SOLOPOS.COM - Agung Pambudi agungpambudi@tri.blackberry.com Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Agung Pambudi agungpambudi@tri.blackberry.com Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Agung Pambudi
agungpambudi@tri.blackberry.com
Alumnus Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret

 

Promosi Ayo Mudik, Saatnya Uang Mengalir sampai Jauh

Kabar mengejutkan datang dari Medan. Diberitakan solopos.com, Kamis (12/7), Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tanjung Gusta Medan, Sumatra Utara, terbakar pada Kamis (11/7) malam. Narapidana (napi) di LP  itu mengamuk, melemparkan batu-batu, ada petugas/sipir terjebak kobaran api, serta ada banyak napi yang melarikan diri. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Lepas dari dari kabar yang beredar bahwa kejadian ini karena listrik mati, aliran air macet, lalu ada gesekan yang kemudian menyebabkan chaos, ada satu kondisi yang membuat kita mengernyitkan dahi. Hal tersebut adalah jumlah napi dan tahanan di LP Tanjung Gusta yang  melebihi daya tampung.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum & HAM) Denny Indrayana menyatakan berdasarkan laporan Sistem Database Pemasyarakatan (SDP), jumlah penghuni LP Tanjung Gusta per hari ini (11 Juli 2013) adalah 2.600 orang, terdiri dari 2.594 orang napi dan enam orang tahanan. Jumlah itu melebihi kuota sampai 247 persen dari kapasitas maksimal LP yang seharusnya hanya 1.054 orang.

Permasalahan yang dialami LP Tanjung Gusta Medan yaitu jumlah penghuni yang melebihi daya tampung juga sedang dialami hampir semua LP dan rumah tahanan negara (rutan) di bawah seluruh Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenkum & HAM di Indonesia. Saat ini masyarakat umum bisa mengetahui jumlah tahanan serta napi melalui Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) yang bisa diakses melalui http://smslap.ditjenpas.go.id/.

Dari LP dan rutan di bawah pengelolaan 33 Kanwil Kemenkum & HAM, hanya delapan Kanwil yang mengelola LP atau rutan yang jumlah penghuninya masih sesuai daya tampung dan LP atau rutan di bawah wewenang 25 Kanwil Kemenkum & HAM mengalami over capacity, termasuk LP di bawah Kanwil Kemenkum & HAM Sumatra Utara, yaitu LP Tanjung Gusta Medan. Esensi tulisan ini adalah mengenai bagaimana cara untuk membendung perkara pidana yang masuk ke kepolisian agar tidak berujung vonis hakim berupa pemidanaan. Ini  secara otomatis diharapkan bisa sedikit-banyak mengurangi jumlah tahanan dan napi di rutan dan LP.

Mendengar sepintas mengenai istilah ”mengendalikan arus perkara” mungkin terasa agak aneh. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Pasti timbul pertanyaan bagaimana mungkin perkara di negeri ini bisa dikendalikan? Bukankah perkara yang masuk harus diproses menurut hukum yang berlaku?

Pertanyaan tersebut di atas memang benar, tapi jika negeri ini terlalu kaku menerapkan hukum akan menimbulkan masalah baru. Lihat saja kenyataan masalah rutan dan LP di Indonesia yang mayoritas telah kesulitan “menampung” tahanan maupun napi. Berdasarkan keadaan tersebut, harus ada solusi.

Bagaimana pun juga, jika LP dan rutan mengalami over capacity, secara otomatis akan meningkatkan risiko gesekan-gesekan di dalam LP maupun rutan. Tentunya kita tidak mau kejadian rusuh di LP maupun rutan terjadi terus-menerus. Apalagi kerusuhan yang berujung korban nyawa dan tahanan maupun napi melarikan diri.

 

Peradilan Pidana

Berbicara mengenai masalah over capacity di LP dan rutan di Indonesia,  kita juga harus membahas sistem peradilan pidana di Indonesia dari hulu sampai hilir. Sistem peradilan pidana di Indonesia sangat panjang, dengan alir dari kepolisian-kejaksaan-pengadilan-LP/rutan. Pada proses peradilan yang belum menghasilkan putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht), tahanan ditempatkan di rutan.

Setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht), napi  ditempatkan di LP. Sangat wajar bila kemudian LP dan rutan menjadi penuh. Di Amerika Serikat ada kebijakan mencari jalan lain untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan. Misalnya dengan diadakan institusi plea guilty atau “mengaku salah”, yaitu tempat tersangka atau terdakwa diberi kesempatan untuk mengaku salah dengan imbalan kelak akan menerima hukuman lebih ringan (Satjipto Rahardjo, 2003:184).

Istilah plea guilty terdengar sangat asing di Indonesia. Hal tersebut wajar karena plea guilty  hanya dikenal di negara-negara yang menganut sistem hukum common law. Sedangkan Indonesia menganut sistem hukum civil law akibat konkordasi penjajahan Belanda.  Di Inggris dan negara-negara yang menganut sistem common lawplea guilty secara luas diartikan sebagai pernyataan mengaku bersalah dari seorang tersangka maupun terdakwa.

Ketentuan mengenai plea guilty bagi tersangka adalah sebuah upaya agar sebuah perkara tidak perlu diajukan ke muka pengadilan untuk diselesaikan.  Kalau pun perkara tersebut sudah masuk ke pengadilan dan terdakwa  mengakui bersalah, ia diberi keringanan hukuman. Plea guilty sebagai sebuah alternative dispute sering berkaitan dengan upaya penyelesaian di luar sidang dan penggunaannya juga didasari oleh alasan-alasan tertentu.

Rancang Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mulai mengadopsi plea guilty dengan mengesampingkan perbedaan sistem hukum.  Pasal 199 ayat (1) RUU itu menyatakan pada saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari tujuh tahun, penuntut umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat.

Meskipun Pasal 199 ayat (1) baru berupa rancangan, hal ini menandakan sudah ada keinginan dari eksekutif, legislatif, serta yudikatif untuk duduk bersama guna mencari alternatif lain agar permasalahan menumpuknya perkara dan over capacity LP dan rutan dapat diselesaikan. Konsekuensi logis jika plea guilty diterapkan tentu akan berpengaruh pada hulu dan hilir dalam penegakan hukum. Di hulu, plea guilty akan mengurangi beban perkara di pengadilan, reward bagi tersangka maupun terdakwa berupa keringanan hukuman. Ini juga mengurangi beban perkara di penuntut umum yang harus dibuktikan.

Di hilir, plea guilty diharapkan dapat mengurangi beban rutan dan LP untuk menampung tahanan dan napi. Namun, di sisi lain, jika plea guilty dilaksanakan jangan sampai menjadi alat bagi tersangka dan terdakwa untuk lepas dari mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Plus-minus dari plea guilty adalah konsekuensi yang logis jika ingin menerapkannya. Plea guilty adalah bentuk terobosan hukum yang bisa diambil bagi negeri ini demi kemantapan penegakan hukum. Semoga RUU KUHAP segera disahkan menjadi undang-undang dan plea guilty bisa diterapkan. Dengan demikian kejadian over capacity LP dan rutan dapat dikendalikan serta diminimalisasi.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya