SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Ach. Tijani

achtijani@gmail.com

Promosi Liga 1 2023/2024 Dekati Akhir, Krisis Striker Lokal Sampai Kapan?

 

Alumnus TMI Al-Amien Sumenep

dan Pascasarjana

Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga

Yogyakarta

 

Menyelami berkah Ramadan memang tiada batasnya. Ibadah tahunan umat Islam ini bukan sekadar ritual. Ada banyak berkah yang dapat dirasakan oleh setiap muslim jika mau menadarusi setiap amalan di bulan suci ini. Amalan bukan saja yang terjadi atas dasar titah tekstual, akan tetapi segala hiruk-pikuk di bulan suci ini adalah bagian dari tanda kekuasaan Allah yang harus disyukuri.

Bagian ayat-ayat di luar teks inilah yang kadang terlupakan, walau memang tidak sepenuhnya. Dan ayat-ayat di luar teks ini memang cenderung tidak menjadi kajian yang diminati. Sebenarnya urgensi kajian-kajian yang bersifat nomatif-tekstualis harus digalakkan. Bagaimana pun unsur pembeda antara Islam dengan agama-agama yang lain ada pada konsistensi dan otentisitas teks ajaran (wahyu) yang terus terjaga hingga saat ini.

Dalam hal ini, umat Islam secara keseluruhan harus ikhlas berterima kasih kepada para hafidzul Quran (penghafal Alquran) yang senantiasa bersemangat untuk menjaga Alquran dari kepunahan. Di Indonesia rumah-rumah tahfidz, pesantren dan sekolah-sekolah yang berbasis tahfidz Quran berjumlah ribuan, bahkan mungkin puluhan ribu lembaga. Inilah kondisi yang sangat membahagiakan. Islam di bumi pertiwi ini sungguh mendapat apresiasi dan antusiasme yang besar dari umat.

Dari satu segmen di atas kondisi umat Islam memang layak diacungi jempol. Namun, pada segmen selanjutnya, yaitu pada konteks pengamalan ajaran Alquran ternyata belum dapat disejajarkan dengan upaya para huffadz (penghafal Alquran) di atas. Hal ini tidak berarti mengerdilkan pencapaian gemilang sebagian umat Islam yang benar-benar telah menjalankan setiap perbuatan, ucapan dan ibadah berdasar Alquran.

Apa yang akan disampaikan pada tadarus ini adalah bagian kecil yang—bisa jadi–mempunyai predikat kurang sepadan dengan sejumlah ajaran yang terdapat dalam Alquran itu sendiri. Bagian kecil yang dimaksudkan itu adalah pemahaman mengenai makna keragaman atau pluralitas. Secara implisit tadarus ringan ini adalah lanjutan dari kajian atau tadarus tekstualis karena Alquran secara normatif telah menyampaikan keniscayaan pluralitas dalam kehidupan.

Perbedaan suku, jenis kelamin, dan budaya adalah makna dari pluralitas yang disampaikan dalam Alquran, yaitu Q.S. Al-Hujarat: 13. Persepektif pluralitas yang bermakna keragaman suku, agama, bahasa,  dan budaya secara wacana dan aksi telah mendapatkan ruang. Kemudian, dalam konteks keberagaman agama muncullah konsespsi pluralisme agama. Konsepsi ini adalah buah dari olah pikir tekstual dan kontekstual dalam rangka meramu perdamaian antaragama.

Beberagaman suku atau etnis juga banyak melahirkan wacana dan aksi, baik itu yang berbasis nilai-nilai kebangsaan atau yang berdasar tujuan-tujuan universal kemanusiaan. Semua respons yang mengemuka tersebut adalah dalam rangka menciptakan dunia yang aman, damai, dan tentram.

Wacana dan aksi dalam merespons pluralitas di atas adalah hal yang cukup populer dewasa ini. Sejumlah kalangan mempunyai aneka tanggapan terhadap persoalan tersebut. Sebagai contoh, dalam wacana dan aksi mengenai pluralisme agama, sebagian kelompok umat Islam ada yang setuju sementara kelompok yang lain ada yang tidak setuju.

 

Sensitif

Perbedaan tanggapan tersebut tentu wajar karena yang disinggung dalam wacana pluralisme agama memang tergolong sensitif. Respons pluralitas yang sangat populer dewasa ini tentu adalah agenda besar yang tidak akan bisa terlunasi oleh kedangkalan pengetahuan saya. Berdasar dua alasan di atas, yaitu antara wacana sensitif dan kedangkalan pengetahuan saya, apa yang akan ditadarusi dalam tulisan ini berbeda dengan makna pluralitas yang sangat populer tersebut.

Makna pluralitas atau perbedaan sejatinya tidak hanya keragaman suku, agama, bahasa, jenis kelamin, dan budaya. Keragaman kemampuan finansial, intelektual, relegiositas, dan strata sosial tentu juga menjadi bagian dari kategori pluralitas itu sendiri. Pembicaraan mengenai keragaman atau pluralitas sejatinya tidak perlu sampai melintasi ranah agama, etnis, dan budaya.

Dengan bahasa yang lain, konsepsi pemahaman mengenai pluralitas tersebut dapat dikaji dari sudut pandang yang sangat domestik sekali pun. Memahami makna pluralitas dari sudut pandang yang tergolong domestik tentu akan sedikit mengurangi kontroversi antarindividu dan kelompok. Konsepsi domestik tersebut bisa saja dalam konteks lingkungan keluarga kecil. Di dalam suatu keluarga ada ayah, ibu dan anak, di mana setiap status yang melekat pada masing-masing anggota keluarga tentu berbeda, sekaligus pada saat yang sama juga mempunyai konsekuensi hak dan kewajiban yang berbeda pula.

Kewajiban ayah tentu berbeda dengan kewajiban ibu dan anak, begitu juga mengenai hak-haknya. Adanya keragaman hak dan kewajiban inilah yang kemudian akan mengantarkan pada kebutuhan hubungan antaranggota keluarga tersebut demi terciptanya keluarga yang harmonis. Dengan demikian, yang dibutuhkan dalam memahami pluralitas adalah kesadaran akan adanya status, hak, dan kewajiban yang berbeda serta terciptanya hubungan antarunsur.

Contoh kecil dalam lingkungan keluarga di atas sangat simpel, namun belum tentu sepenuhnya bisa berjalan mulus jika ditarik pada area yang lebih luas. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, misalnya dalam konteks Indonesia, pemahaman mengenai pluralitas domestik belum sepenuhnya bisa dipahami.



Di sana sini masih sangat sering terjadi tumpang tindih mengenai hak dan kewajiban. Sebagai contoh, dalam sebuah kasus hukum bagi sang koruptor, sang hakim semestinya mempunyai kewajiban menhukum sang koruptor, tetapi malah sang hakim sendiri tersandung kasus suap, sehingga kewajiban dan hak tidak terpenuhi dengan baik.

Timpangnya pemahaman mengenai pluralitas dalam konteks domestik tidak hanya berlangsung pada tataran parsial, bahkan gejalanya sudah menasional. Gejala tersebut tecermin pada setiap kebijakan pemerintah dan fenomena politik. Para wakil rakyat sering tidak merasa menjadi wakil rakyat, sehingga apa yang menjadi titah atau suara rakyat tergencet oleh kepentingan-kepentingan yang mengabaikan makna relasi antarkeragaman.

Semestinya, yang terjadi adalah mereka–para wakil rakyat–harus berani menyuarakan apa yang diinginkan rakyat. Hal tersebut juga dimaksudkan sebagai pemahaman mengenai status dirinya serta hubungannya dengan rakyat sebagai status yang berbeda dengan dirinya.

Untuk itu, pemahaman status sosial yang melekat pada setiap individu dalam konteks kehidupan berbangsa harus dipahami lebih awal. Pada tataran konkret,  tidak ada presiden yang bersikap seperti rakyat jelata, tidak ada hakim yang bersikap seperti maling, tidak ada pejabat yang bertindak seperti penjahat kelas rendah (makelar kasus) hingga aksi para koruptor di birokrasi yang semakin akut.

Lewat tadarus relasi keragaman di tengah suasana Ramadan ini, setiap individu dengan status yang beragam harus berusaha memberikan peran terbaik bagi umat dan manusia secara umum. Yang berstatus ustaz harus mengayomi umat, yang berstatus kaya harus menyantuni yang miskin, yang berstatus pemimpin harus memimpin dengan baik dan pada status-status lainnya juga berlaku demikian adanya.

Inilah inti dari pemahaman makna relasi antarkeragaman yang semestinya berjalan. Semoga momentum Ramadan menjadikan makna hubungan pluralitas atau keragaman semakin dipahami dengan baik. Ramadan yang berkah selalu melahirkan sosok yang sehat, cerdas, santun dan taat.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya