SOLOPOS.COM - Aris Setiawan (Dok/JIBI/Solopos)

Gagasan Solopos, Rabu (21/10/2015), ditulis Aris Setiawan. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Solopos.com, SOLO — Minggu pagi, 18 Oktober 2015, saya membaca status Facebook Danis Sugiyanto (musisi keroncong, pengajar, dan komponis gamelan) bahwa Tentrem meninggal dunia.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Tentrem adalah empu gamelan, bukan pemain atau musisi. Ia pembuat dan pencetak gamelan berkualitas. Mungkin namanya jarang kita dengar dalam dunia karawitan, namun bisa jadi gamelan yang kita mainkan saat ini adalah buah karyanya.

Dunia gamelan selama ini disibukkan dengan ingar-bingar kekaryaan musik, gending-gending, oleh komponis-komponis kenamaan, tapi kita sering kali luput dalam memotret gamelan sebagai karya fisik yang monumental.

Tak ada penghargaan kepada para pembuat gamelan, padahal lewat jasa merekalah gamelan bertahan dan ditabuh hingga mengalun indah sampai saat ini. Gamelan menjadi alat musik terkenal kedua di dunia setelah musik klasik ala Eropa.

Gamelan telah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Pada konteks inilah jasa besar empu pembuat gamelan tak bisa dianggap remeh. Tentrem menjadi bagian penting di dalamnya.

Jika I Wayan Sadra masih hidup, barangkali ia akan menyajikan sebuah karya besar untuk tugas akhir doktoralnya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan tajuk Otot Kawat Balung Wesi.

Karya itu sejatinya telah ia persiapkan cukup lama dan matang. Karya itu berkisah tentang kepedihan dan kepiluan para pembuat gong gamelan di besalen. Bagi Sadra, pembuat gamelan adalah makhluk yang mulia.

Setiap hari mereka berjibaku dengan panasnya bara api. Setiap saat nyawa terancam dan tubuh dapat terbakar karena percikan api. Mereka mempertaruhkan hidup demi terciptanya gong gamelan yang indah dan merdu.

Membuat gamelan bukanlah perkerjaan yang mudah. Sebelumnya, para empu itu melakukan tirakat dan laku sakral yang wigati seperi bertapa, menyepi, puasa, dan lain sebagainya.

Hal itu agar dalam membuat gamelan berjalan lancar dan tiada halangan satu apa pun. Hingga saat ini, tak sedikit dari mereka yang masih melakukan tradisi itu. Keselamatan mereka tidak semata ditentukan fisik dan tenaga, namun juga kuatnya olah rasa dan batin.

Sayang, jerih payah mereka sering kali dilupakan dan dipandang sebelah mata. Gamelan hadir dalam berbagai prosesi dan seremonial penting kenegaraan. Gong kini digunakan sebagai penanda kegiatan dan hajatan besar.

Gong ditabuh menandai peristiwa penting segera berlangsung. Gong juga dikultuskan sebagai instrumen atau alat yang menyimbolkan perdamaian. Lihatlah menumen ”gong perdamaian” yang banyak tersebar di berbagai negara.

Coba sesekali tengoklah nasib hidup para pembuat gong gamelan itu. Capaian hasil karya mereka tak berbanding lurus dengan derajat kemuliaan hidup mereka. Mereka masih berjuang dengan impitan ekonomi dan kisah pilu ketertindasan hidup di negeri ini. Lakon hidup pembuat gamelan tak terbaca publik.

Tentrem dengan ikhlas menziarahkan hidupnya sebagai pembuat gamelan. Ia memilih berperan ”di balik layar” untuk menjaga dan melestaraikan gamelan dengan caranya sendiri. Membuat gamelan bukan semata sebuah perkerjaan.

Gamelan adalah ruang yang memberinya semangat untuk hidup lewat harapan dan mimpi besar agar gamelan dapat senantiasa bercengkerama lintas generasi. Ia terus membuat gamelan hingga ajal menjemput.

Kisah Tentrem dan gamelan menjadi narasi indah tentang kehidupan gamelan di masa kini. Kepergiannya juga menyisakan sebuah pertanyaan besar tentang keberlanjutan dan penerusnya sebagai pembuat gamelan.

Maklum, pekerjaan ini tak banyak dilirik generasi masa kini. Pekerjaan ini dianggap terlalu berbahanya, menguras tenaga dengan hasil yang tak seberapa. Membuat gamelan menghamburkan waktu dan pertaruhan nyawa. [Baca: Sosok]

 

Sosok
Kita bisa melihat jejak kehidupan Tentrem dari tulisan Dunung Sadono, Proses Pembuatan Gender Barung oleh Tentrem (2015). Tentrem lahir di Solo, 17 Januari 1942, dari pasangan Kamijo Karto Pandoyo dan Kasiyem.

Kakeknya adalah abdi dalem Keraton Kasultanan Yogyakarta. Kamijoyo Karto Pandoyo pindah ke Solo pada 1912 dan mendirikan besalen (tempat membuat gamelan). Hal inilah yang menyebabkan Tentrem sejak dini bersentuhan dengan kehidupan dunia gamelan.

Menginjak dewasa, Tentrem belajar memainkan gamelan dari para empu kenamaan Keraton Kasunanan Surakarta saat itu, seperti Mloyo Widodo dan Guno Pangrawit. Bagi Tentrem, seorang pembuat gamelan tak cukup hanya mampu membuat gamelan.

Pembuat gamelan dituntut mampu memainkannya sekaligus. Hal ini penting agar kepekaan nada, rasa, dan batinnya dapat menyatu. Ia dengan segera dapat melakukan koreksi apabila hasil gamelan buatannya falsch, sumbang, atau salah.

Lebih dari itu, kenyamanan bermain gamelan juga penting untuk diperhatikan. Sangat sedikit pembuat gamelan yang melakukan analisis ini. Tak banyak pembuat gamelan yang mampu memainkan gamelan dengan baik.



Bagaimana tingkat kenyamanan penjarian saat memainkan rebab dan gender, misalnya, patut digunakan sebagai landasan dalam membuat gamelan yang unggul. Dengan demikian, membuat gamelan tidaklah asal berbunyi, namun mampu memberi ruang nyaman bagi pemainnya.

Hal inilah yang melarbelakangi Tentrem belajar memainkan gamelan, bukan semata membuatnya. Besalen Tentrem berada di Kampung Semanggi, Pasar Kliwon, Solo. Hingga kini ada 12 orang tenaga kerja di besalen itu.

Gamelan buatan Tentrem banyak dipesan lembaga dan institusi di luar negeri. Hampir 50% gamelan di perguruan tinggi di luar negeri adalah hasil karyanya.

Nama Tentrem mulai diperhitungkan sebagai empu–pembuat–gamelan pada era 1970-an ketika ia diundang Gendhon Humardani untuk berdiskusi tentang embat dalam gamelan. Diskusi itu dihadiri tokoh-tokoh gamelan seperti Mloyo Widodo, Marto Pangrawit, dan Podo Projo Pangrawit.

Dari hasil diskusi itulah kemampuan dan kredibilitas Tentrem tak diragukan lagi. Setelah itu Gendhon Humardani beberapa kali mengundang Tentrem untuk memberikan workshop pembuatan gamelan di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Solo, sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Solo.

Tentrem secara khusus diminta membuatkan gender bagi Marto Pangrawit dan hasilnya sangatlah memuaskan. Nama Tentrem kian melambung dan permintaan atau pesanan gamelan silih berganti datang.

Kini sang empu itu telah pergi. Kisah hidupnya akan senantiasa abadi lewat gamelan yang diciptakannya. Kita dapat menelisik tentang kesungguhan diri terhadap pekerjaan yang dijalani lewat kualitas hasil karyanya.

Gaung gamelan telah menerobos sekat-sekat musikal di dunia. Gamelan menjadi instrumen musik yang menarik minat dan perhatian. Hampir semua kedutaan besar Indonesia menjadikan gamelan sebagai katalisator dalam melihat dan memperkenalkan Indonesia.

Beberapa negara kini secara intensif dan berkelanjutan menyelenggarakan festival gamelan dunia (baru saja diselenggarakan di Malaysia, sebulan yang lalu).

Sumbangsih ingar-bingar bunyi gamelan di dunia tak luput dari jasa Tentrem, empu dan pemilik besalen kecil di Solo. Selamat jalan Mbah Tentrem, semoga tenteram di alam keabadian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya