para PKL pernah berdemonstrasi setelah penertiban, namun para PKL melakukannya tidak secara membabi buta.

Pemerintah Kota Solo sangat terbuka dan kooperatif dalam mengakomodasi kepentingan seluruh warga kota, termasuk PKL. Hal ini tampak dari proses pendekatan pemerintah ketika menata dan memindah PKL di kawasan Monumen ’45 Banjarsari yang dipindah ke Pasar Klithikan Notoharjo pada 2006 yang kemudian disusul dengan penataan di kawasan Manahan yang sifatnya stabilisasi.

Setelah 10 tahun lebih dilakukan, penataan PKL tetap terus menjadi perhatian Pemerintah Kota Solo, terutama penataan stabilisasi, apalagi ketika dunia menyoroti penataan PKL yang tanpa konflik, meski selama ini Solo dikenal sebagai kota konflik (Basuki, 2003).

Selanjutnya adalah: Menjadi tempat studi banding…

Studi Banding

Selain menjadi tempat studi banding pemerintah daerah lain di Indonesia dan negara lain, seperti Bojonegoro, Bandung, Surabaya, dan pemerintah Mongolia (www.antarajateng.com), keberhasilan penataan PKL secara fisik maupun sosial di Kota Solo secara tidak langsung menjadikan kawasan penataan PKL sebagai destinasi wisata yang cukup menarik bagi penduduk setempat maupun pendatang dari kota lain.

Penataan PKL secara teoretis dilakukan melalui beberapa bentuk, antara lain relokasi dan stabilisasi (Mc Gee & Yeung, 1977). Yang perlu diperhatikan dalam penataan ini adalah keinginan PKL untuk bisa sedekat mungkin dengan lokasi mereka sebelumnya karena pada dasarnya mereka tidak ingin kehilangan kontak dengan konsumen mereka.

Penataan dengan relokasi di Kota Solo antara lain dengan memindahkan PKL ke lokasi baru berupa pasar sehingga mengubah status PKL menjadi pedagang formal. Pasar yang menjadi tujuan relokasi biasanya dibangun dengan tujuan utama menampung PKL yang tumbuh sporadis di lokasi yang bukan peruntukannya karena biasanya berada di ruang publik dan/ruang terbuka hijau.

Penataan yang bersifat stabilisasi menetapkan lokasi lama atau lokasi pindah yang tidak terlalu jauh dari lokasi semula menjadi tetap dan legal, ditambah dengan penyeragaman tempat berdagang berupa selter.

Lokasi tujuan penataan, baik relokasi maupun stabilisasi, adalah lahan milik pemerintah/lahan publik. Hal ini sesuai dengan pendapat Blackburn (2011) bahwa ketersediaan lahan pemerintah/lahan publik sangat penting bagi penataan PKL, bahkan menjadi kriteria utama ketika merencakan penataan PKL.

Selain itu, kriteria yang lain terkait kedekatan dengan aktivitas produktif, keramaian/kestrategisan, dan kemudahan lokasi untuk dicapai (Mc Gee & Yeung, 1977). Ketika menggali preferensi PKL di Kota Solo terkait bentuk penataan, mereka lebih memilih penataan stabilisasi daripada relokasi (Rahayu, 2016).

Dampak yang ditimbulkan dengan penataan stabilisasi adalah wajah kota berubah menjadi indah, tidak macet, menarik untuk dikunjungi, dan membentuk iklim berusaha bagi PKL yang kondusif karena tidak khawatir dikejar-kejar petugas dan digusur.

Secara ekonomis, pada awalnya belum semua pedagang mengalami peningkatan pendapatan, namun PKL mempunyai keyakinan bahwa peningkatan pendapatan akan terjadi dalam beberapa waktu setelah penataan berjalan.

Upaya penataan PKL yang awalnya berjumlah lebih dari 5.800 pedagang pada 2005, berdasar data observasi pada 2014 menunjukkan jumlah PKL di Kota Solo yang belum ditata masih 2.920 orang dan yang sudah ditata adalah 2.899 orang.

Menurut Kepala Seksi Penataan dan Pembinaan PKL Dinas Perdagangan Kota Solo, Didik Anggono, pada Oktober 2016 masih tersisa 600 PKL yang belum tercakup penataan. Menurut sumber yang sama, jumlah PKL yang sudah ditata melalui penataan stabilisasi adalah 1.129 orang, selebihnya ditata melalui relokasi.

Selanjutnya adalah: PKL yang belum ditata semakin berkurang…

Regulasi tentang PKL

 

Saat ini jumlah PKL yang belum ditata semakin berkurang setelah diresmikannya selter Sriwedari yang berada di dekat Museum Keris dan dapat menampung 60 PKL. Selter ini diresmikan pada 18 November 2016.

PKL sebagai salah satu subsektor di dalam sektor informal paling signifikan mengakuisisi ruang publik kota sehingga PKL-lah yang kemudian paling banyak menimbulkan konflik ruang dan harus berhadapan dengan  pengaturan/regulasi kota yang sangat tegas.

Terdapat berbagai produk hukum, baik dalam bentuk peraturan presiden, peraturan menteri, maupun peraturan daerah. Regulasi yang disusun dimulai dari Peraturan Presiden No. 125/2012 tentang Koordinasi Penataan dan Pemberdayaan PKL.

Selanjutnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 41/2012 tentang Pedoman Penataan dan Pemberdayaan PKL. Berbagai peraturan daerah juga diterbitkan oleh banyak daerah seperti, Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 33/2010 tentang Pengaturan Tempat dan Pembinaan Usaha Mikro PKL di Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Daerah Kabupaten Sukoharjo No. 1/2007 tentang Pengaturan dan Pembinaan PKL.

Di Kota Solo ada Peraturan Daerah No. 3/2008 tentang Pengelolaan PKL. Kemudian Peraturan Daerah Kota Sukabumi No. 8/2007 tentang Penataan dan Pembinaan PKL; Peraturan Daerah Kota Semarang No. 11/2000 tentang PKL; Peraturan Bupati Purbalingga No. 25/2005 tentang Penunjukkan Lokasi Berjualan PKL.

Di Kota Jogja ada Peraturan Wali Kota Jogja No. 37/2010 tentang Penataan PKL kawasan khusus Malioboro, Peraturan Daerah Kota Balikpapan No. 1/2000 tentang Larangan PKL, dan masih banyak lagi peraturan daerah yang mengatur  tentang PKL.



Regulasi-regulai tersebut di atas ada yang menunjukkan dukungan, perlindungan, pembatasan, dan pengendalian. Mencermati regulasi-regulasi tentang PKL di berbagai daerah ternyata suatu perbedaan yang jelas antara regulasi tentang PKL di Kota Solo dengan regulasi-regulasi tentang PKL di kota lain.

Hal yang terpenting adalah terkait definisi PKL. Definisi PKL yang tertulis di Peraturan Daerah Kota Solo No. 3/2008 tentang Pengelolaan PKL adalah pedagang yang menjalankan kegiatan usaha dagang dan jasa nonformal dalam jangka waktu tertentu dengan mempergunakan lahan fasilitas umum yang ditentukan oleh pemerintah daerah sebagai tempat usahanya, baik dengan menggunakan sarana atau perlengkapan yang mudah dipindahkan, dan/atau dibongkar pasang.

Kalimat  ”yang ditentukan oleh pemerintah” menunjukkan perhatian pemerintah dalam memberikan subsidi ruang bagi berkembangnya PKL dalam berusaha. PKL diberi ruang berusaha di ruang publik secara legal.

Lokasinya bisa di bagian dari trotoar yang berdekatan dangan aktivitas produktif tanpa mengorbankan ruang terbuka hijau atau taman kota.  Meski demikian, status mereka bukan sebagai pedagang formal seperti halnya PKL yang dipindah ke pasar.

Kondisi ini berbeda dengan regulasi di daerah lain, yang secara jelas tidak mencantumkan kalimat ”yang ditentukan oleh pemerintah” secara eksplisit dalam mendefinisikan PKL. Secara konkret regulasi tentang PKL di Kota Solo telah diterapkan dan kondisi saat ini menunjukkan hasil yang positif.

Tetap ada upaya membatasi PKL dengan diterbitkannya surat izin penempatan yang berlaku selama satu tahun dan sanksi jika ada pelaggaran sehingga PKL tidak bisa seenaknya sendiri memindahkan haknya kepada orang lain.

Ruang gerak bagi PKL berusaha telah banyak diberikan secara terencana dengan harapan pada 2017 ini seluruh PKL telah ditata sehingga hal ini dapat mendukung citra Kota Solo sebagai kota budaya  ramah PKL yang dikembangkan secara humanis dan ekologis menuju masyarakat sejahtera.

 







Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya